Puisi-puisi Muhammad Ansyar
22.53 | Author: Forum Pena Pesantren


Oleh: M. Ansyar

Kemilau Cahaya Hari


Yang kulihat dari masa depanku hanyalah sebuah musim dingin
Di sana...
Takkan lagi ada kilauan cahaya jingga di hari yang memanja
Di sana...
Takkan ada lagi harapan dan doa yang dititipkan pada bentangan pagi
Semuanya begitu sepi....
sunyi....
sunyi....
sunyi.....
dan sunyi....

Aku tak bisa berbuat banyak
hanya berharap,
esok hari akan ada !

Aku sadar diriku
hanya sebutir buih di lautan
yang bisa lenyap kapan saja
begitu angin mengguncang ombak

Namun
Doa ini takkan kusimpan
Harapan ini takkan hilang;
Bukan hanya semusim di hari esok
Tetapi musim semi yang memekar
Menghapus segala resah!
Kemilau cahaya hari....

10-02-2010



Sangat Berarti


Cahaya mati
Dalam dimensi lain

Gemuruh bersama bagai musim
Sesal ditelan ranting-ranting sepi
Membuat hatiku habis

Jejak-jejak mimpi kita
Semanis senyummu yang tak bisa pudar
Hatiku sakit mengenangnya!

Bayangmu tak ubahya senja
Tebarkan beribu nuansa
Tak pernah habis menawan rasa

Remuk dada memanja pagi
Meski hujan telah reda sebelum dingin....

Memang bukan seperti mentari
Engkau hanya pelangi
Namun sangat berarti.....

Penjara Suci, 12 April 2010


Kusebut Kau Hujan


Kusebut kau hujan
Bersama awan pekat hitam
Sebab elegi yang kau sematkan
Mencambuk!
Begitu menyiksa...

Kusebut kau hujan
Bersama sesal masa lalu
Sebab pedih yang kau tebarkan
Membuat hatiku beku

Kusebut kau hujan
Bersama bening air mata
Sebab senyum di wajahmu
Menyapa, memahat rindu

Kusebut kau hujan
Bersama doa untuk cinta
Sebab, langit masih mendung
Badai pun siap datang kapan saja

K sebut kau hujan
Sebab karenamulah
Bumi bisa hidup dan mati...

Hujan di pagi Rabu, 26 Mei 2010


Menandai Damainya


Di manakah akan kutemui damainya jiwa
Tempat di mana akan kusandarkan raga lelahku...

Perlukah kujelajahi
Dimensi-dimensi malamMu
Atau kucari
Tanah-tanah harapanku
Agar aku bisa yakin,
kuasaMu teratas selalu

Sedangkan kini napasku meregang
Sesak oleh obsesi mimpiku
Yang berharap mengukir kisah seindah pelangi

Namun, lamat-lamat aku sadar
Engkau menandai kisahku dengan sederhana
Sesederhana langkah-langkahku yang terhenti
Di dalam sujudku...

Sabtu, 29 Mei 2010


Doa Sebelum Hujan


Kau hilang di tepi malam
Kuharap takkan kembali
Sebab wujudmu hanya memupuk dosa
Menambah beban hidup ini

Gelisah sifatmu memahat mimpi
Semakin manja menculik subuhku
Sisakan sesal-sesal dingin
Untuk nuansa pagi yang mendung

Kau tak pernah menjadi hantu
Dalam doa-doaku
Tak pernah kusebut
Dalam dzikir-dzikirku
Karena itu kumohon
Hilanglah sebelu hujan...

9 Juni 2010


Berhenti Mencari Rindu


Aku tak pernah mencari
Dirimu dalam sudut mataku yang merah
Sebab kupastikan,
kau takkan ada di sini
Untuk mengantar tidurku
Walau hanya suara

Aku tak pernah mencari
Dirimu dalam malam sunyi
Sebab aku tak ingin,
tidurmu terusik
Oleh rinduku yang mungkin tak menyentuh hatimu

Aku tak pernah mencari
Meski nuansa semakin pilu
Namun hatiku tak bisa dian dan terus gelisah
Mungkinkah kita hanya berdoa
Sedangkan jiwa telah lemah karena rindu

Penjara suci, 22-09-2010


Di Bawah Purnama


Banyak yang telah terjadi
Usai kau turun dari boncenganku
Entah berapa pucuk akasia resah terlewati
Kala sendiri melahap debu

"Maaf, aku tertawa kemarin"
di bawah purnama yang menyihir hatiku

3-11-2010


Mozaik Biru


Burung-burung berpencar
di langit biru rendah...
Takbir bergema
Darah berdendang
diselingi belaian angin manja
Menghutang senada doa
Menjadi sayap malaikat
yang naungi dunia
yang jinakkan resah
Sungguh kan kubawa hati ini menujuMu
Mengadu kehabisan daya
Sebab dosa yang terpupuk telah baka
Terukir sesal lewat masa
Mengikis mozaik mengharu biru menjadi asa
“Allahu Akbar Wa Lillahilhamdu”

17 November 2010


Suara yang Tersesat


sebagai ombak yang mengayun lanting
wujudmu terpencar menjadi riak dan hening
lingkup langkah-langkah yang terkulai
begitu diri berayun menyepi
terseret gelombang,
tersesat di antara buih yang letih

sebagai salah yang menanti duri
senyumnya melimpah damai
ulur tangan lembut di sisi menyambutku yang hempas tersingkir
dan pontang-panting dihajar badai
“dia yang menangis,
aku yang pergi”
dia yang menanti dalam bunyi danau yang kering
dia yang menanti di balik dermaga bisu yang berdesing
tegakah aku merusak senyumnya lagi?

sebagai bilik yang menampung duri
tak pernah terkiaskan dalam memori
antara kita yang bergelut di celah ini
ah, bukan kita, cuma aku di sini
menyendiri dalam getir

seperti metafor yang kau kias dengan sepi
begitulah mentari yang murung hari ini
seperti elegi yang ia lukis dengan tangis
begitulah awan yang kusam hari ini
dan hujan pun menghapus pagi dengan dingin

mengubah nuansa hari yang kita jalani
sungguh, semua tak akan sama lagi
di ruang ini bukan hanya kita,
ada mereka yang tak pernah mengerti

10-01-2011
(Media Kalimantan, Sabtu, 14 Mei 2011)


Sajak Sebuah Hati


Kusisihkan dia darimu di hatiku
kuletakkan di ruang yang jauh
agar kalian tidak bertemu cemburu
namun bara darimu jatuh
bak meteor menghancurkan
harapan, impian dan ketenanganku

Kau tak mengerti segala tentangku
karena cinta telah hancurkan mulutnya
ke mana segala angan kau bawa dari cintaku
apabila aku terkurung dalam hujan
-Tiadakah resah ini menyampaikan getirnya kepadamu
-Tiadakah rindu ini menampakkan wujudnya di depanmu

Bila sepi adalah kayu di perapian hidupku
maka kau adalah kayu yang membakar dirinya menjadi abu.
Begitu sadisnya siksa yang kalian buat
sampai aku lumpuh tak berdaya
Tapi siapa yang layak dipersalahkan
kesepiaan telah menjadi hiasan di taman takdirku
keajaiban dari-Nya Yang Maha Penyayang

Maaf karena telah membuatmu mencintaiku
Maaf jika segala caraku telah menyakitimu
Aku tak pernah bermaksud mempermainkanmu
Tapi bila kau merasa begitu,
berarti aku hanya pelangi tak berwarna…

Pintu 1, 05-04-2011


Ambigu


adakah mengerti bahasa rapuhmu kupu-kupu
walau dua bunga tak mampu mekar layu
biar saja bunglon asyik dengan samaran palsu
toh, tetap tampak beda wujud dengan kayu

adakah sadari bahasa rapuhmu kupu-kupu
walau  menjadi wujud Ca-Nu
baik sebelum semua sayu
tetap saja jejak luka bagiku

kupu-kupu tetap rapuh
meski terbang tinggi kan jatuh

menjadi bunglon antara mata manusia
bagai kesan tak berguna

tetap saja bahasa rapuhmu kupu-kupu
tatap bunga-bunga layu

Binuang, 25 April 2011
(Media Kalimantan, Rabu, 18 Mei 2011)


Dia Allahmu


perihal semesta ketika takbir menggema
dan mimpimu di batas tabir terungkap
sugguh siang adalah bagian dari malam
dan kita bukan batu yang diam
Lalu kenapa kau masih bimbang
Dia Allahmu...
-Tempat bergantung dari semua siksa
Yang tidak beranak, tidak pula diperanakkan
Yang tak ada satu pun tandingan

Apakah racun telah menyebar di darahmu
Hingga matamu butakan cintaNya
-Tiadakah terpikir tuk mencintaiNya
-Tiadakah resah kau sampaikan padaNya
Yang memilihNya takkan kecewa hatinya
Dia tidak beranak, tidak pula diperanakkan
Dialah Allahmu, katakan kau mencintainya...

Kota santri, 28 April 2011


Rahasia Surya Lusa


Hati seorang perempuan
adalah rahasia surya lusa
aku hanya hening di keramaian
mengeluarkannya lagi dari dalam agar besok
denting-denting waktu tidak memberi alasan kepada
goresan malam yang lebih rumit dari sepinya hutan
celaka menjadi hitungan: kujawab hatimu serapuh kaca!

Hati seorang perempuan
adalah bunga air mata
yang layu di atas nisan
cukuplah masa yang lukiskan kisahnya
aku hanya hening di keramaian

Al Falah, 14 Mei 2011


Pura-pura Kamboja


kamboja tiba-tiba melihatmu mencair
ada juga yang bilang karena panas menangis

bagaimana batas mengambil jarak yang sempat tercerai
dalam keadaan mendatang aku takkan bangkit
tersebab kenangan yang kering dan retak
bergulat dengan keraguan yang merekatkan kelumpuhan

panjang pemisah tanpa penjelasan
kenapa sama dengan tanah dan bebatuan yang kemarau
kuketahui kau pura-pura
jatuhan air mata melewatinya
seseorang yang tak pernah datang
takkan pergi meninggal jejak
saat-saat yang sama senantiasa terlambat

Di pojok sana tak pernah lagi kujumpai
panas yang menangis dalam kamboja

Al Falah, 14 Mei 2011


Kau Memaksaku


kau memaksaku mengemas ilung
sampaikan pesan untukku
lewat mawar di belakang lantingmu
apakah belum terkena ombak?

kau memaksaku mengemas ilung
sematkan mimpi untukku
lewat lubang di jukungmu
masihkah karam pabila senja?

kau memaksaku mengemas ilung
bukan elang yang menatap pusara

01 Juni 2011


Sakura di Padang Pasir


Kutatap pagi seperti senja semusim
hidari degup yang tak terucapkan
meradang bagai menelan pasir
tak bisa mengata apa-apa
hanya mengharap diri kembali
naas pergi dalam mimpi saja
sedangkan hati adalah sakura di padang pasir:
“ternyata kau hanya keajaiban yang merayu”
tersesat terlalu jauh memasuki hidupmu
membuatku mengerti:
“tak ada seorang pun yang akan membiarkanmu menangis”
senyummu yang damai
serta pandangan matamu yang teduh
adalah surga dari semua degup yang kugantung
lukisan abstrak di wajahmu itulah yang telah menimbun lukaku!
naun engkau
adalah obat dari luka itu sendiri
bagaimana bisa aku menjauh
sedangkan luka ini kian parah
lalu harus kuapakan ragu yang mendarah daging ini?
kumohon padaMu ya Rabb
jika rasa ini salah hapuskanlah
buat aku lupa
karena perasaan ini sangat menyakitkan
kumohon padaMu ya Rabb
jika rasa ini benar mudahkanlah
buat ia mengerti
karena aku mencintainya dengan sabar

2 Juni 2011


Kan Kujajah


Aku tak mau selalu berjalan di belakangmu
Mengiringi bagai bayangan
Yang tak bisa lepas darimu
Dan diacuhkan dan dilupakan
Karena wujudku hanya hampa
-hanya hampa bagimu

Aku tak mau selalu menjadi beban bagimu
Selalu bergantung kepadamu
Seakan aku hanya orang lumpuh
yang tak punya daya upaya
dan dicela dan dihina
Karena tiada hubungan apa-apa antara diriku

24-07-2011


Ilusi


Untuk waktu di Darul Hijrah
Meresap api yang diguguri dedaunan
Merobek jurang dan melipatnya
Lalu kau tumpahkan mimpi
Dalam cawan yang retak
Kelelahan tak berkedip

Daya tiada timbanya
Rigat tubuh mau dibasuh ke mana
-ke sumur, sumur kering
-ke kolam, kolam habis

Sedang seseorang di jalan
Memegangi perut yang kosong
Adakah hidup belum adil Tuhan?

Ia seperti gravitasi
Ia seperti ilusi
apa saja boleh terjadi
satu yang terkecuali
Impianku

25-07-2011


Jalan


Jalan menuju kesepian
Jalan menuju kesedihan
Jalan menuju kesengsaraan
Selalu terbentang di sana
Tempat biasa dirimu belajar berputus asa

Jalan menuju keramaian
Jalan menuju kesenangan
Jalan menuju ketentraman
Selalu terhalang di sana
Tempat biasa dirimu belajar berputus asa

Entah siapa dalang
dan ternyata kaulah wayang

Bodohnya;
Cepatlah bangun!
menjauhlah dari sana
Di depan, di depan ada nirwana

27-07-2011


Puisi untuk Orangtuaku


Itulah ketakutanku Ayah, Ibu…
Yang datang bak gelombang besar
Yang alpa karena hasrat begitu nakal
Andai aku bisa jujur
Air mata tidak mungkin gugur
Namun di situlah tubuhku, begadang sepanjang malam
demi menyisipkan imaji dan rindu
Pada kebebasan yang tampak jauh
Pada keramaian yang tampak kabur
Malam ini, di awal Ramadhan tahun ini
Kutahtakan lagi nasehat-nasehatmu
Janganlah marah padaku Ayah, Ibu…
Karena hati anakmu ini begitu rapuh

31-07-2011
_______________________________________________________________


Muhammad Ansyar

Anak dari pasangan H. Jusman dan Hj. Mahmubah ini dilahirkan di Binuang pada 15 September 1994. Beralamat di Jl. Raya Timur Mangunang, RT 02, RW 03, No. 224, Binuang, Tapin.
Saat ini ia masih menimba ilmu di Ponpes Al Falah Putera, dan dipercaya menjadi ketua Forum Pena Pesantren (FPP).
Puisi-puisinya biasa dimuat di harian Media Kalimantan, dan salah satu cerpennya dibukukan bersama anak-anak FPP lainnya dalam antologi cerpen Tembok Suci (MinggurayaPRESS, April 2011).
Silaturrahmi dengannya bisa melalui Fb: ancayrmv@yahoo.com.

This entry was posted on 22.53 and is filed under , , . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, or trackback from your own site.

0 komentar: