Akulah pemilik mata merah. Memyeret-nyeret kaki di trotoar yang terang dan gelap berselang-seling. Bibirku mengapit sebatang rokok menthol. Jadilah mulutku bak knalpot mobil tahun tujuh puluhan. Seperti pisau, udara malam menusuk belulangku, setelah berhasil menembus kemeja dan pori-poriku. Aku tahu bahwa diriku kedinginan, tapi aku melepaskan jasku dan menggantungkannya di salah satu pundak. Bukan apa-apa, ini karena tuntutan. Bukankah tuntutan dari orang yang stres itu mesti berpakaian acak-acakan? Kemejaku pun kancingnya lepas sebagian dan dasi kujadikan penutup mata. Aku ingin tidur!
Akulah pemilik mata retak. Menyusup di sela-sela bangunan raksasa. Jalan-jalan telah lengang, hanya beberapa mobil yang kadang berhenti di samping wanita ber-make up menor dan ketika mobil tersebut jalan lagi, wanita tadi hilang dari tempatnya.
Agaknya cuaca mendung, dari tadi angin bertiup kencang. Orang-orang telah lari ke balik selimut. Aku pun ingin begitu, sangat capek. Saat malam bertandang, memarahi karyawan yang kerjaannya nge-game terus siang tadi, cukup meremas-remas otakku. Inilah waktunya bermanja di springbed. Namun keempukan kasur dan kehangatan selimut tak lebih hanyalah sebagai fasilitas untuk mendapatkan kenyenyakan tidur.
Sialnya, yang kudapat cuma sebatas fasilitas. Meskipun mataku telah memerah darah berbentuk retakan laksana bengkakan tanah di musim kemarau, tetap saja aku tak dapat tidur lelap. Tidur nyenyakku telah diambil Tuhan!
Terkadang aku hampir sinting jika memikirkannya, bisa-bisanya para gembel tidur tenang. Padahal mereka tidak tahu, apakah besok mereka akan makan sampah atau makian orang. Bisa saja mereka sarapan dengan air got karena dua kecerobohan, karena terlambat bangun dan memilih pelataran ruko yang salah. Kadang pemilik ruko bangun lebih pagi dan kebetulan ia adalah seorang tiran. Tak segan orang macam ini mengguyur gembel yang tidur di pelataran rukonya dengan air got.
"Pergi pembawa sial, nanti toko saya bau gembel!”
Lantas apa yang salah denganku, hingga aku harus menanggung kutukan ini. Padahal makananku terjamin kehegienisannya dan sarat gizi, kediamanku tangguh, suhu di dalamnya mampu beradaptasi terhadap pergeseran musim. Jangan pertanyakan berapa jumlah uangku, sebab aku sudah lupa berapa jumlahnya.
Bermacam cara telah kujalani, dari berkonsultasi dengan dokter sampai mendekorasi kamar sedemikian rupa. Suatu kali, aku pernah bertemu seorang profesor bernama Najamuddin yang tak begitu kukenal. Dari bola mata dan kantung mataku, ia tahu bahwa aku termasuk orang Jepang yang mengidap insomnia kronis. Katanya, tidurlah di bawah pendar lampu biru violet, itu bisa membuat rileks dan mensugesti tidur. Tapi semuanya nihil. Aku muak dengan semua itu. Kucari alternatif lain, yang sempat terpikirkan adalah jalan religius.
Bukankah Tuhan yang berkuasa atas segala makhluknya? Karena itu, sehabis misa di hari Minggu, aku rutin membuat pengakuan dosa. Mungkin saja dalam diriku ada dosa yang menggelisahkanku. Sering juga aku menangkupkan kedua tanganku di hadapan Tuhan Yesus. Tapi, tampaknya Tuhanku yang satu ini tuli, sebab permintaanku tak kunjung diluluskan olehNya. Apakah aku salah berasumsi bahwa Yesus itu adalah Tuhan? Ataukah sebaiknya aku kembali kepada Tuhanku yang dulu saja?
Tuhanku yang dulu saja? Tuhan Matahari. Oh, tidak!!! Dia bukannya membantuku, malah sebaliknya, cahayanya itu sangat menyilaukan.
***
Bawang putih busuk menggantung di mana-mana dengan bau yang anyir, belum lagi asap kemenyan yang menyesakkan. Ruangan tempat aku berada sekarang tidak mempunyai jendela. Pengap. Hanya dipendari jajaran lilin yang meliuk-liukkan apinya. Temboknya dilapisi kain hitam. Dengan bergidik, kulirik di pojok meja rendah di hadapanku, teronggok tengkorak tempurung kepala. Entah asli atau hanya imitasi.
Kemarin…
Hari ini bukan Minggu, melainkan Jumat. Makanya, orang yang lari pagi hari ini tampaknya cuma aku seorang. Mayoritas orang disibukkan oleh rutinitas masing-masing. Aku? Aku tak masuk kerja. Lagipula, siapa yang berani memecat pemilik saham terbesar?
Sebelumnya, asaku nyaris putus, hingga kudengar perkataan orang bijak,"Capek adalah obat tidur paling mujarab”. Baiklah, tekadku sudah membatu. Mungkin saja staminaku ini perlu dikuras habis-habisan. Setidaknya, aku pingsan setelah berlari seharian tanpa makan dan minum. Matahari mulai memanjat langit saat aku siap dengan kaos trainingku. Langkah menuju tidur pun dimulai.
Kakiku mulai pegal. Kutengok arloji, baru pukul 08.00. Penat. Kubaringkan tubuhku di kursi halte. Semoga bisa tertidur. Hingga 15 menit, tak kudapatkan tidurku. Yang kudapat hanya malu dari orang-orang yang menatapku heran. Aku berpikir ini belum cukup. Aku pun kembali berlari.
Lututku lepas…!! Itu jika lutut ini bercap "Made in China". Matahari telah mencapai puncaknya. Garang. Kali ini aku takkan berhenti kecuali pingsan. Mukaku basah kuyup oleh keringat, meliuk-liuk di lekukan wajahku dan berakhir di ujung dagu. Lidahku kemarau. Dehidrasi ringan akan membuatku pingsan. Pasti.
Jalanku mulai zig-zag, serupa modus petir Dewa Zeus. Bunyi klakson menitahku menyingkir ke pinggir jalan.
“Bug!!!”
Spion Strada membentur lenganku. Berputar-putar sebelum akhirnya aku tersandar di bawah pohon akasia. Seseorang di jok pengemudi menghardikku.
"Jepang edan! Udah mata sipit, naruhnya di dengkul lagi. Nggak liat apa mobil segede gini?!" Strada berlalu dan menghadiahiku karbon dari knalpot.
Tak sengaja, di seberang sana, di halaman Mesjid At-Tanwir, dengan samar kulihat pemandangan ganjil. Seketika bola mataku lepas dari cangkangnya. Mulutku dimasuki seekor lalat karena dikira sebuah gua. Tubuhku lumutan. Dengan terburu-buru aku seberangi jalan ke arah mesjid.
Aku mengendap-ngendap di selasar pagar mesjid untuk mendekat, dan memastikan pemandangan di luar nalarku itu.
Berkali-kali kukucek mataku, kupukul pipiku, kugigit lidahku, dan semua itu sakit. Ini bukan mimpi. Pemuda bertopi bundar itu benar-benar tidur di halaman ini!
Karena di dalam mesjid penuh, sebagian jemaat menghamparkan sejenis taplak berbulu di halaman mesjid. Selagi orang berjubah yang berdiri di atas semacam tangga beratap memberikan petuah, di halaman ini, pemuda bertopi bundar itu menelungkup. Padahal matahari tengah garang dan juga halaman ini berkerikil, tentunya tidak nyaman diduduki. Lebih-lebih di sini bising, diakibatkan oleh lalu-lalangnya motor orang yang rendah moralnya.
Aku harus tahu rahasianya. Dengan mengintip dan menguping, akhirnya teman di samping pemuda itu menyenggolnya.
"Wooii… bangun!!! Cepat wudhu, bentar lagi shalat Jumat!".
Dengan malas pemuda itu membuka matanya sambil menguap kuda nil. Saat meregangkan otot dia berujar, "Setiap kali khutbah pasti gue ngantuk mulu".
"Mata lo itu emang digantungin iblis mulu," timpal temannya.
Aku terperangah dengan dahi kumal. Iblis? Aku harus mencari iblis, biar nanti kusuruh dia menidurkanku. Setahuku yang mempunyai relasi dengan iblis adalah dukun, karena itulah aku bisa sampai di tempat ini yang dikelilingi asap dupa ini.
"Anda ingin kaya kan?" tebak Mbah setelah mencium kerisnya.
"Saya sudah kaya," sahutku dingin.
“Oh…maaf, belakangan ini Mbah kurang konsentrasi, jadi sering ngelantur, he…he… Silakan, apa keperluan Anda?”
"Pertemukan saya dengan iblis!" pintaku mantap.
***
“Praang!!!”
Kubanting botol kaca kecil yang berisi kertas itu, pemberian dari Mbah yang tidak cuma-cuma. Katanya gulungan itu surat rekomendasi untuk iblis dan harus dilarutkan di sungai pada malam Jumat Kliwon.
Karena penasaran, aku iseng membuka tutup botol itu. Ternyata isinya bekas kertas soal ulangan. Aku pun murka. Bukan karena habis lima juta, melainkan karena kebodohanku. Bisa-bisanya aku yang jenius ini percaya dukun, mungkin aku memang benar-benar sudah gila.
Sudah kuputuskan dengan bulat, Jumat pekan ini aku akan ke mesjid dan akan kukorek informasi tentang iblis. Setahuku, iblis itu adalah makhluk yang menyesatkan, dan mempunyai tanduk. Entah iblis macam apa yang dimaksud oleh pemuda bertopi bundar itu. Iblis tidur, mungkin.
Aku berangkat ke mesjid dengan seragam yang lengkap. Memakai topi bundar, baju koko dan celana kain. Sebenarnya aku ingin memakai sarung, tapi susah.
Aku kikuk berbaur dengan jemaat yang asing bagiku. Orang-orang di sekelilingku menjabat tanganku. Akrab. Namun, aku agak canggung, sebab tidak terbiasa berjabat tangan dengan orang yang tidak dikenal.
Orang berjubah putih menaiki tangga beratap, dan petuah pun mengalir. Beberapa orang benar-benar tertidur. Petuah itu terdengar seperti nina bobo di telingaku. Entah sugesti dari mana dan aku tidak bisa mendeskripsikannya, mataku terasa berat. Leherku capek menahan kepala yang semakin berbobot, hingga daguku menempel di dada, sampai akhirnya aku tak sadarkan diri.
Sesaat kemudian…
"Mas, bangun! Sholat!" seseorang membangunkanku.
Membangunkanku?!
****
Aku hampir saja histeris karena terlewat senang, jika tidak sadar bahwa aku berada di mesjid. Inikah hawa iblis? Aku akan menjalin relasi dengannya. Jika sudah akrab, kuajak saja dia ke rumah, agar di rumah pun aku bisa tidur.
Seusai shalat. Langkah pertama kusenggol orang di sampingku dan bertanya.
"Saya pengidap insomnia kronis. Anehnya, ketika petuah tadi dibacakan saya pun tertidur. Bisakah Anda memberitahu saya, iblis macam apa yang menidurkan saya tadi?".
Dia sempat bingung, namun segera menguasai keadaan.
"Saya kurang paham maksud pertanyaan saudara. Tetapi yang jelas, yang menidurkan Anda tadi itu adalah Allah, Tuhan yang tidak pernah tidur.”
Allah? Jadi bukan iblis?
"Terserah siapa pun orangnya, tapi bisakah Anda membantu saya menciptakan relasi antara saya dengan orang yang menidurkan saya tadi?” Aku pun bicara blak-blakan, tanpa peduli ketahuan bahwa aku adalah non Islam.
"Insya Allah," jawab Profesor Najamuddin yang awalnya tidak kusadari.
Insya Allah? Istilah apa lagi itu? Kuanggap saja itu sebagai ungkapan deal, sebab kulihat tadi dia mengangguk.[]
____________________________________________________________________
Muhammad Ilham
Bertempat tinggal di Jl.Sultan Adam, Komp. Pondok Merpati, No. 31, Kel. Surgi Mufti, Kec. Banjarmasin Utara, Banjarmasin. Sekarang kuliah di ITN Malang jurusan Telekomunikasi.
Pernah menjabat sebagai wakil ketua dan bendahara di FPP.
Blog: http://ielhamkudo.wordpress.com. HP: 0857 5171 3040.
0 komentar: