“Es kero, es wadai… Es kero, es wadai…”
Inal mulai jenuh meneriakkna kalimat itu sendirian. Dibiarkannya panas matahari menyengat kulit tipis dan tubuh kurusnya yang hanya dibalut kaos kumal. Peluhnya berlelehan. Klakson dari mobil dan motor saling meningkahi. Ia berdiri di samping jalan sambil terus gelisah, berharap adiknya datang menemaninya berjualan seperti dahulu, tapi mungkinkah Anil datang setelah kehilangan semangat hidupnya sejak hari itu…
Ini adalah SMA favorit tempatnya anak orang kaya bersekolah. Kemiskinan adalah hal asing di sekolah ini. Sebuah keberuntungan bagi Inal dan Anil dapat sekolah di sini karena mendapat beasiswa dari Pemerintah Provinsi atas nilai UN mereka.
Tapi benarkah itu sebuah keberuntungan? Mereka pun kadang meragukannya. Seperti hari ini, lihatlah, tanpa ada alamat sebelumnya tiba-tiba saja SMA favorit itu geger. Entah siapa yang memprovokasi, murid-murid langsung menyemut di lapangan basket. Puluhan lembar selebaran dihamburkan oleh beberapa siswa. Dan yang mereka tak habis pikir adalah di selebaran itu terpampang wajah Inal dan Anil yang sedang berjualan es di SPBU!
Tawa meledak seketika, kasak-kusuk sibuk di sana-sini.
“Hahaha… kok masih ada yang mau jualan begituan hari gini, gak zaman banget gitu loh!”
“Gak malu kale ya?!”
“Hussh… Jaga mulut! Meraka tu udah miskin, entar kalau dihina melulu, jadi tambah miskin! Ahaha…”
Komentar-komentar tak sedap terus berhamburan dari mulut anak-anak orang kaya itu, mereka tidak sadar kalau dulunya orang tua mereka juga pernah miskin. Tak jauh dari kerumunan itu, Inal dan Anil hanya tertunduk. Mereka terhina dan marah luar biasa tapi tak bisa berbuat apa-apa. Anil gemetar, semangat hidup yang dibangunnya selama ini roboh seketika. Hampir saja ia ambruk kalau tidak dipegang Inal.
Anil seketika teringat Amel. Tentu ia marah, batinnya.
Siapa Amel? Ia adalah cewek idaman di SMA favorit itu, kecantikannya telah mengambil banyak hati. Ia adalah bidadari yang bisa membuat siapa saja menjadi pengemis, dan bidadari itulah pacar Anil! Akibatnya banyak orang iri dan dendam.
Amel menghampiri Anil dengan mata basah dan mulai terisak.
“Kamu mau bilang apa lagi, Nil?” serang amel langsung. Anil tak siap dengan pertanyaan ini, ia tergagap.
“Harus kukatakan berapa kali, aku gak suka kamu nyembunyiin sesuatu dari aku!” Amel tak bisa lagi membendung air matanya, Anil meraih tangan Amel dengan sisa-sisa tenaganya tapi tangan itu di tepis begitu saja oleh Amel.
“Aku bisa ngejelasin ini, Mel,” Anil mencoba lagi.
“Gak perlu! Mulai detik ini kita putus!”
Berat sekali tekanan Amel saat mengucapkan kalimat itu. Anil ingin protes, tapi Amel mengacuhkannya. Ia pun berlari menjauh dari kerumunan, Anil membisu. Ia pandang lekat-lekat sosok Amel sampai menghilang. Matanya mulai kabur, air mata terbit di sana, mulai menetes lalu semuanya menjadi gelap.
***
Kolong Malam menghadirkan pesonanya seperti biasa. Kolong Malam, demikian mereka menamai tempat itu, tingkat teratas gedung yang belum selesai dibangun. Sudah hampir satu tahun pembangunan gedung ini terhenti, entah apa penyebabnya. Dari situ Inal dan Anil menatap rumah-rumah yang berkilauan bak kunang-kunang di kejauhan sana. Bintang-bintang tersusun rapi berpadu dengan rembulan, angin malam bertiup syahdu.
“Nil, aku tahu kamu minder gara-gara kejadian itu,” Inal bicara sambil memandang langit. “Sudah satu minggu lebih kamu tidak sekolah dan cuma uring-uringan, kalau kamu terus begini, kamu tidak ada bedanya dengan gembel, Nil!” Inal menatap adiknya lekat-lekat, yang ditatap cuek. “Kita ini bukan anak orang kaya, jadi jangan harap bisa dapat warisan berlimpah. Kita juga gak mungkin ketiban uang tiba-tiba. Maka hanya ada satu cara kita untuk mendapatkan rezeki Nil, kita harus bekerja dan cerdas kalau gak mau miskin seumur hidup!”
Anil menatap kakaknya tak percaya, ternyata Inal yang pendiam itu adalah seorang yang berhati besar.
“Sulit Nal,” ucap Anil menerawang.
Inal tersenyum.
“Kita boleh miskin Nal, tapi setidaknya kita tidak pernah menyusahkan orang lain.” Inal menepuk bahu Anil. “Kita telah melakukan apa yang semestinya kita lakukan dalam hidup ini, yakni kita telah berjuang menutupi kekurangan kiriman Ayah dengan jualan es. Yang kita butuhkan sekarang adalah kekuatan impian, kita harus merubah arah haluan keluarga kita, dari miskin ke kaya! Bahkan kalau mau, kau bisa mendapatkan hati Amel lagi…” Inal berbicara mantap.
“Haha… baiklah Nal, aku mengerti. Bukankah kau ingin bilang kita harus memiliki impian dan tujuan hidup yang jelas?”
Anil berdiri dan membentangkan tangannya seperti menantang bulan. Senyumnya mulai mengembang, semangat hidupnya kembali.
“Benar! Kamu memang pintar, Nil.” Inal bediri menyejajari Anil.
“Mungkin hidup kita saat ini gelap seperti hutan di bawah sana, tapi nanti kita akan seterang bulan atau matahari! Setuju gak?”
“Setuju banget!” sahut Anil sambil menggandeng kakaknya. Mereka pun tertawa dalam balutan karunia Allah.
Saat pulang ke kost, Anil merebahkan tubuhnya di kasur tipis. Dadanya sesak dengan kata-kata kakaknya di kolong malam tadi. Ia tatap langit-langit kostnya, bayangan Amel hadir menyapa, “Ini puisi buatmu Mel.” Inal mulai berpuisi:
kau tidak pernah berbicara kecuali keresahan…
tidak punya arti, kecuali kebahagiaan…
napas yang kau buang telah menjadi parasit di nadiku
sengsaramu melahirkan ironi pada duri-duri yang menusuk jiwaku
banyak uraian tawa yang tertanam
tertutup buat semua lapisan
diam dan membisu,
senyap pasrah tak berdaya
Sejenak ia tersenyum kecut:
ternyata,
kau hanya keajaiban yang tidak pernah berhenti merayu…
***
Terengah-engah Anil berlari sambil menenteng termos berisi es. Dilihatnya Inal berdiri tegak di pinggir jalan sana.
“Inal…!” teriak Anil lantang. Inal menoleh ke arah suara itu, senyumnya mekar. Disapunya peluh yang mengucur di keningnya. Tanpa basa-basi kakak-adik itu langsung menawarkan jualan mereka. Hanya isyarat yang mengungkapkan kebahagiaan Inal.
“Esnya, Mas, Bu, Dik…” Anil menawarkan esnya pada pengendara mobil. Inal menatapnya bahagia.
“Mimpikan yang indah-indah dan bangun sebelum mimpi berakhir,” Inal menggumamkan kalimat yang pernah dibacanya di suatu buku.
“Bahkan, aku tidak akan menjadi pemimpi belaka! Aku akan menjadi pemimpi ulung! Pemimpi yang benar-benar meraih mimpinya!” tekadnya mantap dalam hati. [ ]
Pintu 1, 18 Maret 2011
_________________________________________________________
Muhammad Ansyar
Saat ini ia masih mencari-cari tempat singgah demi mengobati rasa rindunya kepada pendidikan yang lebih bisa membuatnya merasa hidup dan menjadi diri sendiri.
Lahir di Binuang, 15 September 1994. Sekarang ia lebih berkonsentrasi pada hoby barunya dan masih sesekali menulis puisi dan cerpen untuk ia nikmati sendiri. Tapi tenang saja, ia selalu bisa dihubungi lewat akun FB-nya: aneeyrmail@yahoo.com
0 komentar: