Manusia itu diciptakan paling sempurna dari makhluk lainnya. Kata-kata itu terus kumasukan ke dalam hati demi menenangkan jiwa dan pikiranku yang masih kalut. Sudah beberapa hari ini ketenanganku dirampas paksa oleh makhluk-makhluk itu. Sesuatu yang sangat kuperlukan karena tak lama lagi aku akan mengikuti kejuaraan pencak silat mewakili pesantrenku.
Jam di dinding telah menunjukkan pukul dua belas, namun di tengah malam yang dingin ini, walaupun aku sudah berada dalam selimut dan merebahkan diri di kasur yang empuk, mataku tak juga mau dipejamkan. Entah mengapa, setiap hembusan angin menerpa dedaunan bagaikan sederet langkah monster-monster berkaki empat dengan bulu-bulu tebal dan taring yang tajam dalam imajinasiku.
Kembali kuhela napas, kupandang seisi asrama Zaid Bin Tsabit, tempat tinggalku sekarang. Suasana sunyi. Terasa mencekam di tengah malam ini. Hembusan napas terasa mengelilingiku dan mata-mata kecil seakan bermain-main melihat kegelisahanku sekarang. Otakku mulai berputar-putar, mencari cara mengakhiri teror ini.
Kurasakan ada bayangan kecil yang bermain-main di bawah ranjangku. Kucoba mengabaikan dan menenangkan diri. Semakin lama semakin jelas. Dan akhirnya ketiga makhluk berbulu itu sudah berada di hadapanku dengan gigi-gigi tajamnya.
“Aaaaaaaah!” teriakku histeris dan terpelanting jatuh dari atas ranjang. Napasku naik turun, aliran darahku menderas. Tak karuan. Jantungku memompa tak beraturan.
“Kamu kenapa Rahman?” tanya Hafiz tiba-tiba di sampingku. Bahkan aku tak menyadari kedatangannya.
“Makhluk itu datang lagi, Fiz.”
“Makhluk apa maksud kamu?” tanya Hafiz lagi, seolah tak mengerti bahasa tubuh yang aku perlihatkan.
“Makhluk apa lagi kalau bukan kucing yang selalu saja meneror dan mengganggu ketenangan asrama kita!”
“Iya iya, aku ngerti. Aku juga hampir kewalahan menghadapi kucing-kucing yang selalu bikin asrama kita bau itu, tapi jangan histeris gini dong. Santai aja kale!” Hafiz mencoba menenangkan.
Pandanganku tertuju pada pintu yang terbuka.
“Siapa yang membuka pintu asrama?” tanyaku.
“Itu tadi Hamdani ke WC, mungkin dia lupa menutup pintunya kembali.”
Aku takut kucing-kucing yang lain masuk ke asrama seperti biasanya. Asrama Zaid Bin Tsabit ini memang sering dijadikan para kucing tempat nongkrong mereka karena letaknya yang tidak jauh dari ruang makan, habitat asli mereka. Dan benar saja, seekor kucing gendut dengan mata sayu masuk begitu saja melalui pintu dan berjalan dengan santainya bak peragawati di atas catwalk. Kucing tambun berwarna hitam itu mendekat ke dinding dan menggesek-gesekkan ekornya di sana. Secara refleks, dengan raut muka tak bersalah kucing itu kencing di sana.
Aku hanya dapat berdiri memantung dengan mulut terbuka melihat kejadian yang sebenarnya sangat sering terjadi itu. Dan tanpa sadar, lewat pintu yang terbuka tadi kembali masuk tiga ekor kucing lagi, jadinya sudah ada tujuh kucing yang ‘ronda’ ke sini. Salah satu dari yang baru datang itu langsung berak di dalam asrama. Kemudian dua yang lain langsung berkelahi dengan kucing terdahulu. Arena pertarungan semakin memanas. Mereka bertarung sampai terkencing-kencing. Teriakan, cakaran, bahkan tendangan dan pukulan pun tak terelakkan. Mereka bertarung sampai titik kencing penghabisan.
“Aaaaaaaaaahh! Aku bisa gila!” teriakku membuat Hafiz mendekatiku dan menepuk pundakku.
“Di balik setiap cobaan pasti ada hikmahnya. Lihat kucing itu, dia bertarung dengan emosi, sedangkan kucing yang belang tiga dengan santainya menghindar dari cakaran musuhnya dan dengan leluasa dia bisa menerkam badan kucing yang menyerangnya sampai bercucuran darah dan lari terbirit-birit tanpa menyadari di depannya ada got. Begitulah dirimu yang akan merebutkan piala Gubernur Cup bidang pencak silat, harus dengan hati tenang menghadapi musuh dalam arena pertandingan, tanpa emosi, karena kalau kita emosi pikiran tidak jalan, yang ada hanya hawa nafsu yang menguasai diri kita,” jelas Hafiz seperti orang ceramah di majlis-majlis, membuatku mengangguk-angguk seakan aku paham akan perkataannya.
“Cepat tidur, besok kamu kan keluar pesantren untuk membawa nama pesantren kita. Tunjukkan bahwa anak pesantren juga hebat bela diri. Sedangkan kucing-kucing ini biar aku yang membereskan,” katanya dengan senyuman membuatku bersemangat. Ia lalu mengusir kucing-kucing itu dan mengambil ember.
Alhamdulillaah… Aku bebas dari terror ini, tetapi masih ada cobaan yang harus kuhadapi besok, yaitu melawan beberapa pesilat-pesilat dari perguruan Telapak Suci, Setia Hati, Kera Sakti, Silat Nusantara, Gardu Sejati Indonesia, dan lain-lain, aku membatin seraya berdoa semoga diselamatkan dari mara bahaya.
***
Sorak-sorai penonton memenuhi gedung olahraga di mana kejuaraan pencak silat ini dilaksanakan. Setelah tadi hanya menonton, kini tibalah giliranku. Pak Sayuti, sang pelatih memberikan anggukannya kepadaku sebagai tanda dukungan. Ini adalah pertandingan yang sangat kunanti-nantikan. Segala persiapan dilakukan hanya untuk pertandingan ini.
Kembali kubersitkan doa dalam hati. Aku melangkah memasuki arena pertandingan. Kuperhatikan lawanku dari ujung rambut hingga ujung kaki. Besar tubuhnya tak jauh berbeda denganku, kemungkinan tak akan sulit mengalahkannya. Namun yang membuatku cukup heran adalah wajahnya, semakin kuperhatikan wajahnya semakin mirip dengan kucing. Memang demikian adanya, atau hanya karena isi kepalaku yang tak pernah kosong dari makhluk bertaring itu, entahlah. Aku sungguh bingung. Pikiranku kembali kacau. [ ]
_______________________________________________________________
Abdurrahman
Lelaki macho ini sekarang ikut bergabung di asrama khusus Bahasa Inggris. Untuk tanggal lahir, lelaki ini lahir tanggal 23 Oktober 1994 di Banjarmasin. Beralamat di Jalan Ujung Benteng RW. 3 RT. 12 No. 1. Bagi yang tertarik untuk kenalan bisa klik rahma@myself.com. Usut punya usut, katanya beliau ini fans berat Ustadz Hamdani (Ayo bilang waww!). Sekarang berada di kelas II aliyah. Karya-karya lain bisa dinikmati di blog: rahmanfpp.blogspot.com.
0 komentar: