Semenjak Mayor Ali meninggalkan basecamp, masih belum ada mujahid baru yang menggantikan posisinya. Padahal kupikir di saat suatu divisi memikul tugas menyelesaikan misi, jika suatu posisi kosong, maka tak bisa kubayangkan akan mencapai target, apalagi posisi pemimpin.
Sebagai seorang yang paling kami hormati, tentu sosoknya begitu sentral dan memengaruhi semangat jihad kami. Dengan kata-katanyalah semangat kami terus dikobarkan dan membara. Seorang yang berwibawa, menyandang sifat kebapakan. Mengayomi, mengatur, dan bersifat tegas dengan segala kelalaian yang kami perbuat.
Entah alasan apa yang membuatnya menutup mata terhadap ikrarnya. Ikrar yang harus ditepati dan disempurnakan.
“Demi darah yang diciptakan tanpa sia-sia. Ikrarkan dalam hati, takkan menetes darah ini kecuali darah jihad. Darah penuh semangat! Penuh amarah terhadap kemungkaran! Siap membumihanguskan kekafiran dan kedzaliman! Allahu Akbar!”
“Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar!”
Suara takbir menggema jika ia mengobarkan semangat jihad kami. Seakan-akan kami tak merasa takut lagi melihat bom-bom yang siap meledak di balutan baju- baju kami. Tidak ada pemberitahuan dari pusat komando jihad distrik barat tentang kepergiannya. Jadi untuk sementara ini posisi pimpinan masih kosong, dan pasukan menjadi kurang terarah.
***
Kurasa keputusanku ini sesuai dengan tujuan hidupku yang sebenarnya. Selama ini aku merasa terjebak dalam dunia khayalan dan mimpi. Tanpa arah dan terombang-ambing. Bagaimanakah teman-temanku di basecamp, apakah mereka mencariku. Ah... sebanyak apa dosaku sekarang.
Ojek terus membawaku melewati jalan gersang sambil sesekali melewati rumah warga yang tampak lengang karena ini sudah terhitung kampung yang jauh dari kota. Sengaja aku memilih kampung ini sebagai tempat pelarianku dari basecamp, sebab jika aku pulang ke rumah, maka dengan mudah aku dapat ditemukan oleh para pasukan jihad yang pasti menganggapku berkhianat dan akan membeberkan rencana mereka. Tentu saja ini tidak aman.
Tempat yang kutuju sekarang adalah rumah temanku yang dulu pernah satu kelas saat sama-sama masih nyantri di pesantren Madinatus Sholihin. Kamal namanya. Kata-katanya begitu membekas di hatiku, seakan menghujam dan mengembalikanku pada titik kesadaran yang sebenarnya. Hingga aku merasa aku baru saja terbangun dari tidur panjang.
“Khairunnas anfa’uhum linnas, manusia terbaik adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain, Li,” katanya padaku, ketika aku bertemu dengannya pada acara haulan pertama Kiayi Abdurra’uf, pendiri pesantren Madinatus Sholihin.
Kalimat tersebut sangat menyinggungku. Manfaat apakah yang sudah aku lakukan untuk manusia, untuk Ayah Ibuku, untuk negara tempatku berpijak, dan untuk setiap yang kucintai. Pertanyaan itu terus mengusik perasaanku.
“Irhamu man fil ardhi, yarhamukum man fis sama’. Kasih sayangilah orang yang berada di bumi, pasti kamu disayangi oleh para penghuni langit,” katanya lagi.
Ya, kau memang benar. Yang kulakukan selama ini hanya kerusakan, pembunuhan dan perusakan akal para pemuda islam. Mengisi pikiran mereka dengan segala kebencian dan dendam. Padahal ustadz kita di Madinatus Sholihin selalu mengajarkan bahwa Islam itu ajaran yang damai. Tapi mengapa aku tidak ingat apa yang telah kupelajari, Mal?
Dari kejauhan sudah terlihat gunung Galisari, kampungnya Kamal. Sewaktu kami lulus pesantren Kamal menolak dengan halus permintaan kiyai Abdurra’uf untuk mengajar di pesantren, lantas ia lebih memilih pulang ke kampung halamannya yang sangat jauh dari kota ini. Sedangkan aku memilih melanjutkan belajar ke sebuah perguruan tinggi.
Sekarang tampaknya aku sudah memasuki perkampungan yang berpusat di lereng gunung sana. Para bapak-bapak menenteng cangkul pergi ke sawah. Ada juga yang menggiring sapinya ke padang rumput. Sedangkan anak-anak pergi ke sekolah bersama-sama tanpa sepatu dan seragam lengkap, ada yang cuma pakai baju kaos dengan celana SD warna merah. Memang benar-benar kampung yang masih belum maju. Dari sinilah rupanya Kamal berasal, desa yang penuh kedamaian dan ketenangan. Ini sangat mempengaruhi sifatnya yang santun dan terlihat tak punya masalah.
“Numpang nanya Pak, rumahnya Kamaluddin yang lulusan Madinatus Sholihin itu sudah dekat, Pak?” tanyaku pada seorang bapak yang sedang memperbaiki selokan.
“Sudah dekat Dik, di depan nanti ada mushalla Al-Munir. Nah, di samping mushalla itu rumahnya.”
Ojek pun kembali menderu, membawaku ke tujuan.
***
“Sekarang pimpinan kalian yang baru adalah Mayor Abu Nur dari komando pusat. Sementara Mayor Ali sudah dianggap berkhianat terhadap Islam dan ditetapkan sebagai buronan, karena dia punya segala informasi tentang kita.” Jenderal Daud, pimpinan militer pusat memberi informasi dan mengumumkan pelantikan pimpinan baru dalam kelompok kami.
Kabar ini sangat mengejutkan banyak mujahid, khususnya aku. Tapi walau bagaimanapun, ia tetap kuanggap sebagai orang yang kuhormati. Seorang yang patut kuteladani. Tapi hatiku sangat takut dan tak menentu, tugas pasukan kami sekarang ialah menangkap Mayor Ali, mati atau hidup, di bawah kepemimpinan Abu Nur.
Mungkin besok hari kami sudah meninggalkan basecamp dan mulai melakukan pengejaran. Sangat kusayangkan keputusannya untuk berkhianat terhadap agama yang menyuruh umatnya untuk selalu berjihad. Entah berapa besar dosanya karena ini semua. Aku cuma bisa mendoakan, semoga ia kembali ke jalan yang benar, kembali ke pasukan, sebelum tertangkap.
***
Kuketuk rumah sederhana ini.
“Assalamualaikum.”
Sunyi senyap tak ada sahutan dari penghuninya. Aku menunggu sebentar, mungkin Kamal masih di belakang rumah. Sementara itu, tukang ojek yang kutumpangi tadi sudah pulang dengan tergesa-gesa, setelah sebelumnya menanyakan namaku, asalku, dan pesantren tempatku belajar dulu. Entah untuk apa, tapi tak apalah, hitung-hitung sebuah perkenalan. Tinggal aku sendiri, di muka rumah Kamal sambil sesekali menghirup udara sejuk pegunungan. Kucoba mengetuk lagi rumah ini. Tetap kesunyian yang menyahuti. Mungkin penghuni rumah itu sedang bepergian.
Aku melangkah menuju mushalla yang ada di samping rumah. Kuambil air wudhu, dan kulaksanakan shalat dhuha. Begitu tenangnya hatiku selesai shalat, terasa terbebas dari segala yang berbau dunia. Kurebahkan badan untuk mengusir capek dari perjalanan yang cukup melelahkan tadi. Mungkin sambil menunggu shalat dzuhur yang kurang lebih dua jam lagi.
***
Kami sudah meninggalkan basecamp yang ada di tengah perbukitan tersebut, sekarang kami sudah menyewa sebuah rumah selama menyelesaikan misi di tengah-tengah perkampungan. Untuk menutupi identitas, kami berprofesi sebagai pedagang bakso keliling, tentu dengan profesi ini kami jadi lebih mudah mencari informasi dari warga sekitar.
Selain kelompok kami, militer pusat juga menugaskan beberapa kelompok dari badan intelijen untuk menangkap Mayor Ali, dan meletakkan mereka di daerah-daerah yang berbeda. Entah di mana ia sekarang berada, dan aku bingung, rasa kebencian kepadanya perlahan-lahan menyusup ke pikiranku. Kurasa Jenderal Daud memang benar, pikirannya sudah teracuni kemunafikan, mengaku Islam, tapi tak mau berjuang untuk Islam. Yang hanya tutup mata seolah tak tahu saat orang-orang kafir menyiksa saudaranya di belahan bumi yang lain. Apakah mereka tak punya harga diri, menjadi orang yang penakut untuk meninggikan kalimatullah.
“Jika kamu melihat suatu kemungkaran, maka ubahlah kemungkaran itu dengan tanganmu . Jika kita tidak mampu maka dengan lisan, jika tidak mampu, maka dengan hati, dan demikian itu adalah paling lemah iman. Kalau kita betul-betul orang Islam yang mengaku beriman, tentu akal sehat kita memilih yang paling kuat iman yaitu urutan pertama, mengubah kemungkaran dengan tangan, dengan fisik. Karena jika kita berusaha mengubah kemungkaran dengan fisik, maka kita sudah siap mengorbankan fisik kita yang berupa pinjaman dari Allah, dan akan kita kembalikan kepada Allah,dan itulah paling kuat iman. Allahu Akbar!” Mayor Abu Nur memberi suatu penyemangat yang betul-betul mempertebal iman kami.
“Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar!” gema takbir semakin memantapkan niat ikhlasku.
***
“Ali!” seseorang membangunkanku dan tampak terkejut.
“Kamal! Masya Allah, akhirnya Allah mempertemukan kita lagi!”
“Alhamdulillah, aku kira siapa kamu tadi, ternyata sahabat sendiri. Haha…,” tawanya pun pecah.
Waktu shalat dzuhur sudah tiba, karena itulah Kamal ke mushalla, dan menemukanku yang lagi tertidur. Setelah itu aku pun makan siang di rumahnya. Ternyata tadi Ia sedang di sawah bersama istrinya, hingga rumah memang kosong.
“Tenang sekali di sini, rasanya cuma ingin ibadah saja, nggak kepikiran dunia lagi, Mal!”
“Kalo nggak kepikiran dunia lagi, ya mati, Li. Haha...,” tawanya pun pecah lagi. Begitulah dia, tenang, penuh keceriaan. Rasa iri sekali kalau melihatnya.
“Ya, harus dipikirkan juga to dunia ini. Memangnya kamu sekarang hidup di mana, Li. Di dunia atau di akhirat. Hehe. Asal nggak berlebihan, sekadar untuk membantu kita ibadah kepada Allah, hehe.”
“Iya iya. Cuma guyonan aja, haha.”
Kamal menjelaskan bahwa tidak berapa lama lagi Ia akan mengajari anak-anak desa, baca Al Qur’an dan ilmu agama yang lain. Dan Ia menyuruhku untuk istirahat dahulu.
***
“Kita sudah mengetahui posisi Ali sekarang. Ia berada di Desa Galisari, di sebuah gunung. Dan kita harus melakukan tugas sekarang, semua kelompok sudah memulai pengepungan. Sementara itu, kita bertugas membawa Ali dengan cara lembut lebih dahulu. Karena dia sekarang berada di rumah warga. Jika kita bertindak kasar, maka warga tidak akan membiarkan kita. Kecuali cara itu tidak berhasil. Maka dengan terpaksa kita harus melakukan kekerasan, namun harus cepat, sebelum ketenangan warga terusik,” kata Mayor Abu Nur mengatur strategi.
“Ihsan, kamu yang dianggap paling dekat dengan Ali. Jadi kamu yang akan mendampingiku membujuknya ikut dengan kita.”
“Baik, Mayor,” jawabku mantap.
***
Aku lebih memilih duduk santai di depan rumah Kamal, berusaha menikmati suasana desa. Penduduk desa sepertinya sudah istirahat di rumah masing-masing. Sore yang begitu tenang, seakan sebuah lukisan fiktif namun benar-benar hidup. Sangat berkesan. Kicauan burung membahanai cakrawala Galisari, mengiringi kepakan sayap mereka menuju sarang-sarang dengan kebahagiaan. Anak-anak pulang berjalan bersama-sama dengan baju kecoklatan penuh lumpur. Sedangkan di tangan mereka teruntai ikan-ikan yang dirajut dengan akar. Teruntai dengan harapan, semoga makan malam ini menyenangkan.
Matahari pun mulai meretas jalan menuju tempat peristirahatannya. Sebuah plot cerita kehidupan yang klise, tapi selalu memunculkan tanda tanya dan sesuatu yang tak terduga walau alur itu selalu sama.
Samar-samar terdengar suara beberapa buah sepeda motor. Bukan suatu yang biasa, sebab di sini hanya orang-orang tertentu saja yang punya. Tak berapa lama sepeda-sepeda motor itu melewati rumah Kamal. Di tangan-tangan mereka ada pancing-pancing dan alat menangkap ikan lainnya. Tampaknya mereka ingin ke bendungan Galisari yang terkenal dengan ikan mujairnya. Tapi rasanya hatiku tidak nyaman dan terasa gelisah. Aku kembali masuk ke rumah.
***
“Lapor, kami sudah melihat target di depan rumah yang dimaksud. Dan saya rasa target kurang mewaspadai kehadiran kami.”
“Baiklah, kami akan segera menemui sasaran bersama teman-teman. Tolong amankan lokasi dan jangan menganggap remeh target, ia lebih berpengalaman dari antum.”
Aku, mayor Abu Nur, dan teman-teman pun segera menuju rumah tempat Mayor Ali bersembunyi, setelah Pasukan Jasus sudah melaporkan hasil pengintaian. Deru sepeda motor kami memecah kesunyian perjalanan. Dan menurut target, kami harus segera sampai sebelum maghrib. Karena juka maghrib sudah tiba, pasti penduduk kampung ramai di mushalla samping rumah yang ditempati Mayor Ali.
***
“Assalamualaikum,” kuketuk rumah persembunyian Mayor Ali.
“Waalaikumsalam.” Pintu terbuka dan muncullah seorang laki-laki penuh wibawa.
“Maaf Mas, ada yang bisa saya bantu?”
“Saya mencari teman saya, namanya Ali. Katanya ia ada di sini”
“Oh, ada ada. Saya panggilkan dulu, tadi istirahat di kamarnya. Masuk dulu Mas!”
“Nggih terimakasih”
Laki-laki itu masuk ke dalam memanggil-manggil Mayor Ali. Kami menunggu dengan cemas. Tapi tampaknya ada sedikit kegaduhan di dalam. Dan tak berapa lama laki-laki tadi muncul lagi dengan wajah cemas.
“Aduh maaf Mas, saya juga tidak tahu bilang apa. Mas Ali nggak ada lagi di rumah saya. Barangnya juga nggak ada!”
Seolah tidak percaya, kami langsung masuk ke dalam rumah tanpa permisi, menggeledah setiap sudut rumah, memastikan ucapan penghuni rumah ini benar. Penghuni rumah tak bisa berbuat apa-apa setelah ditodongkan senjata api di kepalanya.
“Bagaimana, ada yang dapat jejaknya?” tanya Mayor Abu Nur lantang.
Semua jawaban sama, Mayor Ali sudah mencium jejak kami dan dan kabur lebih dahulu. Memang licin, misi kami gagal.
“Cepat berpencar, target masih belum jauh!”
Dengan tergesa-gesa kami keluar rumah dan mulai berpencar. Awas kau Ali, dengan izin Allah kami akan menemukanmu!
***
Aku harus cepat meninggalkan kampung ini, walaupun aku tak tahu ke mana hutan Galisari berakhir, aku harus memilh jalan yang paling aman ini. Namun apapun kehendak Allah kelak, aku yakin dengan apa yang sudah jadi takdirku.[ ]
____________________________________________________________________________
Ahmad Kamaluddin
Lahir pada tanggal 29 Desember 1993 di desa yang berada di rerimbunan kebun karet Meratus, Kembang Habang Lama, Rantau. Aktif di FPP ketika beliau berada di kelas 3 tsanawiyah, dan pernah menjadi ketua FPP kurang lebih satu tahun, dari pertengahan kelas 1 aliyah sampai pertengahan kelas 2 aliyah. Tak pernah bermimpi bisa menulis fiksi, namun takdir ilahi tak bisa dipungkiri. Kini beliau sibuk dengan tugas-tugas kuliah di STIKES Muhammadiah Banjarmasin, jurusan D3 Keperawatan. Silaturrahmi bisa melalui email: keimal29@gmail.com, FB: kamal almatthat.
0 komentar: