Pernahkah kau mendengar cerita tentang sekarung kebahagiaan dari surga? Sepertinya kau belum pernah mendengarnya. Ini cerita yang sangat rahasia, dan selalu dicoba hilangkan dari dunia. Hanya segelintir orang yang tahu tentang cerita ini, salah satunya adalah Kakek. Di suatu malam yang dingin, beliau menceritakannya padaku, karena takut cerita ini akan benar-benar musnah. “Dalam cerita inilah kebenaran yang sesungguhnya,” terang Kakek malam itu.
“Kenapa orang-orang ingin memusnahkannya, Kek?”
Kakek berpikir sejenak sembari menerawang, matanya lurus menatap keramaian kota di depan rumah sederhana kami.
“Mereka takut malu, Cu. Jika cerita ini sampai diketahui orang banyak, kebahagiaan yang mereka bangga-banggakan tidak ada lagi artinya…”
Aku tak sepenuhnya mengerti dengan jawaban Kakek itu, karena saat itu aku masih berumur sepuluh tahun. Tapi kubiarkan saja akhirnya beliau bercerita.
Saat ini, aku merasa umur yang diberikan Tuhan akan habis tak lama lagi. Sementara aku, seperti Kakek dulu, tak ingin jika kebenaran ini lenyap, dan tersisa hanya kebohongan. Semua orang harus tahu cerita sekarung kebahagiaan dari surga ini. Maka meski aku tak yakin apakah ingatanku tentang cerita ini masih sempurna, izinkanlah aku menceritakannya padamu. Ya?
***
Seorang bidadari begitu bosan dengan kebahagiaan di surga, dengan sungai-sungainya, telaganya, kebun-kebunnya. Semua kenikmatan yang ia mau bisa ia dapatkan secepat kilat, tanpa kecuali. Tapi kelamaan, ia akhirnya bosan. Apa yang telah dijalaninya ribuan tahun ini seperti mimpi saja, pikirnya. Sesuatu yang semu. Kesadarannya mengatakan kehidupan dunia tidak sebahagia ini, dan ia diam-diam merindukan ketidakbahagiaan itu.
Seperti keinginannya yang sudah-sudah, begitu mudah mewujudkannya. Dengan membawa bekal sekarung kebahagiaan untuk jaga-jaga, bidadari itu diturunkan ke dunia. Tak masalah. Toh jika aku bosan di dunia dan ingin kembali ke surga, aku tinggal meminta. Para malaikat akan segera melayaniku.
Dengan anggun, bidadari itu mendarat di sebuah kota. Debu dan asap segera menyambut kedatangannya. Matahari siang itu seperti mendekat, begitu panas. Indra-indra tubuh bidadari itu mulai beradaptasi.
Ia menduga, pastilah semua lelaki di kota ini terpana dengan kemolekan dan kecantikan parasnya. Tapi ternyata dugaan itu salah. Orang-orang hanya menolehnya sepintas, lalu kembali menekuni aktifitas mereka masing-masing. Ia tak ubahnya wanita-wanita biasa yang banyak berkeliaran di kota ini. Apa yang salah?
Ia coba perhatikan wanita-wanita di kota itu. Astaga… rupanya wanita-wanita itu pun tak kalah cantik dengannya. Mereka mengerti betul bagaimana agar diri mereka terlihat cantik di hadapan lelaki. Sang bidadari pun akhirnya sadar, ternyata kehidupan di dunia memang tidak mudah, semua tidak berjalan sesuai kehendak. Tapi bukankah memang seperti ini yang kurindukan? Ya, benar.
Cukup lama bidadari itu termenung di tempatnya, hingga sebuah tangan lelaki kekar menariknya. Bidadari panik. Ia diseret ke sebuah kamar yang berantakan dengan bau yang menyengat. Bidadari menduga-duga apa yang akan dilakukan lelaki kekar itu. Namun belum usai otaknya berpikir, lelaki itu sudah membuka resletingnya.
***
Di kamar pengap itu, sendirian ia menangis. Ini air matanya yang pertama sejak ribuan tahun tinggal di surga. Bukankah memang ketidakbahagiaan ini yang kuinginkan? Ah, tidak, ketidakbahagiaan ini sudah berlebihan! Lalu apa yang harus kulakukan?
Bidadari itu tiba-tiba tersentak. Ia teringat dengan karung berisi kebahagiaan yang ia bawa. Kebahagiaan itu seperti gula. Ia ambil sedikit dari karung itu, lalu ia jilat. Seketika wajahnya berubah cerah.
Bergegas ia meninggalkan kamar itu. Tujuannya ialah kehidupan masa lalunya di dunia sebelum ia pindah ke surga. Sebuah rumah di perkampungan tempat ia dulu tinggal bersama orangtuanya. Berhari-hari dicarinya kampung itu, tapi tak pernah ia temukan. Seminggu, sebulan, setahun, seabad, tak juga ia menemukan kampungnya. Di dunia tak ada lagi kampung, seluruhnya kota.
Selama pencarian itu pula telah tak terhitung berapa lelaki yang menyantap tubuhnya dengan kasar. Bidadari itu kelelahan. Di kakinya telah banyak goresan luka, demikian pula hatinya. Tapi kebahagiaan masih setia padanya, padahal kebahagiaan yang ia jilat dulu tak lebih dari satu butir.
Dunia tak semudah yang ia bayangkan. Keinginannya tak pernah menemu hasil. Aku rindu surga, aku harus kembali selagi aku masih bahagia, harus kembali! Bidadari itu lantas berdoa. Kemudian ditunggunya malaikat yang akan menjemputnya. Berhari-hari, berabad-abad, malaikat yang ditunggu itu tak pernah datang menjemputnya. Bagaimana ini? Apanya yang salah?
Dipandangnya sebuah gedung raksasa yang ada di depan tempat ia duduk menunggu. Mendadak sebuah ide terlintas di benaknya: kematian! Bidadari segera berlari dan naik ke puncak gedung. Tanpa ragu ia melompat. Di bawah sana ia lihat seseorang telah menunggu. Ia seorang malaikat!
“Kau akan kuantar ke neraka,” ucap malaikat itu ketika ia sudah jatuh di tanah.
***
“Dasar anak durhaka!!!”
Abdullah bertengkar lagi dengan kedua orangtuanya. Entah sudah berapa ratus kali orangtuanya menyebutnya anak durhaka. Abdullah sebenarnya tak mengerti, ia selalu melakukan apa yang mereka perintahkan, akan tetapi tetap saja mereka menyebutnya anak durhaka.
Kali ini Abdullah benar-benar sudah muak. Ia sadar tak akan pernah mendapat kebahagiaan dari kedua orangtuanya itu karena mereka sangat membencinya, terlebih sang ayah. Diambilnya sebilah pisau dari dapur. Pisau yang mengkilat itu ia layangkan ke mulut ibunya yang tak pernah diam, hingga mulut itu benar-benar diam, dan pisau itu tak lagi mengkilat, melainkan merah berlumur darah. Setelah itu ia gorok leher ibunya. Darah muncrat.
Ayah Abdullah terpaku di tempatnya berdiri. Selain karena ngeri, ia juga memang benci dengan istrinya. Ia ingin lari, tapi Abdullah segera mencegat. Anak itu seperti kesetanan. Langsung ia tancapkan pisau yang ada di genggaman tangannya ke dada ayahnya. Jleb!
Dengan pisau itu, dikoyak Abdullah dada ayahnya tanpa perasaan hingga ia menemukan sebuah hati. Dalam hati itulah kebencian milik sang ayah ia temukan. Kebencian yang membengkak, hingga tak ada sesuatu lain lagi dalam hati itu kecuali kebencian. Langsung ia injak-injak kebencian itu sampai hancur.
***
Abdullah keliru, dia pikir setelah kedua orangtuanya mati, tidak ada lagi yang akan menyebutnya anak durhaka. Namun ternyata justru seluruh dunia yang menyebutnya anak durhaka. Ia bingung bagaimana lagi ia meneruskan hidup, seluruh dunia tidak ada yang menerimanya. Akhirat? Ya, benar, cuma tempat itu barangkali yang mau menerimaku.
Ia naik ke puncak gedung apartemen tempat ia tinggal. Inilah jalan satu-satunya. Selangkah lagi ia akan melompat. Sebelum ia melompat, matanya tertumbuk pada sebuah karung mencurigakan. Dari baunya sungguh wangi. Perlahan ia buka karung tersebut. Apa ini? Seperti gula.
Dicicipinya butiran-butiran seperti gula itu.
“Aku bahagia, sangat bahagia…”
Abdullah lantas turun membawa sekarung kebahagiaan itu setelah sebelumnya mengurungkan niatnya untuk bunuh diri. Semua orang di dunia harus mencicipi ini! Bila mereka mencicipinya, pastilah akan lenyap segala ketidakbahagiaan di hati mereka, dan mereka pun akan sibuk bersama kebahagiaan mereka masing-masing. Tidak akan ada lagi yang peduli dengan kedurhakaanku!
Tak perlu lama, kebahagiaan itu sudah meyebar ke seluruh penjuru dunia. Semua manusia telah mencicipi kebahagiaan itu. Tak seorang pun yang tidak merasakannya. Seabad, dua abad, tiga abad, sejuta abad… Orang-orang di dunia akhirnya bosan dengan kebahagiaan. Banyak dari mereka yang berusaha menjualnya. Di toko-toko, di warung-warung, di mall, bahkan dijajakan di perempatan jalan.
“Maaf Kek, kami juga perlu makanan. Simpanan kebahagiaan kami juga masih banyak.”
Demikianlah, sampai kebahagiaan tak pernah lagi dibicarakan, layaknya napas yang tak perlu dipikirkan. Banyak orang yang membuang butiran kebahagiaan miliknya, namun tak sedikit pula yang memungutinya.
***
Begitulah cerita yang kudengar dari Kakek. Barangkali tidak sama persis apa yang telah kuceritakan ini dengan cerita Kakek, karena memang hanya ini yang masih melekat di ingatanku sampai sekarang. Bila aku ingat sesuatu yang lain lagi mengenai cerita sekarung kebahagiaan dari surga ini, aku janji akan menceritakannya lagi padamu jika memang umur yang diberikan Tuhan masih tersisa.[ ]
Puntik Dalam, 26 Ramadhan 1432
______________________________________________________________________
Zian Armie Wahyufi
Mahasiswa S1 Keperawatan STIKES Muhammadiyah Banjarmasin. Lahir di Rantau 25 Juni 1991. Tinggal di Desa Puntik Dalam, Kec. Mandastana, Kab. Barito Kuala, Kal-Sel.
Karya-karyanya pernah dimuat di SKH Media Kalimantan, Radar Banjarmasin, Banjarmasin Post, dan tabloid Serambi Ummah. Sebagian juga dibukukan dalam antologi bersama: Tembok Suci (Mingguraya Press, 2011), Teriakan Bisu (Tahura Media, 2011), Balian Jazirah Anak Ladang (Aruh Sastra Kalimantan Selatan 2011), Hadiah Kecil untuk Orangtua (Leutika Prio, 2011), Melodi Cinta Putih Abu-abu (Leutika Prio, 2011), Love Autumn (Diva Press, 2012), Kincir Angin pun Memilih (Mingguraya Press, 2012), Episode Luka (Komunitas Penakita, 2012), dan Malam Kumpai Batu (Tahura Media, 2012).
Pendiri FPP ini sekarang mengelola toko buku online BukuMurah.net dan blog pribadi http://zianxfly.wordpress.com. Bisa dihubungi via email atau FB: zianarmie@gmail.com, atau ke nomor HP: 0852 4861 3969.
0 komentar: