Tentang Nanang
22.11 | Author: Forum Pena Pesantren


Oleh: Zian Armie Wahyufi

“Nanang ke Palestina?” “Mau apa dia ke sana?” “Apakah kuitannya mengijinkan?” Ah, aku bosan terus ditanya soal ini!
Setiap hari, di mana saja, di kost, di kampus, di kampung, selalu ada saja yang menanyakan hal itu. Seolah pembicaraan ini tak pernah dingin, seolah akulah yang paling tahu tentang Nanang. Seolah aku yang harus bertanggung jawab dengan apa yang dilakukan Nanang!
Memang, awalnya aku dan Nanang satu kost. Kami berasal dari kampung yang sama, juga tamat dari pesantren yang sama. Bisa dibilang Nanang adalah teman selamanya, sejak masih kecil sampai kuliah. Dari kecil dia dikenal anak yang pintar dan cerdas, selalu juara satu di kelas. Aku sendiri selalu berada di bawahnya. Aku bersyukur punya teman sepertinya, dia tidak pelit dengan ilmu. Banyak hal yang aku tahu berkat dia.
Aku masih ingat, semua ini berawal sejak tujuh bulan lalu, bulan Maret. Aku lupa tanggal berapa, yang pasti itu terjadi pada hari Kamis, karena aku ingat hari itu ada mata kuliah Ushul Fiqih, dosennya Pak Khairul, dosen paling sangar!

Seperti biasa, jam setengah tujuh pagi aku dan Nanang sudah siap berangkat ke kampus kami, IAIN Antasari Banjarmasin. Harus sepagi itu, karena kami harus ke warung Acil Uda dulu buat sarapan.
Warung Acil Uda terletak persis di seberang jalan kampus kami. Warung tersebut adalah warung favorit para mahasiswa dan mahasiswi IAIN, karena selain harganya murah, menunya juga spesial. Ketupat Kandangan! Bukan cuma mahasiswa dan mahasiswi, letaknya yang di samping jalan raya membuat siapa saja mudah untuk singgah.
Jarak antara kost kami dan kampus lumayan jauh. Nanang selalu menumpang di motorku. Dia belum punya motor sendiri. Tak masalah, karena selain hari Sabtu jadwal masuk kami sama, yaitu jam setengah delapan. Paling jam pulangnya saja yang berbeda. Dia di fakultas Ushuluddin, sedangkan aku fakultas Syari’ah.
Saat tiba di warung Acil Uda, di sana sudah ada Aya, mahasiswi fakultas Tarbiyah yang baru beberapa bulan ini aku kenal lantaran kami sama-sama blogger. Di samping Aya ada seorang mahasiswa yang dari seragam putihnya jelas ia mahasiswa STIKES Nurul Husna, yang kampusnya tak jauh dari sini. Di bangku tengah duduk Kak Izul. Mungkin dia tak kenal kami, tapi siapa yang tak kenal dengan ketua LDK Al Fata itu. Selain mereka, di sebelah kanan ada seorang lelaki berjenggot dengan baju gamis putih agak lusuh, lengkap dengan surban putih yang tak kalah lusuhnya.
“Aya, masuk pagi juga, ya? “ tanyaku basa-basi pada Aya.
Aku dan Nanang mengambil posisi duduk di tengah, di samping Kak Izul.
“Iya, tapi hari ini pulangnya cepat, jam sepuluh.”
“Seperti biasa, Cil!” pesan Nanang pada Acil Uda.
Anak beliau, si Sanah langsung memberikan kami dua gelas teh hangat. Tidak lama Acil Uda menyodorkan kami dua piring ketupat Kandangan. Ketupat Kandangan memang terkenal sangat enak di Kalimantan Selatan. Nasinya lebih karau dari ketupat biasa. Lauknya ikan gabus bakar yang besar. Tapi kenikmatan sesungguhnya ialah pada kuahnya. Makan ketupat Kandangan, rasanya seperti kembali ke kampung halaman kami di Kandangan.
“Sepertinya di TV ramai sekali berita tentang teroris.”
Seperti biasa, Acil Uda memulai perbincangan pagi itu dengan sekenanya, mungkin gara-gara melihat lelaki berjenggot yang duduk di bangku sebelah kanan itu. Aku mencoba menghargai Acil Uda.
“Mereka itu, Cil, mengaku jihad, tapi kenyataannya Islam malah semakin dipermalukan. Bukan meninggikan agama Allah lagi itu namanya.”
“Ya, benar. Islam itu mengajarkan kebaikan, sopan santun, perdamaian, dan lemah lembut. Kalo memang mau jihad, pergi sana ke Palestina!” tambah Kak Izul.
“Aku yakin, dalang di balik semuanya itu orang kafir juga, supaya Islam jatuh!” Nanang ikut menimpali.
“Syukurnya di banua kita ini sampai sekarang aman-aman saja,”  ucap Acil Uda terkekeh.
“Belum tentu juga, Cil,” kali ini Aya juga ikutan bicara. “Kalau jaringan teroris itu tidak dicabut sampai ke akar-akarnya, bisa saja nanti di daerah kita juga jadi tempat aksi mereka.”
“Eh, antum semua ini gimana sih! Memangnya sejauh mana antum tahu soal jihad sehingga bicara demikian? Antum jangan mudah teracuni oleh pemikiran-pemikiran yang melemahkan Islam!”
Aku segera menoleh ke kanan. Rupanya orang berjenggot tadi. Suaranya tegas, terkesan marah. Matanya tajam menatap ke arahku.
Lalu dia melanjutkan, “Dimanapun jihad itu wajib dikobarkan baik dengan tindakan, lisan, dan selemah-lemahnya dengan doa. Tujuannya adalah tegaknya agama Allah! Islam mengajarkan sopan santun, lemah lembut, kedamaian. Dan Islam juga mengajarkan pembelaan, perlawanan, keberanian. Kata Nabi, barang siapa mati dalam keadaan belum pernah berperang dan tidak terbetik dalam hatinya kemauan untuk berperang maka ia mati di atas salah satu cabang kemunafikan. Ini hadist riwayat Imam Muslim dan Abu Daud, sahih!”
Ih, ngeri aku mendengarnya. Apalagi sorot matanya itu, menghujam tepat ke arahku. Namun tentu aku tak terima disalahkan begitu saja. Bagiku teror tetap saja tindakan keji yang tak boleh dikait-kaitkan dengan jihad.
“Maaf saudara, kenapa antum malah ikut-ikutan mengkait-kaitkan jihad dengan aksi teror? Memangnya antum tidak sadar sekarang ini Islam malah semakin terpojok gara-gara mereka yang mengaku berjihad itu?” Aku tak tahan lagi sudah.
“Akhi, teroris itu memang kafir, dan mujahidin dari orang Islam. Tapi yang dilakukan Imam Samudra dan kawan-kawannya itu jihad. Mereka mati syahid! Ketahuilah itu!” Orang itu masih tak mau kalah.
“Tapi jihad tak harus dengan bom, bukan?! Orang yang menuntut ilmu pun jihad. Mengajarkan agama, jihad. Ibu yang berjuang melahirkan anaknya pun juga jihad!” Izul membantuku.
“Wah, sepertinya ana harus menjelaskan panjang lebar. Antum mungkin kurang tahu. Jihad dapat ditinjau dari segi bahasa, istilah, dan syariah.
Jihad menurut bahasa berasal dari kata al-jahdu dan al-juhdu, kekuatan dan kemampuan. Secara istilah, jihad artinya berusaha bersungguh-sungguh melaksanakan dan mendakwahkan agama Allah. Adapun jihad menurut syariah, artinya ialah berperang melawan musuh kafir. Memang benar yang antum sebutkan tadi semuanya jihad, tapi kita tetap wajib berperang melawan orang kafir. Jangan antum teracuni demokrasi atau racun-racun fatwa yang tidak menghendaki Islam tegak!” Makin berapi-api saja tampaknya orang ini.
“Tapi orang kafir yang ada di Indonesia ini hanya kafir dzimmi, kafir yang tidak boleh kita ganggu dan harus kita jaga? Memangnya mereka memerangi kita sehingga kita harus berperang? Tidak, kan?!” Aku semakin panas.
“Kafir dzimmi ialah kafir yang hidup di bawah daulah Islam, dan ini wajib dilindungi. Indonesia memangnya daulah Islam? Antum pelajari dulu lebih dalam tentang kafir dzimmi, baru bicara!”
Ah, mendengar itu aku semakin emosi saja. “O... jadi menurut antum semua orang non muslim di Indonesia ini musuh? Wajib diperangi? Jadi boleh dibom?” kali ini Nanang bicara, tampaknya ia juga panas.
“Berarti antum ini semuanya belum mengerti. Antum lihat, negeri ini tidak berhukum dengan hukum Islam. Apakah ini yang antum banggakan? Pemimpin negeri inikah yang antum harapkan padahal Al Qur’an surah Al Maidah ayat 44 menjelaskan barang siapa yang tidak memutuskan dengan apa yang Allah turunkan maka mereka adalah kafir. Berarti jelas, semua hukum selain hukum Islam itu jahiliyah. Begitu juga dengan demokrasi, Pancasila, walaupun ada hukum Islam tetap bukan hukum Islam, karena bingkainya bukan lillahita’ala.”
“Tapi yang tinggal di negara kita ini bukan hanya orang Islam. Wajarlah bila bukan hukum Islam yang dipakai walaupun kita tahu hukum Islamlah yang terbaik. Dan kita tetap wajib taat kepada pemimpin selama tidak menyuruh pada kezoliman.”
“Hah, bagaimana mungkin antum orang Islam tapi malah tidak menghendaki hukum Islam ditegakkan dan ikhlas dengan hukum yang ada ini? Sama saja antum itu syirik! Ingat, syirik itu macam-macam, bukan cuma menyembah berhala saja. Hati-hati!”
Semangat orang ini tak jua surut, sementara kami yang mendengarnya semakin panas. “O… Berarti menurut Anda kami semua ini syirik? Jadi pantas untuk dibom?” Nanang juga tak mau kalah.
“Yah, wajar saja antum bicara begitu. Mengatakan yang benar itu memang pahit, tapi itu lebih baik daripada ada saudara yang sesat. Sekali lagi coba antum pikir, siapa yang sebenarnya teroris itu? Imam Samudra dan kawan-kawan atau pemimpin kita sendiri itu, yang kerjanya cuma korupsi, yang bikin aturan sesuka hati, lebih memikirkian perutnya sendiri? Siapa yang paling membuat kita sengsara, hah?!”
Hm, ada benarnya juga. “Oke, kalau menurut Anda yang sebenarnya teroris itu pemimpin negeri ini, lantas kenapa yang dibom itu justru Bali, hotel, atau tempat-tempat lain yang tidak ada hubungannya dengan pemerintah. Kenapa tidak kantor DPR saja sekalian? Atau istana presiden saja yang dibom, hah?”
Uh, makin seru saja. Melihat Nanang serius membelaku, aku jadi senang.
“Perlu antum tahu, mereka itu tidak sembarangan melakukan bom dan sangat perhitungan. Coba antum baca buku Asy Syahid Imam Samudra yang judulnya ‘Aku Melawan Teroris’. Di sana akan antum dapati jawaban-jawaban dari pertanyaan bom Bali. Kenapa harus di Bali, ekonomi Indonesia hancur gara-gara bom Bali, ada orang yang mati terbunuh saat bom terjadi, dan lain-lain.”
Jangan-jangan, dugaan yang dari tadi kusembunyikan benar. Orang ini komplotan para teroris itu!
“Hmm...,” Izul mulai bicara lagi, setelah tadi hanya diam mendengarkan. “Saya sudah baca kok buku yang sampean sebutkan tadi. Selain itu saya juga sudah baca buku bantahannya yang disusun oleh Ustadz Lukman Ba’abduh, ustadz salafy. Saya baca kedua buku itu, kedua-duanya ada yang membuat hati ini cocok, namun ada juga bagian yang tidak cocok. Mungkin kalau antum yang bukunya Imam Samudra seratus persen setuju, dan yang Ustadz Lukman baru lihat covernya aja udah langsung kurang respek,” Izul tersenyum, aku juga.
Orang berjenggot tadi pun terdiam. Minum. Berdiri. Lalu pergi.
“Dia makan tidak bayar ya, Cil?” tanyaku pada Acil Uda. Aku penasaran.
“Sudah. Sebelum dia makan sudah dibayarnya.”
***
Kupikir dengan perginya orang berjenggot itu selesai pula semuanya, tapi ternyata dua minggu setelahnya Nanang bilang mau pindah kost. Mulanya aku tak mengerti dengan keinginannya itu, dan tak pernah sedikitpun terpikir mengaitkan hal itu dengan perbincangan di warung Acil Uda itu. Yang pasti aku juga tak berhak untuk mencegahnya. Katanya sih, biar lebih dekat dengan kampus. Namun setelah pindah kost itu dia justru jarang masuk kuliah. Semenjak itu pula kami jarang berhubungan. SMS-ku sering tak dibalasnya, aku pun jadinya bosan. Terakhir kami SMS-an ialah kurang lebih satu bulan lalu.
“Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Yan, 2 hari lagi insya Allah aku berangkat ke Palestina. Tak ada pahala yang lebih besar selain jihad, akhi…
Kalau selama ini ada salah, aku mohon maaf.”
Aku terperanjat membacanya. Semakin tak mengerti saja aku dengannya. Ingin kuburu dia dengan pertanyaan, tapi jelas hal itu tidak ada gunanya. Aku tahu jihad itu wajib, walaupun tak pernah terpikir sampai sejauh itu. Lebih tidak mungkin lagi bila aku melarangnya. Seorang pintar seperti dia pasti sudah memiirkan semuanya.
“Kamu yakin?”
Cuma pertanyaan itu yang akhirnya kuajukan.
“Hatiku sudah bulat.”
Sesuai dugaanku. “Baiklah, kudoakan kau baik-baik saja. Aku akan merindukanmu. O, ya. Dengan siapa ke sana?”
“Terimakasih doanya. Banyak yang juga ikut ke sana, salah satunya mahasiswa STIKES Nurul Husna yang juga makan di warung Acil Uda dulu. Dia mau jadi perawat sukarelawan di sana.”
Setelah membaca pesan terakhir itu, barulah aku teringat dengan perbincangan seputar jihad di warung Acil Uda dulu. Sekarang aku mulai mengerti kenapa Nanang seperti itu.[ ]

Handil Bakti, 2 Desember 2010
Thanks to Firdaus Irhaby for the inspiration
______________________________________________________________


Zian Armie Wahyufi

Biasa dipanggil Zian atau Armi, lahir di Rantau (tacutnya di sana), 25 Juni 1991. Bertempat tinggal di Desa Puntik Dalam, kec. Mandastana, kab. Barito Kuala (ampah ka Marabahan). Setelah tamat dari SD-nya di SDN Tabing Rimbah 2, “memasrahkan diri” masuk Pondok Pesantren Al Falah (alhamdulillah, tamat ja sakalinya, jar). Menjadi ketua asrama Babussalam di satu setengah tahun terakhirnya di Ponpes Al Falah. Pendiri sekaligus pembimbing (selamanya) FPP ini dikenal sebagai orang yang cangkal dan ambisius, dan karena kecangkalan dan keambisiusannya itulah FPP yang didirikannya tiga setengah tahun silam ini bisa semaju sekarang ini. Saat ini tengah menikmati profesi barunya sebagai mahasiswa di STIKES Muhammadiyah Banjarmasin sambil sesekali menulis di blognya http://zianxfly.wordpress.com. E-mail: zianxfly@gmail.com. HP: 0852 4861 3969

This entry was posted on 22.11 and is filed under , , . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, or trackback from your own site.

0 komentar: