HP Lipat
21.09 | Author: Forum Pena Pesantren

HP Lipat - forum pena pesantren
Oleh: M. Nuril Azmi Badali

Aku masih termangu duduk di atas sebuah kursi menanti pelanggan yang datang. Setelah menikah dan mempunyai seorang putra, aku belum juga mendapat pekerjaan yang mapan. Terpaksa aku membuka usaha ponsel kecil-kecilan di depan rumahku. Alhamdulillah, penghasilanku sekarang cukup untuk menghidupi kebutuhan rumah tangga, termasuk membiayai sekolah anakku yang kini di pondok pesantren.
Sudah dua tahun anakku menimba ilmu di sana. Aku berharap kelak dia menjadi anak yang saleh dan berbakti kepada orangtua. Tidak seperti aku dulu yang tak pernah serius mendalami ilmu agama ketika berada di pesantren.
“Mas, pulsa isi sepuluh ya…,” kata seorang pelanggan membuyarkan lamunanku.
“Oh iya Mbak, nomornya berapa?”
Pelanggan wanita itu mengeluarkan handphonenya dan menyebutkan nomornya satu-persatu. Kemudian kukirim pulsa sebesar sepuluh ribu ke nomornya tadi.
“Sudah masuk Mbak?”
“Sudah, ini uangnya Mas.”
“Iya, Eh…” Otakku refleks mengingat masa lalu ketika menyadari HP yang bertengger di tangan wanita itu, HP Lipat! Masa ketika dulu aku mondok di pesantren yang kini anakku juga mondok di sana.


***

Ketika gelap menyeruak dalam ketenangan, ribuan bintang berkelip membaur mesra di langit Pondok Pesantren AN NAJAH Banjarbaru. Jilatan angin malam menghambur memasuki celah asrama santri-santri yang terlelap di dalamnya, dalam kesunyian. Siraman rembulan juga tak pernah luntur menyinari kota santri saat itu.
Aku terbaring di atas kasur menanti alam mimpi memanggilku, tapi mata ini tak juga mampu ditidurkan. Belum mengantuk. Kusapu pandangan ke sekeliling ruangan, melacak sesuatu yang mungkin dapat menghiburku pada kepenatan di tengah malam ini.
Kulihat beberapa temanku masih asik ngobrol, entah apa yang mereka bicarakan. Sisanya barangkali sudah terlelap dalam dunia kasur yang meskipun tak begitu empuk, namun sangat membius.
Mataku berhenti menyisiri ruangan, dan tanganku merogoh sesuatu yang dapat dijadikan bahan otak-atik malam ini: sebuah HP lipat. Ya, barang terlarang yang berada di saku celanaku itu memang pilihan tepat guna mengisi kekosongan. Ah, tapi siapa yang bisa diajak berkirim SMS pada tengah malam seperti ini? Sangat membosankan!
Tidak ada pilihan lain, kecuali membuka aplikasi permainan yang tertanam di ponselku itu. Tapi, huh sial, ternyata kosong. Aku lupa telah menghapusnya kemarin lantaran memorinya tak cukup lagi. Apa aku harus mendownloadnya lagi? Ya, benar. Kucari permainan di sebuah situs yang menawarkan aplikasi gratis. Saking asiknya mencari, aku tak sadar suara obrolan teman-temanku sudah hilang, sepi. Hanya nyanyian dari kipas angin murahan yang kini mengisi telingaku. Kulihat jam dinding, sudah pukul 23.30, memang waktunya tidur. Aku pun kembali hanyut dengan HP lipat-ku.
Dari daftar permainan yang kubuka, DRAGON ISLAND CLASSIC III tampaknya paling menarik dan lantas kuklik “download”. Menunggu loading yang lumayan lama, kupejamkan mata sejenak.
Tiba-tiba, sebuah tangan seperti kilat melesat cepat menyambar HP di tanganku. Aku terperanjat. Astagfirullah, ternyata Ustadz!!! Rupanya tadi pintu asrama belum sempat dikunci.
Membawa handphone adalah pelanggaran kelas A, kelas tertinggi, setingkat dengan mencuri, berkelahi dan pacaran. Itu karena begitu “merusak”nya barang tersebut. Dengan benda kecil itu, santri dengan mudahnya bisa pacaran atau bahkan menonton video porno. Tapi sebenarnya bukan untuk itu aku membawanya, tujuanku tak lain yaitu agar mudah berhubungan dengan orangtuaku yang nun jauh di Samarinda sana, kota kelahiranku.
“HP siapa ini?” Ustadz bertanya begitu santainya, sementara aku merasa seperti mau disidang puluhan tahun, luar biasa gugup.
Dengan gemetar, kuberanikan menjawab, “Pu… punya saya, Ustadz…”
“Karena kamu ketahuan membawanya, mau tidak mau HP ini saya sita. Sebenarnya saya hanya ingin melihat-lihat kondisi asrama, eh tidak tahunya mendapati kamu dengan HP ini,” kata beliau dengan seulas senyum, senyum yang seperti tamparan keras di hatiku.
Ustadz Jamaluddin, demikian nama beliau. Beliau adalah ketua bagian keasramaan. Bukan tugas beliau padahal menyita barang-barang terlarang seperti ini, melainkan tugas bagian keamanan. Tapi apa boleh buat, karena semua ustadz memang berhak bahkan wajib menyita barang-barang terlarang yang dibawa santri, asalkan barang tersebut kemudian diserahkan pada bagian keamanan beserta data pemiliknya.
“Ustadz, apa saya boleh mengambil kartunya? Kartu itu sangat penting.”
“Tidak bisa,” kalimat beliau yang terdengar sinis itu sudah tak bisa ditawar lagi.
“Boleh ya Ustadz…” pintaku lagi dengan penuh pengharapan.
“Tidak bisa!!! Sekarang cepat ambil kertas dan pulpen!” suara beliau kini mengencang.
Tidak salah lagi kalau Ustadz memintaku seperti itu, pasti beliau akan mencatat biodataku untuk diserahkan pada pihak keamanan. Lebih parah lagi kalau bagian keamanan kemudian memanggil orangtuaku ke kantor guna mempertanggungjawabkan kesalahanku. Aku harus bagaimana? Ya Allah, bantulah aku! Semoga masalah ini tak akan menjadi masalah besar.
“Tulis nama dan kelasmu di sana!” pinta beliau sebelum kertas dan pulpen itu kuserahkan.
Tanpa pikir panjang, kutulis namaku seadanya: Rizaldy A, kemudian kertas itu kuserahkan. Itu bukan nama lengkapku, sebenarnya nama lengkapku Muhammad Rizaldy Arifin.
“A ini apa? Alien?!”
“Bu… bukan Ustadz, itu singkatan dari Arifin.”
Ustadz Jamal memang kadang suka bercanda, namun di balik canda beliau itu, ada keseriusan yang dalam. Setelah lama menatap kertas itu, beliau kemudian mengajukan pertanyaan lagi.
“Kamu kelas berapa?”
“Satu aliyah A, Ustadz.”
“Kamu tinggal di mana?”
“Samarinda.”
“Cukup jauh. Orangtuamu tahu kalau kamu membawa HP ke sini?”
“Mungkin, soalnya HP ini saya ambil dari kakak saya yang tinggal di Banjarmasin.”
“Banjarmasin? Ia kerja apa?”
“Guru SMP.”
“Siapa namanya?”
Aduh, banyak sekali pertanyaannya, seperti sidang korupsi uang negara saja. Tapi apa boleh buat, aku harus memjawab semua pertanyaan dari seorang Ustadz.
“Ridwan.”
Huh, memangnya penting menanyakan sampai sejauh itu?
Ustadz Jamal terdiam sesaat, seperti sedang memikirkan sesuatu.
“Hm, apa dia seorang guru tilawah?”
Apa?! Kok bisa tahu? Apa beliau kenal dengan Kak Ridwan? Jika dipikir-pikir, sepertinya memang iya, karena Ustadz jamal juga guru tilawah di sini. Aku mengangguk.
“Sudah lama kamu membawa HP ini?” tanya beliau lagi.
“Sudah dua bulan, Ustadz…”
Ingin kukatakan bahwa baru satu minggu aku membawanya, supaya kedengarannya tidak terlalu buruk, tapi aku tak berani berbohong, apalagi pada seorang Ustadz. Benar-benar tak berani. Lagipula, berapa lama pun aku membawa HP lipat itu tetap tak ada gunanya, nasibnya tetap sama.
Sebenarnya yang kupikirkan bukan soal HP-nya, tapi bagaimana nanti malunya bila orangtuaku dipanggil ke kantor. Selain itu, kartu SIM yang telah berisi beberapa nomor penting juga tak dapat kuambil lagi.
“Ustadz, kartunya bagaimana? Di sana banyak nomor penting…”
Ustadz Jamal hanya menggeleng pelan, cukup sebagai jawaban terakhir. “Kartu ini akan saya jadikan bukti di hadapan pihak keamanan nantinya. Siapa tahu ada SMS dari gadis kamu atau…”
“Saya tidak pacaran, Ustadz,” potongku segera.
“Kan siapa tahu? Ya sudah, saya mau ke asrama lain lagi. Besok kamu ke kantor menghadap bagian keamanan,” ucap beliau sambil berlalu meninggalkan asrama. “Assalamu’alaikum,” ucap beliau ketika sudah berada di pintu asrama.
“Wa’alaikumussalam…,” serentak teman-temanku yang rupanya terbangun dan menyaksikan tragedi penyitaan itu menjawab salam dari Ustadz Jamal.
Setelah sosok Ustadz Jamal hilang dari pintu, kulihat senyuman agak menghina di mulut kawan-kawanku dan lantas berubah menjadi cekikikan.
“Hahaha…,” gelak tawa bergemuruh dalam asrama.
“Rasakan! Kamu nggak bakalan bisa tidur malam ini, sama sepertiku waktu pertama ketahuan melanggar qanun,” sembur Rahman, teman di samping ranjangku.
“Ah, sudahlah. Jangan dibahas lagi! Ayo tidur!”
Aku kemudian menarik selimut dan mengurung tubuhku di dalamnya. Pikiranku tak karuan. Malam seperti ikut menertawakanku. Huh, sialan.
Mataku benar-benar tak dapat dipejamkan. Malam yang sungguh panjang. Masalah ini terus-menerus memenuhi benakku. Besok aku harus ke kantor, tak dapat kubayangkan bagaimana tegangnya besok nanti. Kemana menyimpan wajah malu ini di tengah sorotan para Ustadz? Sama saja dengan menari telanjang di hadapan ribuan orang!
Pandanganku semakin merantau jauh, melintasi dimensi ketegangan malam yang larut hingga dibuai ketenangan. Ya Allah, bawalah aku ke dalam mimpi indah walau untuk sejenak.
Getaran hangat menyelinap ke dalam lubang telinga. Setetes embun perlahan mengintip malu bola mataku. Aku seperti mendengar seruan Ilahi dalam pembatas mimpi. Alunan lembut yang memaksaku membuka perlahan helai demi helai bulu mata. Subuh telah menjemputku.
Setelah menunaikan tidur malam yang sangat singkat, aku beranjak mengerjakan shalat subuh. Di setiap gerak sujudku, kusisipkan segumpal doa yang mendalam agar masalahku tak akan menjadi masalah besar. Terang saja, ini baru pertama kalinya aku disuruh ke kantor karena suatu pelanggaran, sehingga bayangan sidang di kantor nanti terus menghantui dan selalu terlintas di otakku. Aku sungguh tak bisa tenang saat ini.
Saat jam telah menunjukkan pukul 8.30, aku sudah berada tepat di hadapan seluruh bagian keamanan, termasuk ketua bagian keamanan, Ustadz Umar. Sejak memasuki kantor, tak pernah sama sekali kuangkat wajahku yang terus-menerus menunduk. Aku benar-benar tegang berada di sini.
“Rizaldy, kamukah yang melanggar qanun dengan membawa HP ini?” tanya Ustadz Umar langsung sambil memperlihatkan HP lipat itu.
Kujawab dengan anggukan. Aku belum berani mengeluarkan sepatah kata pun.
“Kalau begitu, apakah kamu ingin HP-mu ini dikembalikan?” tanya beliau lagi dengan tegas.
“Tentu Ustadz,” kuberanikan menjawab walau pelan.
“Tapi dengan satu syarat, orangtuamu harus hadir ke sini untuk mengambilnya dan harus melakukan perjanjian dengan pihak pondok, bahwa kamu tidak akan melanggar qanun lagi, dan bila ternyata kamu ketahuan melanggar qanun lagi maka kamu akan diberhentikan dari AN NAJAH. Sepakat?”
Ancaman itu sungguh mengerikan: bila melanggar qanun lagi akan diberhentikan! Namun aku benar-benar tak tahu lagi harus berbuat apa kecuali menjawab “Iya”. Yang terpikir olehku hanyalah bagaimana caranya agar masalah ini cepat berakhir.
Dari luar jendela, angin bertiup pelan ke arahku, seperti kasihan padaku. Demikian pula dengan dedaunan akasia di luar jendela sana yang bergoyang-goyang. Aku dapat merasakan semuanya.
“Mas, Mas, uang kembaliannya?” Sebuah suara mengagetkanku.
“Oh, iya Mbak, maaf…,” sahutku gelagapan.
Lamunan masa laluku buyar. Aku hanya tersenyum kecil. Kuserahkan uang kembaliannya sebesar empat ribu rupiah.
“Terimakasih, dijual…,” ucapku dengan seulas senyum.
Wanita itu kemudian berlalu meninggalkan kios ponselku. Aku kembali tersenyum mengingat masa laluku.
Ah, di mana ya HP lipat itu? Seingatku HP itu masih kusimpan di sini. Walau tidak terpakai lagi, tapi benda itu menyimpan banyak kenangan, kenangan kelam. Segera kucari HP itu.

Bipp… Bipp… Bipp…

Handphone di saku celanaku berbunyi, padahal HP lipat itu belum juga kutemukan. Aku benar-benar sudah lupa menaruhnya di mana. Segera kurogoh kantung celanaku.
“Halo?” kubuka percakapan.
“Assalamu’alaikum,” sahut seseorang di seberang sana.
“Iya, wa’alaikumussalam. Ini siapa?”
“Saya Ustadz Zulkifli dari Pondok Pesantren An Najah. Ini benar orangtuanya Naufal Arifin?”
“Benar, ada apa ya Ustadz?”
“Begini, kami meminta Anda datang ke pondok karena anak Anda telah ketahuan melanggar peraturan.”
Aku terdiam sejenak. Setahuku anakku Naufal tak mungkin berani melanggar peraturan.
“Oh maaf, peraturan apa ya Ustadz?”
“Anak Anda kami dapati telah berani membawa HP ke pondok. Jadi kami meminta Anda datang ke sini untuk menandatangani perjanjian…”
Apa? Membawa HP? Jangan-jangan, HP itu, ya, HP lipat itu… Ah, Naufal, kenapa kau mengulang kisah kelamku?[ ]

24-02-2011
____________________________________________________

M. Nuril Azmi Badali - forum pena pesantren

M. Nuril Azmi Badali


Tak ada nama pena. Tapi entah kenapa kebanyakan teman memanggilnya “Bee Doll”. Gak penting dan gak ada sejarahnya. Pria kelahiran Amuntai, 16 Februari 1995 ini selalu fun dan gak pilih-pilih teman. “Semua teman adalah orang yang berada di sekelilingku,” itu yang dikatakannya. Tapi, dengan orang yang sangat asing, dia rada easy going, jadi jangan takut buat nyapa dia duluan ya... dia pasti nyapa balik. Bisa juga lewat jejaring sosialnya di monuzamie@yahoo.com

This entry was posted on 21.09 and is filed under , , . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, or trackback from your own site.

0 komentar: