Puisi-puisi Imam Budiman
22.31 | Author: Forum Pena Pesantren


Oleh: Imam Budiman

Puisimu


Ini rangkaian tak bermakna
Tiap hurufnya tak memberi mustika yang indah
Tapi, jika kau titi perlahan jembatan hidup
Kau akan mengerti…

Dan saat ini kau tlah sampai di hari bahagia
Dengarlah bisik doaku
Yang kupanjatkan di setiap helaian nafasku
Ku slalu berdoa pada Ilahi
Semoga kau dapat menepati hidup di awal barumu
-amin!-

Lukislah lembaran kartonmu
Yang sewarna  dengan jalan Tuhanmu
Di hari jadimu ini kuucapkan:
“HAPPY BIRTHDAY”
(lain kali jangan sertakan bahasa yang kurang kusenangi)

Sobat…
Semoga kau dapat menggapai cita dan cinta tanpa
harus lupa pada Sang Pencipta

23 Desember 2008
(Surat ulang tahunku yang ke-14)




Reuni Sullamul Ulum


sehutang kenangan terhadir saat di mana seutuh jasad tlah benar-benar tak bernyawa menahan segala keharuan yang tak tertundakan
lebih tepatnya, di ketika keputusan yang melahirkan untuk merantaukan seorang sulungnya menimba ilmu yang sulung sendiri pun tak mengenal di mana belantara Loa Bakung sana
kini sulung bersepi
terekam masa-masa bersama bernyanyi
dengan sebaya kawan mengunyah penat sunyi
demi rencana akan ditentukan berpulang sengguk mengadukan rindu di petang Ramadhan kemarin, lusa pun
kita yang bertemu; kisah yang ceritakan
apa tahun depan masih tetap demikian?
semoga, dan maaf aku tidak bisa...

Oktober 2009


Nyanyian Arti


terangkai rongsokan kata
pun terlupa sobekan kalimat
semu hening ketegangan waktu
namun, terus kata ungkap berucap
meski tinta tlah lelah mengalir
sejatilah tutur menemani
tatkala hati rona merajut semi…

terangkai rongsokan kata
pun terlupa sobekan kalimat
tanya tenggelam mendayung rindu
bukankah riang dhabit ceritera?
luapkan suka nan bersilih dahulu
beralih temu…

terangkai rongsokan kata
pun terlupa sobekan kalimat
hingga kini; mengapa henti?
rangkap meratap rundukkan sepi
jenuh mulai sigap hinggapi

dan masih diam tanpa arti
hingga surat keraguan menepi
sudahlah, laguku tak untuk kau senandungkan…

malam sunyi, 18 Mei 2010
(Media Kalimantan, Minggu, 2 Januari 2011)



Rembulan Lima Belas


Coba lirik seruang tarian
Di atas sana di malam lima belas
Menyiratkan kemerahan yang rona
Entah itu apa!
Yang tlah tersirat bukan manjanya senja
Selintas, terngiang tanya menebak
Rembulan?

Masih menanti yang indah menjelma
Beralih sinar; kuku malam menghujam nadi
Andai dapat menangkap satu
Pasti bawakan tuk adikadik
Agar mereka senang
Agar tawanya aku yang milik
Namun masihkah membingung heran?
Semburat bayangnya tak dapat berdusta
Kembali menengokku di semak awan
Dan siapa yang tak dapat sembunyikan
Rembulan?

Sempurna yang tiada mampu ungkapkan
Kalamkalam; gores memukau syahdu
Pada teras dinding langit
Lalu, bolehkah bercengkrama
Dengan dialah
Dengan yang tersenyum sipu
Sekadar berkenalan juga bertukar nama
Rembulan?

Berirama siulan jangkrik mendayu
Pun kunangkunang ikut berlagu
Pesonakan nyanyian riang semesta
Antara kau dan aku
Kita yang beradu pada rindu
Remblan lima belas…

Separuh Sya’ban, 26 Juli 2010
(Banjarmasin Post, Minggu, 6 Maret 2011)


Serumpun Kerinduan


serumpun padi menuntun rindu
mengangguk senja pada ilalang
molek bintang tak terlampaui
senyum bidadari; sentuhan jemarinya
tetap bergantung dengan keindahan
dikarena langit tak lelah ungkapkan
meski sesekali mengeluh
mengusap peluhnya
membiaskan ke wajah pelangi
namun, setia bertopang di pundak
keluasaan

serumpun padi menuntun rindu
menunjuk tanya pada belalang
adakah yang mampu menjawab?
tak seorang pun!
jika jenuh ikut bernyanyi
sementara rindu kau tumpuk bersilang
pada balok-balok not yang kosong


serumpun padi menuntun rindu
sekalipun hati menyusun pilu
entahlah…

Naung kesunyian, 11-10-2010
(Media Kalimantan, Minggu, 27 Februari 2011)


Sajak Perpisahan


Banyak yang ingin kupahat
Di dinding batu
Di atas senja yang enggan menyapa
Tentang serantai kepedihan hati
Tiada tumppuan punggung
Tak rebah bahu
Tuk saling bersandar
Kita yang memilih untuk berbeda
Lalu, siapa yang akan kau tuju?

Tiadakah sadar?
Jika berlabuh pada mimpi
Akan membuatmu mengakui sesal
Mungkin tidak sekarang
Mungkin esok
Lusa
Besoknya besoknya besoknya

Atau entah kapan
Sampai akhirnya
Kau akan memuja elok
Pada robekan kalimat usangku
Kekasih…

16 Oktober 2010
(Banjarmasin Post, Minggu, 17 April 2011)


Irama Sempoa Malam


seperti sepi
merdu rembulan senandung sajakku
tak peduli ramai ocehan awanawan
bersembunyi dalam pekat
indah manisnya pudar

seperti sunyi juga seperti malam terhampar
semak tua nan berseri
tawa yang mengantuk
senyum tak mampu goreskan
memanjakan sedih
buat penyesalan semakin sesak
sudahlah, sudahi saja
detik jarum jam begitu ria ejek memaki
apa kau tidak malu?

adakah terlewatkan?
tentang sepetak riang yang terlupakan
tatkala tepinya kita yang lukiskan
cerah sewarna
kelap hijau rindu dedaunan
pun aroma sedap malam
rona lambainya lincah menari-nari
di sini, pada sebait syair malam

Desember 2010
(Media Kalimantan, Sabtu, 2 April 2011)


Oy!


Sandal jepit Nipponmu yang mana?
Yang ini yang ini yang ini; ataukah yang itu
Aku mencarinya berulang dalam sepetak ketidaktahuan
Eleh, tahu apa aku
Bingung, menyisihkannya antara lampau nafas waktu

Baju koko garis merah di kerahnya milikmu yang mana?
Apa kau masih ingat di mana kesemrawutan pikirmu
Meletakkan?
Atau (hanya dugaan sementara)
Jangan-jangan kau lupa mengambilnya dari karat jemuran
Belakang Malik-Malikan?
Mungkin juga
Kemarin sudah kau serah terimakan pengantin pada lambaian melodi
Daun bakung agar mereka kembali menyucikannya...
Ah, tega benar

Sarung corak hitam polos yang mana lagi?
Ehm apa kau lupa
Bukankah jelaga sunyi mengepakkan sayap
Terbawa sarungmu
Dan hilang
Dan menghindar
Dan menyamar
Menjauh dari ramah sentuhmu!
Selesai. Tugasku selesai
Dan aku pulang membawa sepuluh ribu

22 Januari 2011


Sajak Sahabat


Seriang embun fajar shadiq kembali bertasbih
kini sempat membelai remang mentari walau singgah sebentar
gerimis kemarin tak lupa menyapamu, sobat...
tentang sejuta keinginan yang kan capaikan olehmu
menimba ilmu pada semerbak tanah seberang; dari tanah yang kita pijaki sekarang
tlah lama kau ceritakan di malam-malam tarawih dua tahun yang lalu
sehampar daratan rindu yang akan kau kunjungi beserta kecerdasan Sang Maha Cinta
yang curahkan padamu
pulau Jawa yang begitu kau impikan keberadaannya dalam harimu nantinya!
lalu, bagaimana jika kita berangkat bersama?
bolehkah?

Lantaran kau katakan: "sekarang aku sudah di Farmasi, Man"
lantas ,apa kau sudah melupakan tentang seikat janji yang rampung kita sulam dulu;
di tanah Pesantren
bukankah langit perantauan kan kita taklukkan dengan aroma tanah etam?
aku terlalu cengeng menghadapinya seorang diri...

Lihat kilauan warna pelangi di atas sana
lengkung senyumnya coba bersenda denganmu, sobat...
tentang elok yang mereka titipkan
diri ini pun sungguh tak dapat memaksa
dan kini kau ingin kembali lagi ke sini?
benarkan begitu, sobat?

sesal tentu takkan berguna lagi jika kau figurakan di dinding hatimu
pesanku:
"jalani, dan baik-baiklah di sana..."
langit Mahakam tentu tak lelah menanti kedatangan kita
menyambut dengan riaknya yang tersenantiasa merindumu dan aku...

Irama Banjarbaru, 15 Februari 2011
(Teruntuk Sahabatku, Amaliah Fitriani Noor)


Setaman Tasydid


kususunkan di lekuk segulir pepatah dhommah
terjerembab letih dalam lingkar peraknya
luruh memangku pertanwin kita di sana
pada fathah yang renggang menopang keatasnamaan kita memeluk keretakan hidup
dikarena rapuh tegaknya bertahta meraung
sepertinya akan merajuk
sedangkan kau sibuk menanyakan segala sesuatunya
di tamanku; di taman tasydidtasydid

kini, sebongkah jazam rintang menghadang
bagaimana dengan kau?
membuat tutur berpikir semakin sulit menjawab
hanya dalam kemenangan i’rab
padahal serafa’ kuasa teruntuh lantakan
menjepit diri; nafas yang tlah fasalkan
sampai di sini?
esok, sampai hari ini?
mungkin saja…

tanpa ada mad yang hapus terintik berpatah-patah
dua jawab ujung kalimat
umpama kita dalam gurauan kecil
serobek roti kerinduan terbagi dua
rombongan teh manis pun nasyidkan berlagu ria
gemulai lantunkan fa’ilun mafa’ilun mendayu
tentu kau pun juga mengerti...
menarilah!
dalam euforia keindahan yang mengatapi segala haru

kembali sunyi meremang tepi
gerik fi’ilnya selangkah mundur menjauh perlahan
jangan peduli!
bukankah tlah riang dzauq kita saling bercengkrama
hingga tiada yang rela mendukaNya?
jika tetap inginkan, baiklah
dan cukup akhiri teruntuk hari ini

Kabisat Dua, 28 Februari 2011


SMS


To: 140794231294
-Seperti biasa, malam berlalu dengan seenaknya-
Sungguh, aku tlah mencintaimu melebihi purnama yang kusebut rembulan lima belas
Hanya itu.

Message delivered…


Sajak Amtsilati


benarkan letak kopiahmu!
kantuk merayu, bawa ke belakang dengan seriak lumuran setinta wudhu

seperti biasanya malam di sepertiga arah pendek jarum jam separuh menengadah ke arah kiri
tepat detik terakhir angka enam terbalik
bersama menuju mushalla dengan sisa iringan tawa yang belum tertuntaskan semenjak memijakkan
kaki ke luar asrama
ada yang menyembunyikan terompah kawannya
ada yang mengomel terkena jadwal mengambil segalon air panas di dapur
malam-malam begini!
ada juga yang menyerapah sendiri dikarena kitab Ta'lim yang tak kunjung temu
kegaduhan yang menguak; bercampur menjadi keributan yang membuatku tersenyum lucu

benarkan letak kopiahmu!
kantuk merayu, bawa ke belakang dengan seriak lumuran setinta wudhu

tersandar lelah berpencar ke pojokpojok sudut rumah Tuhan
saling bertatap hadapan; tak bercakap, menggerutu, bergurau sia, apalagi bercerita ria dengan ceritacerita konyol murahan
kami riuh menyetorkan hapalan, kawan!
meluapkan segala ingatan sesuai kesepakatan perjanjian yang pernah diikrarkan dulu
sebelum dijamakkan dengan sebuah ruangan khusus
asrama amtsilati para santri sering menyebutnya...

harus berapa kali kukatakan?
benarkan letak kopiahmu, apa tak sadar sudah sembilan puluh derajat termiring kiri?

maka, lepaskan segera jerat kantukumu!
kakak pengajar datang kakak pengajar datang
sebem beliau mengajari kita pada bab ke lima sedangkan kau menopang kantukmu
dengan berdiri di tempat

Setengah Sadar, 30 April 2011


Debat Sakral


Kita bahaskan tentang kepongahan cakap saling berhadap
Merentetkan pada satu tema yang mengundang kesimpangsiuran
Omong bersahut perkutut
Sungguh, aku tak bisa berlamalama berdebat!
Terpikul beban hebat menyekapku dalam resah tanpa segeretak suara
Memang, sebelum hari itu datang
“Ustadz ulun kada bisa, yang lain aja,” suatu kali pintaku
(tetap tak berguna)

Bantu ketidakmampuanku: juri, paman sampah, penjaga stand bazar, kucing, kerikil, panggung, lelah, tenda, catering, penjual pentol; semuanya
Izinkan hengalku memekik menuju pojok sepi
Agar tak seorang pun mendapatiku walau sehelai bulu mata
Mencari cara bagaimanapun!
Menyelam ke dalam kolam Mujair di samping akomodasi kafilah Banjarbaru
Oh, tak ada cara lain…

Darul Ilmi, Mei 2011
(Untuk peserta Debat Bahasa MQK Tingkat Provinsi Kal-Sel)


Kisah I


Boleh kuceritakan?
dulu, dulu sekali--aku lupa entah itu kapan
sempat ku berpikiran sebelum akhirnya kata perpisahan terucap; tumpah pada sekurumunan rerumput ilalang yang daunnya bermekaran mementaskan beribu impian tak terelakkan sesal oleh lamunan diri di petang kemarin sore
jika rasa kecewa memang harus benar-benar disemayamkan di atas retakan pusara pecah berserakan yang kembang bunganya tak lagi semerbak mengitari aroma tanah pekuburan gunung tunggal
dua sisi kehidupan, jalan pikir, keinginan, yang terkadang--bahkan terlampau sering--saling bertolak belakang!
adakah jalan untuk perseteruan hati?
terlebih saat di mana kau mengatakan tentang ketidaksukaanmu terhadap puisi-puisi atau apapun yang berbentuk romansa 'bodoh'
ya, begitulah kau menganggapnya...
terhantam di lembab wajah, air mata yang membasahi atap-atap rumah kamarmu subuh sendu tadi juga di batang meranti yang baru saja kau sapakan rindu
di sini aku menunggu!

Martapura, 20 Mei 2011


Pesanan


Kesalahanku mau kau apakan?
Bukankah kau pandai meramu segala cela makian
Bagaimana jika kau olah saja menjadi serentet panganan:
Nasi kuning, mie kuah, capcay, batagor, sate, lalapan; sebutkan
Aku pesan satu!

Kesedihanku mau kau apakan?
Bukankah kau pandai mengadon busuk gunjingan
Saranku, lebih baik kau olah saja lagi menjadi:
Es cendol, es campur, jus alpukat, dawet, teler pun seteler-telernya
Aku pesan satu!

Kini, seluruhnya tlah terhidang
Tapi maaf aku kenyang duluan
Terpuaskan dengan olokolokanmu
Terima kasih, akhirnya aku dapat menertawakan rinai kedukaanku
Sehari

Hiks…


Asrama Thalhah


sungguh aku tak sedang ingin bercerita
dan pula aku tak sedang ingin sok mengajarkan padamu tentang biografi lika-liku
perjalan hidup sesiapapun setara Itmamul Wafa'
ini tentang euforia ketua asrama yang mengiringi hari baru di tanah pondok!
senyum, tawa wajah-wajah yang hilangkan letih kejenuhan sejenak
setelah sekian lama berayu sapa dengan tumpukan rutinitas tak padam surut seharian penuh

senyum kalian mengobati luka yang kudapat dari hasil memperbaiki jemuran Ashaburrasul...

:tahukah kalian adik-adikku?
betapa perasaan kakak tidak karuan saat mengetahui ada di antara kalian yang sakit
ingin sekali rasanya kakak menenggak segala ketidakmampuan kalian memikul
rentan penyakit di balik tubuh kecil yang setiap hari kakak khawatirkan
beginilah pondok pesantren adik-adik kecilku
kuatkan mental kalian agar tak mudah roboh
dan siapkan rimbunan himmah untuk mengejar apa yang menjadi tujuan utama kita bersama; kakak dan kalian
ilmu ilmu ilmu yang bermanfaat untuk bekal di kemudian hari
sekarang, sudah dulu adik-adikku
kakak asrama yang lain tlah sigap berjaga di depan pintu Thalhah
bergegaslah, berlari!
waktu ke Mushalla tinggal lagi lima menit!

14 Juli 2011


Rembulan Lima Belas II


Menjamah sesayup petang udara yang sampaikan senandung salam
Di haribaan lapis satu dua tiga hingga tujuh wajah langitlangit
Pun pada kerjapan pundi rindurindu
Lalu seperti kemarin
Persis tentulah
Bayang gelak tawanya memunculkan tipikal kesenduan tak lukis
Kemilau semburatnya berlarian sanasini
Sanasini kanankiri sanasini kanankiri
Kusimpan satu perciknya, senyum
Tahu-tahu terlewat setahun yang jalani berjudul tentangmu
Rembulan?


Lihatlah, sejenak tatap diri yang bernaung di balik selimut pekatmu
Bukankah telah kuungkap bentuk kesetiaan bak Taj Mahal yang
Hadiahkan Syeikh jenan pada sang permaisuri?
Dan ini…
Larik puisiku bersambung meng-orkes katakata
Rembulan?

Maka terhitung waktu tak masalah
Berjanji menemui pada tengadah jembatan usia di tahun depan
Memesonakanmu dalam lipat simetri keindahan
Merindumu merindumu merindumu
Rembulan lima belas

Separuh Sya’ban Kedua, 2011


Pemberian


Mengakui ketidakberdayaanku menjadi penyair seumpamamu, kawan
Piring melamine orange--yang biasa kubawa ke ruang makan--kutulis
Kain sasirangan hitam terbeli di hiruk pikuk Batuah Martapura kutulis
Hadiahmu pun:
Peci hijau berbuntut tipis kutulis
Kemeja putih yang kau titipkan kutulis
Gantungan kunci “yaa tariim wahlahaa” kutulis
Jam beker senandung adzan kutulis
Peci putih berkilat sinar--ukuran yang kekecilan kutulis
Dua bungkus gado-gado rasa cinta (hah?)
Sebungkus kusantap lahap; sebungkus lainnya kuberikan teman-teman
Kekenyangan!
Surat besar-kecil pengap kusimpan rapi
Lihatlah! Mereka kini bersama hangat dalam kitab Assyifa
Ada lagi?
Sudah, jangan kirimi aku yang macam-macam
Berikan saja dengan kenanga pinggir sungai
Tentunya nyanyinya kan getarkan seisi penghuni  raga
Berikan saja padanya
Ya?

18 Juli 2011


Bapak


Kuyakin air wajah bapak kan lebih purnama dari semburat cahaya manapun!
andai petaka batin tak menimpa
tak terperikan sebelumnya
setahuku, kebahagiaan takkan terbeli sepeser, setumpuk intan permata yang kau milik
dan ketika ia singgah dalam jangka waktu relatif singkat, sangat sebentar
dirinya pun terengguti ketidakadilan yang entah dengan siapa ku harus menuduhnya

lalu biarkan bapak tersenyum dalam...

meski keinginan diri menolak keras dengan putusan cara membahagiakan bapak
:Ibu baru
huh, entah apa jadinya!
aku diam.

keterpaksaan, Juli 2011
(Banjarmasin Post, Minggu, 31 Juli 2011)


Klise!


1. kubuka diary perlahan bersahaja tak elak basmalah yang haturkan
2. mulanya tak mengerti, lalu menuliskan apa saja seusang kalimat yang kurasa pantas untuk memujimu--anggapanku—menyerupakan batang tubuhmu dengan: cahaya bulan, kerlip bintang, bening anak sungai, biru laut, lambaimu seakan lambai ilalang
3. dan ku telaah lagi untuk memastikan di bagian mana yang harus kurubah; kurajut kembali
4. kunang-kunang mengitari kesadaran, kepalaku mulai teramat pusing dalam memilah milih obralan kata
5. bosan menyedekap, kurobek kesal  tanpa panjang berpikir, menggumpalnya, membaurkannya dengan tumpukan serapah busuk yang lain
6. kurebahkan letih, merapatkan selimut, dan nyenyak bermimpi tanpa mempedulikan siapapun, apapun, walau puluhan nuklir negeri adidaya menghantam punah kamar tiga kali empat meterku
tak perduli. aku ingin tidur!

(esok harinya)
:apa kau tahu tentang isi catatanku tadi malam?
tak ubahnya dari selembar kertas buram dengan padanan puisi murahan picisan
terlalu klise!

dihampirsetiapwaktu, 2011
_____________________________________________________________________

Imam Budiman

Remaja yang biasa disapa Budiman ini merayakan hari lahirnya pada tanggal 23 Desember 1994 di kota tepian, Samarinda, ia melanjutkan sekolahnya ke Pondok Pesantren Al Falah Putera Banjarbaru, Kal-Sel, hingga sekarang.
Anak sulung dari pasangan Sukiman dan Khadijah yang juga pengagum fanatik karya-karya Sapardhi Djoko Damono ini fokus mendalami puisi semenjak duduk di kelas 2 tsanawiyah, dan sekarang dipercaya menjadi wakil ketua Forum Pena Pesantren.
Beberapa hasil karyanya yang sebagian besar berupa puisi dan postingan blog pernah dimuat di harian Banjarmasin Post, Radar Banjarmasin, dan Media Kalimantan. Selain itu juga pernah dimuat di majalah Literasi, Iflah, Kenangan Memory III Aliyah 2009-2010, The Best Mading El-Fatra, dll.
Silaturrahmi bisa melalui e-mail: rembulan_limabelas@live.com, atau via Hp: 085249366844.

This entry was posted on 22.31 and is filed under , , . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, or trackback from your own site.

0 komentar: