Santri dan Martabak
19.22 | Author: Forum Pena Pesantren

santri dan martabak - forum pena pesantren
Oleh: M. Zaini Abrar

Hujan begitu deras menyapa bumi, membuat malam semakin dingin. Sebagian besar orang yang tadi mengikuti pengajian terpaksa tidak bisa pulang dan bertahan di teras mesjid. Angin yang deras semakin menyurutkan niat mereka untuk kembali ke rumah masing-masing.
“Dingin banget malam ini ya…,” keluh salah satu di antara mereka.
Di dalam mesjid, tampak Mujib tengah bersandar di salah satu tiang. Ia asik mengulang-ulang pelajaran yang diajarkan di pengajian tadi. Matanya terfokus pada lembaran “kitab kuning” di tangannya. Disebut kitab kuning karena kertasnya memang berwarna kuning agak kecoklatan. Yang menjadi ciri khas kitab kuning adalah tulisan-tulisan di dalamnya yang menggunakan bahasa Arab tanpa harakat, sehingga diperlukan ilmu gramatikal Arab untuk bisa membaca dan memahaminya yang disebut dengan ilmu Nahu.
Ia membaca sebuah hadist Nabi yang artinya kurang lebih seperti ini: “Barang siapa yang mengerjakan kerjaan suatu golongan maka ia termasuk dalam golongan tersebut.” 
Kemudian pikiran Mujib seketika mengembara. Ia merasa miris melihat kenyataan yang tengah terjadi pada umat Islam saat ini. Lihatlah, sekarang ini betapa bangganya seseorang memakai pakaian yang sangat terbuka, padahal mereka itu seorang muslim atau muslimah. Belum lagi perilaku mereka yang sudah sangat jauh menyimpang dari ajaran agama seperti mengkonsumsi narkoba, pacaran, lalu berzina. Naudzubilah
Sementara mereka yang masih teguh memegang ajaran Islam malah disangka teroris, padahal apa salah mereka? Mereka hanya ingin menegakkan agama islam dengan syariat-syariatnya.
Hm, sepertinya perlahan demi perlahan kita telah mengikuti budaya orang kafir, berarti kita sama saja termasuk dalam golongan orang kafir itu.
Ia kemudian menghirup napas dalam-dalam kemudian menghembuskannya. Dilihatnya di luar, ternyata tanpa ia sadari hujan telah reda. Ia kemudian melirik jam tangan yang melingkar di tangan kirinya, sudah pukul sembilan malam.
Dengan segera, ia pungut tasnya dan memasukkan kitab yang tadi dibacanya. Bergegas ia menuju sepedanya di parkiran mesjid. Langit begitu gelap, tak ada satu pun bintang. Kembali ia menghirup nafasnya dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan.
Sudah cukup lama Mujib mengayuh sepedanya, kemudian ia sampai di depan pasar yang paling terkemuka di kota ini, Pasar Martapura. Lantas ia teringat pesan Ardi, teman sekostnya sebelum ia berangkat ke pengajian di mesjid tadi.
“Pulangnya nanti tolong mampir ya di Pasar Martapura. Beliin ana kitab Senjata Mu’min karya Al Marhum K. H. Husin Qadri, sekalian beliin martabak, nanti kita makan sama-sama, oke? Nah, ini uangnya.”
Mujib pun lalu memarkir sepedanya dan segera menuju toko kitab langganannya.
“Assalamu’alaikum,” sapa Mujib ramah.
“Wa’alaikumussalam… Eh Mujib, kayfa haluk?(1)” tanya penjaga toko kitab yang sudah sangat mengenalnya itu.
“Alhamdulillah, bikhair wa ‘afiyah. Wa antum?(2)” Mujib balik bertanya.
“Alhamdulillah, ana ka dzalik.(3)” jawab penjaga toko kitab itu.
Ya akhi, ana mencari kitab Senjata Mu’min, tadi teman ana nitip."
Bentar, ana carikan dulu.”
Pemilik toko kitab itu lalu mencarinya di rak. Mujib memang suka beli kitab di sini, karena selain harganya murah dan penjaganya ramah, toko ini sampai jam sepuluh malam masih buka. Jarang sekali ada toko kitab yang buka malam.
“Ini kitabnya Jib.”
Senyumku mengembang.
“Sebenarnya ini risalah, isinya kumpulan amalan-amalan, bagus banget bila kamu mengamalkan isi-isinya,” penjaga toko itu menjelaskan.
“Promosi nih?”
“Haha…” Mereka berdua pun tertawa.
“Ya sudah, ana beli dua.”
“Haha… promosi ana laku!”
“Berapa harganya?”
“Satunya delapan ribu, berarti enam bilas ribu.”
“Nah, ini uangnya.”
Mujib menyerahkan dua lembar sepuluh ribuan, dan penjaga toko itu menyerahkan dua kitab Senjata Mu’min yang sudah dibungkus dalam plastik.
“Jual,” kata penjaga toko itu seraya menyerahkan uang kembaliannya.
Tukar.”

***

Hujan kembali turun. Seandainya belum terlalu malam, tentu Mujib akan mencari tempat bernaung. Ia mengayuh sepedanya dengan cepat, membelah tetesan hujan yang berjatuhan. Mungkin besok halaman kostku bakalan banjir, gumamnya dalam hati. Dalam tasnya, selain kitab yang tadi dibawanya dari kost untuk mengikuti pengajian dan kitab yang tadi baru dibelinya, juga sudah ada martabak titipan Ardi. Semua barang-barang dalam tasnya sudah dimasukkan dalam plastik agar tidak basah.
Sampai di kost, Mujib segera mengganti bajunya lalu menyerahkan kitab dan martabak titipan Ardi. Dari segi keilmuan, Ardi memang lebih tinggi dari Mujib, karena dia sudah kelas 1 Ulya sedangkan Mujib masih kelas 2 Wustha.
Martabak digelar di tengah kamar kost mereka yang sempit itu.
“Ardi, gimana hukumnya jual-beli tanpa aqad?” tanya Mujib sementara tangannya mencomot sepotong martabak di hadapannya.
“Ya nggak sah,” jawab Ardi sambil mulutnya mengunyah martabak.
“Kalau kelupaan?”
“Tetap nggak sah, tapi…”
“Tapi?”
“Tapi barangnya halal.”
“Oh… gitu.”
Tangan mereka kembali mengambil martabak dan melahapnya.
“Eh Ardi, gimana penilaian anta tentang seorang muslim yang perilakunya mengikuti orang-orang kafir?” tanya Mujib lagi.
“Hm, ana prihatin dengan mereka. Mereka itu sama saja tidak punya identitas.”
“Maksudnya?”
“Contohnya saja menutup aurat, nah bukankah itu merupakan identitas orang Islam? Jika orang Islam membuka aurat, sama saja itu tidak beridentitas. Sekarang ini sudah banyak sekali orang Islam memakai pakaian-pakaian yang menampilkan aurat, dan kalaupun menutup aurat, biasanya pakaian itu sangat kentat. Seperti yang disampaikan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, di akhir zaman ini banyak orang yang kelihatannya berpakaian tapi sebenarnya telanjang. Itu tadi masalahnya, kentat! Sehingga meski berpakaian, lekuk-lekuk tubuh mereka masih bisa dilihat,” Ardi menjelaskan panjang lebar. Mujib hanya manggut-manggut mendengarnya.
“Kau tahu siapa yang paling banyak melakukannya?” Tanya Ardi pada Mujib.
“Tentu saja perempuan…,” jawab Mujib.
“Ya, benar sekali. Makanya kata Nabi kebanyakan penghuni neraka itu perempuan!”
“Hm… Wah, berarti sangat sulit mencari istri yang membawa kita ke surga.”
“Begitulah!”
Mereka pun tersenyum, kemudian bercanda kesana-kemari. Tanpa terasa, martabak di hadapan mereka sudah habis.
“Eh, martabaknya habis,” ujar Ardi.
“Tenang, minggu depan pulang dari pengajian aku yang akan beli,” sahut Mujib sambil terkekeh.
Dalam hati mereka berdoa, semoga diberikan Allah jodoh seorang wanita solehah yang menjaga diri dan kehormatannya, yang dapat mengantarkan mereka ke dalam kenikmatan surga. [ ]

3-3-2011

1. Bagaimana kabarmu?
2. Alhamdulillah, baik dan sehat. Kalau Anda?
3. Alhamdulillah, saya demikian pula.
_________________________________________________

Zaini - forum pena pesantren

Muhammad Zaini Abrar

Anak yang biasa dipanggil Zaini atau Abrar ini dilahirkan pada tanggal 21 April 1995. Beralamat di Desa Pematang Danau, Kecamatan Mataraman, Kabupaten Banjar, Kalsel. Sekarang anak ini berada di Kelas II aliyah. Untuk berkenalan lebih lanjut hubungi saja emailnya di zainiabrar@gmail.com.

This entry was posted on 19.22 and is filed under , , . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, or trackback from your own site.

0 komentar: