HP Lipat
21.09
| Author:
Forum Pena Pesantren
Oleh: M. Nuril Azmi Badali
Aku masih termangu duduk di atas sebuah kursi menanti pelanggan yang datang. Setelah menikah dan mempunyai seorang putra, aku belum juga mendapat pekerjaan yang mapan. Terpaksa aku membuka usaha ponsel kecil-kecilan di depan rumahku. Alhamdulillah, penghasilanku sekarang cukup untuk menghidupi kebutuhan rumah tangga, termasuk membiayai sekolah anakku yang kini di pondok pesantren.
Sudah dua tahun anakku menimba ilmu di sana. Aku berharap kelak dia menjadi anak yang saleh dan berbakti kepada orangtua. Tidak seperti aku dulu yang tak pernah serius mendalami ilmu agama ketika berada di pesantren.
“Mas, pulsa isi sepuluh ya…,” kata seorang pelanggan membuyarkan lamunanku.
“Oh iya Mbak, nomornya berapa?”
Pelanggan wanita itu mengeluarkan handphonenya dan menyebutkan nomornya satu-persatu. Kemudian kukirim pulsa sebesar sepuluh ribu ke nomornya tadi.
“Sudah masuk Mbak?”
“Sudah, ini uangnya Mas.”
“Iya, Eh…” Otakku refleks mengingat masa lalu ketika menyadari HP yang bertengger di tangan wanita itu, HP Lipat! Masa ketika dulu aku
mondok di pesantren yang kini anakku juga mondok di sana.
Baca lanjutannya......
Oleh: Farid Ma’ruf
Harus belasan kali setiap harinya dia menarik napas sepanjang mungkin atas rasa geramnya yang tertimbun di ubun-ubun, dan menghembuskan napas itu sekeras mungkin atas rasa kesalnya yang membeban di bahu. Sebab belasan kali setiap hari setongkang jubel batu bara yang disebutnya gunung pembawa sial itu permisi lewat di aliran sungai belakang rumahnya.
Ia tak habis pikir perihal bagaimana bisa gunung pembawa sial itu diizinkan melewati sungai belakang rumahnya, tanpa memikirkan manusia-manusia yang hidup di sepanjang pinggiran sungai itu, yang bisa saja bahkan sudah sering dirugikan.
Terlalu banyak alasan baginya untuk membenci semua hal tentang gunung pembawa sial itu. Mulai dari karena sekian musibah yang gunung itu angkut dan bagi-bagikan di sepanjang aliran sungai yang dilaluinya, sampai dengan satu fakta yang paling membuat kepalanya gatal akibat kesal, yaitu fakta bahwa orang yang kerap oleh warga desanya sebut ‘bos batu bara’ beserta konco kaki tangannya itu menganggap uang dapat membeli apa saja, termasuk harga dirinya dan harga diri orang-orang di sekelilingnya.
Boleh dibenarkan bahwa sembilan dari sepuluh orang-orang sungai ini adalah orang-orang yang kurang terpelajar, namun ternyata mereka juga manusia, manusia pemilik hak asasi dalam dirinya yang mesti diperhitungkan.
Baca lanjutannya......
Oleh: Zian Armie Wahyufi
Pernahkah kau mendengar cerita tentang sekarung kebahagiaan dari surga? Sepertinya kau belum pernah mendengarnya. Ini cerita yang sangat rahasia, dan selalu dicoba hilangkan dari dunia. Hanya segelintir orang yang tahu tentang cerita ini, salah satunya adalah Kakek. Di suatu malam yang dingin, beliau menceritakannya padaku, karena takut cerita ini akan benar-benar musnah. “Dalam cerita inilah kebenaran yang sesungguhnya,” terang Kakek malam itu.
“Kenapa orang-orang ingin memusnahkannya, Kek?”
Kakek berpikir sejenak sembari menerawang, matanya lurus menatap keramaian kota di depan rumah sederhana kami.
“Mereka takut malu, Cu. Jika cerita ini sampai diketahui orang banyak, kebahagiaan yang mereka bangga-banggakan tidak ada lagi artinya…”
Aku tak sepenuhnya mengerti dengan jawaban Kakek itu, karena saat itu aku masih berumur sepuluh tahun. Tapi kubiarkan saja akhirnya beliau bercerita.
Saat ini, aku merasa umur yang diberikan Tuhan akan habis tak lama lagi. Sementara aku, seperti Kakek dulu, tak ingin jika kebenaran ini lenyap, dan tersisa hanya kebohongan. Semua orang harus tahu cerita sekarung kebahagiaan dari surga ini. Maka meski aku tak yakin apakah ingatanku tentang cerita ini masih sempurna, izinkanlah aku menceritakannya padamu. Ya?
Baca lanjutannya......
Oleh: Muhammad Ilham
Akulah pemilik mata merah. Memyeret-nyeret kaki di trotoar yang terang dan gelap berselang-seling. Bibirku mengapit sebatang rokok menthol. Jadilah mulutku bak knalpot mobil tahun tujuh puluhan. Seperti pisau, udara malam menusuk belulangku, setelah berhasil menembus kemeja dan pori-poriku. Aku tahu bahwa diriku kedinginan, tapi aku melepaskan jasku dan menggantungkannya di salah satu pundak. Bukan apa-apa, ini karena tuntutan. Bukankah tuntutan dari orang yang stres itu mesti berpakaian acak-acakan? Kemejaku pun kancingnya lepas sebagian dan dasi kujadikan penutup mata. Aku ingin tidur!
Akulah pemilik mata retak. Menyusup di sela-sela bangunan raksasa. Jalan-jalan telah lengang, hanya beberapa mobil yang kadang berhenti di samping wanita ber-
make up menor dan ketika mobil tersebut jalan lagi, wanita tadi hilang dari tempatnya.
Agaknya cuaca mendung, dari tadi angin bertiup kencang. Orang-orang telah lari ke balik selimut. Aku pun ingin begitu, sangat capek. Saat malam bertandang, memarahi karyawan yang kerjaannya nge-
game terus siang tadi, cukup meremas-remas otakku. Inilah waktunya bermanja di
springbed. Namun keempukan kasur dan kehangatan selimut tak lebih hanyalah sebagai fasilitas untuk mendapatkan kenyenyakan tidur.
Sialnya, yang kudapat cuma sebatas fasilitas. Meskipun mataku telah memerah darah berbentuk retakan laksana bengkakan tanah di musim kemarau, tetap saja aku tak dapat tidur lelap. Tidur nyenyakku telah diambil Tuhan!
Baca lanjutannya......
Oleh: Ahmad kamaluddin
Semenjak Mayor Ali meninggalkan
basecamp, masih belum ada mujahid baru yang menggantikan posisinya. Padahal kupikir di saat suatu divisi memikul tugas menyelesaikan misi, jika suatu posisi kosong, maka tak bisa kubayangkan akan mencapai target, apalagi posisi pemimpin.
Sebagai seorang yang paling kami hormati, tentu sosoknya begitu sentral dan memengaruhi semangat jihad kami. Dengan kata-katanyalah semangat kami terus dikobarkan dan membara. Seorang yang berwibawa, menyandang sifat kebapakan. Mengayomi, mengatur, dan bersifat tegas dengan segala kelalaian yang kami perbuat.
Entah alasan apa yang membuatnya menutup mata terhadap ikrarnya. Ikrar yang harus ditepati dan disempurnakan.
“Demi darah yang diciptakan tanpa sia-sia. Ikrarkan dalam hati, takkan menetes darah ini kecuali darah jihad. Darah penuh semangat! Penuh amarah terhadap kemungkaran! Siap membumihanguskan kekafiran dan kedzaliman! Allahu Akbar!”
“Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar!”
Suara takbir menggema jika ia mengobarkan semangat jihad kami. Seakan-akan kami tak merasa takut lagi melihat bom-bom yang siap meledak di balutan baju- baju kami. Tidak ada pemberitahuan dari pusat komando jihad distrik barat tentang kepergiannya. Jadi untuk sementara ini posisi pimpinan masih kosong, dan pasukan menjadi kurang terarah.
Baca lanjutannya......
Oleh: Arief Rahman Heriansyah
Suatu sore yang lembut. Dua ekor burung merpati terbang indah mengitari halaman rumah sederhana itu. Salah satu dari keduanya lalu hinggap di batang pohon sakura yang seluruh batangnya kering dan tinggal hanya beberapa helai daun saja di ujung tangkainya. Walaupun musim dingin masih lama akan datang, namun angin yang berembus amatlah terasa dingin. Sepertinya semua itu tak berlaku bagi kau, seorang gadis belia yang duduk di bangku halaman sana. Kau masih terpaku menyaksikan dua ekor burung yang sedang asik bersenda gurau. Tanpa memerhatikan kimono yang kau kenakan agak tersingkap karena diterpa angin lembut pada musim gugur ini.
“Ayumi! Sedang apa lagi kamu melamun sepanjang sore ini?!”
Kau tersentak kaget, serta-merta kesadaranmu pulih kembali dari ruang khayalmu tadi. Seorang wanita setengah baya melintas menuju kolam ikan di pekarangan rumah. Kau sekilas menoleh kepada Ibumu yang hendak memberi makan ikan koi, ikan yang selama ini dianggap sebagai simbol keberuntungan bagi pemiliknya. Kau mendesah pelan, tak menggubris teguran ibumu tadi.
“Cepatlah masuk rumah! Kalau kamu masuk angin siapa pula yang repot? Kamu harus siap-siap karena malam ini keluarga kita akan ikut festival.”
Baca lanjutannya......
Hanya Doa
20.02
| Author:
Forum Pena Pesantren
Oleh: Radiannor
Hujan deras masih menderu di luar sana, sesekali diselingi suara guntur dan kilatan cahayanya. Sudah satu pekan ini tiap malam selalu saja hujan mengguyur dengan lebatnya, kadang dari sore sampai subuh, namun tak jarang pula sampai pagi. Dan malam ini, entah sampai kapan berhentinya. Para santri tentu saja terlelap dengan pulasnya. Selimut tebal melindungi tubuh mereka dari serangan dingin yang menusuk. Sungguh malam yang melenakan untuk berpetualang di alam mimpi.
Aku sendiri tak bisa tidur. Sudah kebiasaan bila malam merangkak maka perutku terasa lapar. Sebagai gantinya, biasanya siang kumanfaatkan untuk tidur.
Teng... teng... teng...
Jam dinding model kuno di asramaku berdentang, sudah pukul 3. O iya, satu lagi kebiasaanku bila malam, yaitu mengintip salah seorang santri putri. Biasanya ia bangun di sepertiga akhir malam. Aku yakin, walau dinginnya malam seperti ular yang siap menikam mangsa ini, santri putri itu pasti akan tetap terjaga, bila jam telah menunjuk pukul tiga. Kakiku melangkah ke pojok asrama. Fitria, nama gadis itu. Dia adalah ketua asrama, sehingga ia punya bilik tersendiri yang berada di pojok, berbeda dengan santri biasa.
Baca lanjutannya......