Angin deras membuat daun yang berada di telapak tanganku pergi entah akan ke mana. Aku tak tahu. Yang jelas aku di sini, tersandar di bawah pohon sambil menunggu seseorang.
“Lebih baik memanjat pohon dari pada duduk di sini,” bathinku. Seraya memanjat pohon, banyak semut merah yang berlalu lalang. Aku berhati-hati agar tidak mengganggu mereka, namun akhirnya saat aku sampai di sebuah dahan kurasakan sakit yang menyengat di belakang leherku.
“Aawww..!” teriakku, sambil meraba-raba leher dan ternyata seekor semut merah. Semut merah itu lantas kuletakkan ke dahan. Sambil menikmati hembusan angin, aku teringat kembali kepada Rani. Dulu ia tunanganku dan tinggal selangkah lagi kami akan menuju kursi pelaminan.
“Kayaknya kisah cinta kita sampai di sini, Zai,” ujarnya padaku di suatu malam.
“Memangnya kenapa?” jawabku berusaha tenang, meski dalam hati perasaan berkecamuk tak karuan.
“Menurutku sia-sia, tidak ada artinya,” ucapnya blak-blakkan.
“Apa? Sia-sia?” Hatiku terluka sangat dalam. Sungguh aku tak menyangka. Padahal aku mengajaknya bertemu ingin menyerahkan cincin tunangan. Saat ia pergi, diam-diam aku mengikuti langkahnya. Dadaku berdesir saat dengan mataku sendiri melihat Rani menemui seorang pria cukup berumur. Gilanya lagi mereka langsung berpelukan. Aku cemburu, kecewa, benci dan muak. Pria berumur itu langsung membukakan pintu mobilnya. Lantas nereka pergi, entah kemana.
Langkahku gontai. Seraya menghela napas panjang dan memandang langit, aku menuju bangku taman kota.
“Hai, Zai. Kok melamun?” sapa seseorang dari arah belakang. Refleks aku memalingkan kepala. Ternyata, Riki. Dia salah satu sahabatku.
“Sedang meratapi nasib, Rik,” ucapku sedih.
Setelah duduk di sampingku, Riki terus mengejar agar aku menceritakan nasib pahit yang sedang kualami. Riki manggut-manggut saja. “Jangan sedih, Zai. Mungkin dia bukan jodoh kamu,” Riki menepuk pundakku.
“Terus, jodohku di mana?”
“Jodoh itu misteri. Aku punya cerita pengalaman menarik soal jodoh,” kata Riki.
“Maksudnya?”
“Pernah ada seorang santri dan ketika ia kembali ke kampung halamannya, santri itu khusuk menjalankan ilmu agama yang ia miliki. Diam-diam, ada perempuan yang naksir dengan santri itu. Karena perempuan itu pandai memendam perasaannya, si santri tidak tahu apa yang sedang terjadi. Justru dari mimpi mereka dipertemukan. Saat si santri berdoa kepada Allah untuk ditunjukkan jodohnya, demikian pula si perempuan itu, lantas Allah mempertemukan mereka lewat mimpi. Saat itulah di hati mereka memiliki ikatan bathin yang kuat. Ada perasaan aneh saat mereka saling bertemu pandang. Beda dengan pengalamanmu barusan. Kamu berusaha mati-matian tapi hasilnya menyakitkan. Itulah misteri Allah. Mintalah petunjuk agar kamu segera dipertemukan dengan jodoh pilihan Allah,” ujarnya panjang lebar.
Lama aku merenung, memikirkan apa yang dikatakan Riki. “Terimakasih nasehatnya, Rik,” ucapku tersenyum.
“Itulah fungsinya teman, saling menasehati dan mengingatkan,” ucap Riki menepuk pundakku lagi.
***
Sudah selama satu bulan aku terus memanjatkan doa agar Allah
menjawab dan menunjukkan jodoh yang terbaik untukku. Jodoh yang kelak akan mendampingiku selama-lamanya hingga ajal menjemput. Secara mental dan materi aku sudah siap. Tapi seperti yang disarankan Riki, hanya Allah yang maha tahu dan kepadaNya tempat meminta.
Dalam sebulan ini aku bertemu dengan Ningsih, Ningrum dan Hafsah. Aku tidak lagi bicara tentang cinta, tapi sedang mencari jodoh yang diberikan Allah kepadaku. Dari mereka bertiga, saat kutanyakan soal jodoh, tampaknya Hafsah memiliki pandangan yang sama seperti apa yang disampaikan Riki. Diam-diam aku menaruh sedikit harap kepada Hafsah. Aku sering mengirimi SMS sekadar menanyakan kabar kepada Hafsah. Aku ingin dia mengetahui kalau aku sedang memperhatikannya. Hafsah sendiri selalu membalas pesan-pesanku dengan baik. Ia juga menanyakan balik kabarku bahkan menceritakan keseharianya. Maukah kau menikah denganku, Hafsah? Ingin sekali pertanyaan itu segera kusampaikan. Tapi keberanianku belum cukup. Bagaimana jika selama ini Hafsah tidak menaruh hati kepadaku?
Dalam doa, nama Hafsah selalu kusebut. Jika Hafsah adalah jodoh yang kau kirimkan kepadaku ya Allah, dekatkanlah ia kepadaku. Namun aku masih belum memahami dengan baik bagaimana Allah menjawab doa-doa setiap hambaNya. Kali ini kuputuskan untuk menanyakan langsung sebab kebingunganku kepada Guru Hamdi. Beliau adalah seorang guru agama tempat aku menambah pengetahuan setelah lulus dari pesantren. Aku sering datang ke rumahnya sekadar silaturahmi atau menanyakan sesuatu yang belum kumengerti.
“Tumben kau menanyakan perihal jodoh, Zain?” tanya guru Hamdi.
Aku tersipu malu. Tapi sudah seharusnya guru Hamdi tahu apa yang sedang terjadi dengan hidupku dan rencana yang sedang kupersiapkan. “Saya ingin menikah, guru!” jawabku lirih.
Guru Hamdi tersenyum. “Sudah ada calonnya?”
Kuceritakan semua tentang Rani kepada Guru Hamdi termasuk juga Hafsah. Aku ingin sekali mendengar pendapat beliau.
“Sembari berdoa, kau juga sudah ikhtiar. Begitulah seharusnya seorang muslim dalam menjalani hidupnya. Selain itu, kau juga harus belajar lebih pandai untuk bersyukur. Dengan syukur, kau akan bisa merasakan dari lubuk hatimu tentang semua yang telah diberikan Allah kepadamu.”
“Apakah kedekatan saya dengan Hafsah juga adalah keinginan Allah?” tanyaku.
“Kau yang menginginkannya dan Allah mengabulkan usaha-usahamu untuk lebih dekat dengan Hafsah. Jika Allah tak menginginkan, tentu sekarang Hafsah tak mau kau dekati. Persoalan apakah ia akan menjadi jodohmu atau bukan, kau harus gigih untuk mengetahuinya. Tanyakan langsung kepada Hafsah, apakah ia mau menikah denganmu?” Pembicaraan terhenti saat Halimah, putri guru Hamdi datang membawakan dua gelas air teh dan sepiring pisang goreng. “Silakan diminum, Kak,” ujarnya kemudian kembali ke dapur.
“Saya belum punya keberanian untuk menanyakannya kepada Hafsah. Apakah sebaiknya saya menjalaninya saja dulu?”
“Aku sarankan kau terus berdoa. Allah pasti akan menjawab doa-doamu,” saran guru Hamdi.
Setelah menghabiskan air teh yang dihidangkan Halimah dan mencicipi pisang goreng buatannya, aku lantas pamit pulang.
Sampai di rumah, aku langsung menghubungi Hafsah lewat pesan pendek. “Sudah tidur, Hafsah?” tanyaku lewat pesan singkat ke telepon genggamnya.
“Belum. Aku baru selesai membaca Al-Quran.”
“Kapan-kapan ajari aku mengaji, ya?” tanyaku berharap pesan-pesan pendek kami tidak segera berhenti.
“Bercanda, nih ye. Justru aku dong yang harus belajar sama kamu,” jawab Hafsah yang membuatku tertawa sendiri.
“Bukankah Hafsah sudah pandai baca Al-Qur’an. Kenapa harus belajar lagi?”
“Hafsah mau belajar yang lain kok...” jawab Hafsah cepat.
Aku penasaran dengan maksudnya. lalu kukirimkan pesan pendek lagi. “Mau belajar apa sih?”
“Hehehee...” pesan Hafsah masuk ke telpon genggamku.
“Kok ketawa?” Balasan kukirim segera. Lama aku menunggu, tapi tidak ada jawaban dari Hafsah. Deg, deg, deg. Jantungku berdegup kencang. Aku merasa seperti sedang dipermainkan. Hanya kalimat pendek, hehehehe...membuatku tidak bisa tidur nyenyak.
***
Sejak malam itu hubunganku dengan Hafsah semakin membaik. Untuk pertama kalinya ia mau kuajak jalan-jalan sore di taman. Meski begitu, aku masih menunggu waktu yang tepat untuk mengutarakan maksudku untuk meminangnya. Kebahagiaan ini, aku menganggapnya demikian, juga kuceritakan kepada Haji Hamdi.
“Semoga Allah memberikan yang terbaik untukmu,’ ujar Haji Hamdi.
Jujur, aku senang sekali. Ada saat-saat sedih, Allah menuntun seseorang untuk menghiburku. Demikian juga ketika senang, Allah menemukan kepadaku orang-orang yang ikhlas turut mendoakan kebahagianku. Tidak saja kepada Guru Hamdi, tapi juga Riki. Merekalah selama ini yang diam-diam memperhatikan keadaanku.
“Jangan pulang dulu, Zain?” cegah guru Hamdi ketika aku ingin berpamitan. Aku bingung dan kembali duduk. Guru Hamdi tersenyum, entah apa maksudnya.
“Aku tidak bermaksud ingin membuatmu bingung...” kata Guru Hamdi tak melanjutkan ucapannya. Aku masih menunggu-nunggu apa yang akan diucapkan guru Hamdi.
“Sebelum kita lanjutkan, kita minum lagi saja dulu, agar lebih santai dan nyaman,” lanjut Guru Hamdi masih menyisakan tanda tanya yang belum terjawab. Guru Hamdi kemudian memanggil Halimah untuk membuatkan dua gelas kopi. Selama Halimah di dapur, Guru Hamdi menanyakan perihal pekerjaanku. Kalau urusan itu, dengan mudah aku menceritakannya. Selama ini usaha jasa sablon dan percetakan yang kurintis berjalan lancar. Aku bahkan sudah bisa menggaji karyawan sebanyak tiga orang.
“Apakah guru ingin menawariku sebuah bisnis?” tanyaku penasaran.
Guru Hamdi tertawa lebar. “Aku ini tidak pandai berbisnis. Mana mungkin akan mengajakmu berbisnis. Kau bisa rugi berbisnis denganku,” ujar Haji Hamdi melanjutkan tawanya.
“Lantas?”
Pembicaraan terhenti lagi. Halimah datang membawakan dua gelas kopi. Tapi kali ini ia tidak pergi masuk ke dapur seperti biasanya. Ia mengambil duduk di antara kami berdua.
“Ayo diminum. Kau pasti belum pernah merasakan kopi buatan Halimah. Rasanya enak sekali,” puji Guru Hamdi. Halimah tersenyum malu sambil menundukkan kepalanya.
“Bagaimana rasanya? Tanya Guru Hamdi ketika aku menyeruput kopi yang meruapkan wangi jahe.
Benar apa yang dikatakan Guru Hamdi. Ini pertama kali aku disuguhkan kopi. Biasanya selalu air teh. “Manisnya pas, seperti yang membuat,” jawabku spontan. Guru Hamdi mengernyitkan dahinya. Upsss...kenapa mulutku bisa tidak sopan begini. Kulirik Halimah semakin menundukkan wajahnya yang memerah.
“Maksud saya...anu...” ujarku terbata-bata.
“Sudahlah, Zain. Langsung saja. Sebenarnya aku bermaksud ingin menikahkan kau dengan Halimah. Itu pun jika kau setuju. Halimah sendiri setuju dengan rencanaku ini,” ujar Guru Hamdi kemudian.
Deg. Deg. Deg. Deg. Jantungku berdegup keras. Keras sekali. Halimah sungguhlah rupawan dan selama ini juga baik budi pekertinya. Bagiku alasan kenapa aku tidak pantas bersanding dengan Halimah. Bukan hanya paras wajahnya, tapi dia juga seorang anak dari Guru Agama yang disegani. Tapi apa yang baru saja kudengar membuatku kehabisan kata-kata. Aku dulu memang pernah menaruh hati pada Halimah, tapi sebisa mungkin perasaan itu kubuang jauh-jauh dan akhirnya bertemu dengan Rani. Tapi sekarang...kenapa baru sekarang? Akh...
“Bagaimana, Zain?” tanya Guru Hamdi.
Aku menarik napas panjang. Panjang sekali. Kutatap Halimah yang masih menunduk. Kupandangi sebentar wajah Guru Hamdi yang telah mempercayakan anaknya menikah denganku. Manakah jawaban dari doa-doaku selama ini ya Allah? Aku teringat dengan Hapsah. Ya, ampun. Halimah. Hapsah. Halimah. Hapsah. Halimah. Hapsah.
“Bagaimana, Zain?” tanya Guru Hamdi lagi.
Ya Allah, engkau maha benar dan maha mengetahui. Bimbinglah lisanku untuk menemukan kebenaran yang kau rahasiakan selama ini. Halimah. Hapsah. Halimah. Hapsah. Halimah. Hapsah. Halimah. [ ]
_____________________________________________________________
0 komentar: