Pagi cerah dengan pancaran sinar matahari yang mulai menampakkan diri dari balik pegunungan. Awan menghiasi langit yang begitu indah terkena sinar matahari. Air embun berjatuhan dari atas daun yang beraneka ragam di depan rumah. Angin pagi yang begitu sejuk membuat apa saja yang dilaluinya merasa senang. Pepohonan menari-nari seiring nyanyian pagi yang begitu merdu, didengarkan oleh setiap orang. Binatang-binatang mulai menyapa dan beraktifitas dengan kegiatan masing-masing di pagi hari.
Aku tengah mempersiapkan makanan di dapur, lauk dan rempah-rempah seadanya yang dibeli Ayah seminggu yang lalu. Ayah sedang bersiap-siap pergi bekerja mencari rejeki untuk kami makan dan ongkos sekolahku yang kadang-kadang tak cukup, karena Ayah hanya kuli bangunan yang gajinya tak tetap. Tetapi aku bersyukur punya ayah yang begitu bersemangat untuk menyekolahkan anaknya. Ibu telah meninggalkan kami sejak aku berumur tiga tahun karena tak tahan hidup miskin bersama kami. Sekarang katanya ia menjadi istri seorang pengusaha sukses di ibukota. Sejak saat itu Ayah bertekad menyekolahkanku sampai ke perguruan tinggi.
“Rani, makannya sudah siap?” tanya Ayah yang membuyarkanku dari lamunan tentang Ibu.
“Sudah, Yah,” sahutku pada Ayah yang telah memasuki ruang makan.
“Kita makan yuk!” ajak Ayah padaku.
Aku pun duduk di seberang Ayah sambil memikirkan sesuatu.
Apakah kubicarakan pada Ayah? Aku bertanya dalam hati. Ah, nggak usah… tapi…
“Ran, ada apa? Sepertinya ada yang kamu pikirkan,” tanya Ayah menyadarkanku dari lamunan.
“Nggak Yah, nanti nambah repot Ayah lagi,” kataku sambil meneruskan makan.
Setelah makan aku mencuci piring dan langsung berangkat ke sekolah diantar Ayah.
“Yah, Ayah bisa mampir sebentar nggak ke sekolah?” tanyaku pada Ayah setelah sampai di depan sekolah.
“Memang kenapa?” Ayah balik tanya padaku.
“Hari ini kan aku lulusan, Yah,” jelasku pada Ayah.
“Bisa, biar nanti Ayah telepon mandornya untuk minta izin terlambat,” ucap Ayah dengan senyum mengembang.
“Makasih, Yah,” kataku kegirangan sambil mencium ayah.
“Tunggu sebentar, ayah menelepon mandor dulu ya?”
“Iya,” kataku sambil menuggu di motor.
***
Akhirnya, dimulai juga acara kelulusan ini setelah cukup lama menunggu. Para hadirin sepertinya juga sudah bosan terlalu lama menunggu di ruangan yang cukup panas ini. Keringat membasahi wajah para hadirin.
“Assalaamu’alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh…” buka pembawa acara dengan semangat.
“Wa’alaikum salaam warahmatullaahi wabarakaatuh,” sahut hadirin serentak.
Setelah beberapa lama melewati sambutan-sambutan, akhirnya acara yang dinanti pun tiba, yaitu pengumuman kelulusan.
“Semua siswa dan siswi SMA Dharma Bhakti dinyatakan lulus semua,” kata kepala sekolah membuat semua orang yang hadir gembira.
“Untuk juara pertama jatuh pada,” lanjut pak kepala sekolah membuat setiap siswa gugup menunggu, “Rani!”
Aku dan Bapak melonjak gembira. Inilah kebahagiaanku, yaitu membuat Ayah bangga.
“Untuk juara kedua dan ketiga jatuh pada,” pak kepala sekolah bicara lagi setelah keadaan mulai tenang, “Iin dan Nurul. Dan mereka yang disebutkan tadi berhak mendapatkan beasiswa sebesar sepuluh puluh juta dari pemerintah kota Banjarbaru,” lanjut kepala sekolah.
Kami maju ke depan untuk penyerahan trofi dan uang beasiswa.
Usai acara, aku langsung pulang ke rumah dan Ayah pergi ke tempat ia bekerja. Aku dengan gembira membawa pulang trofi dan uang sebesar sepuluh juta di dalam tasku. Sesampainya di rumah aku melakukan pekerjaan rumah seperti yang biasa aku lakukan.
Biaya untuk meneruskan studi ke perguruan tinggi di Banjarmasin yang selama ini menjadi kemelutku dan juga Ayah tentunya, sekarang sudah menemukan jawaban dari Allah. Tiada habisnya aku bersyukur.
***
Sudah jam empat sore. Biasanya Ayah sudah pulang pada jam segini. Ah, mungkin karena Ayah masuknya tadi terlambat jadi pulangnya juga tak bisa cepat.
Tiba-tiba HP-ku berbunyi.
“Assalaamu’alaikum,” setelah kuangkat.
“Wa’alaikum salam. Apa benar ini rumah Bapak Andi?”
“Benar, Anda siapa ya?”
“Saya Udin, teman Pak Andi.”
“Ada apa ya?”
“Pak Andi kecelakaan, jatuh dari lantai lima dan langsung meninggal….”
Tak jelas lagi apa yang kudengar setelahnya. Pandanganku seketika nanar. Aku tak bisa berkata apa-apa. Semuanya berkecamuk dalam dada. Samar kulihat sosok Ayah tersenyum padaku. [ ]
________________________________________________________
M. Syarwanie
Anak yang satu ini lahir di Bati-bati tanggal 24 Agustus 1995. Alamat rumahnya di Jalan A. Yani RT 01 No.12 Desa Bati-bati Tanah Laut. Tidak pernah tidak naik kelas mulai pertama masuk ke Al-Falah, sehingga anak ini sekarang berada di kelas II Aliyah A. Untuk bersilaturrahmi bisa melalui Fb: lioniwan66@yahoo.com
0 komentar: