“Terimakasih, Mas!” ucapku bersama sepercik senyum tulus pada pembeli martabak terakhirku hari ini.
Jingga di ufuk sana perlahan lenyap, pertanda malam mulai menampakkan wajah pekatnya. Awan menutupi bulan. Gemintang pun turut bersembunyi di balik selimut hitamnya. Udara mendingin. Sepertinya hujan pun akan turun.
Alhamdulillah, martabakku kini habis terjual. Membuat kantongku sedikit menebal. Aku pun bergegas membereskan gerobak martabak milikku, bersiap pulang. Badan ini amat lelah rasanya.
“Duluan, No!” seruku pada Pono, penjual terang bulan yang memarkir gerobaknya tak jauh dari gerobakku. Ia hanya membalas dengan senyuman, nampaknya sedang sibuk melayani pembeli.
Kudorong gerobakku menyusuri pinggiran jalan raya yang masih ramai ini, karena malam memang belum matang seutuhnya. Sementara deduri dingin malam semakin menusuk-merasuk ke dalam tulang. Kurasakan gerimis mengembun. Kuharap hujan memberiku waktu untuk sampai di rumah terlebih dahulu.
Di setiap ayunan kaki, sesekali kulirik kaca gerobak martabakku ini. Di sana terpampang tulisan: “MARTABAK LISA”. Wajah istriku pun seketika menari-nari di ujung mata. Lisa, ya, itu nama istriku. Istri yang kunikahi enam bulan lalu. Dan syukurlah, tempo itu cukup bagiku untuk menumbuhkan rasa cinta kepadanya, nama martabak itu adalah salah satu buktinya. Dan yang kutahu, Lisa pun demikian mencintaiku. Semoga.
Kadang aku bertanya-tanya, mengapa di zaman semaju ini, perjodohan masih berlaku. Ya, pernikahan kami adalah hasil perjodohan orangtuaku dan orangtua Lisa. Konon, ayahku dan ayah Lisa adalah dua orang sahabat sejak kecil dan terpisah saat masing-masing beranjak dewasa. Hingga suatu saat, ketika keduanya telah berkeluarga dan memiliki anak, takdir menepati janjinya untuk mempertemukan kedua bersahabat ini. Dan jadilah ini awal dari epik di mana aku dan Lisa dipertemukan untuk kemudian melangkah bersama dalam kehidupan rumah tangga.
Wahai, betapa cerita ini teramat singkat dan sederhana. Aku tak habis pikir perihal sejauh mana pengertian para orangtua perihal tidak mudahnya menegakkan pondasi rumah tangga, tanpa ada cinta sebelumnya.
Pada akhirnya, ternyata aku bukanlah anak yang berani melawan kehendak orangtua bersama perjodohan yang terharuskan ini. Dan ikatan pernikahan ini, tetap akan kupertahankan dengan penuh kesetiaan. Walau sepahit apa pun jua—sebagaimana yang diinginkan mereka, para orangtua. Demi cinta yang susah payah kutanam antara aku dan Lisa. Ah! Aku sudah bosan dengan kata cinta. Bukankah cinta adalah urusan hati, sedang hati adalah urusan Ilahi? Tak tersisa kewenangan untukku di sana.
Toh bukanlah perjodohan ini yang kusesali, bukan istriku sebagai jodoh yang kukesali, bukan pula pekerjaanku kini—yang barangkali rendahan ini—yang patut kupersalahkan. Melainkan bahwa aku hanya bisa terus bersyukur, bermimpi, berdoa dan berusaha untuk menjadi kenyataannya mimipi-mimpi indahku itu, sungguh kerap membuatku lupa akan makna hidup ini.
Oh, tanpa kusadari “MARTABAK LISA” telah menghanyutkanku ke dalam arus panjang lamunan ini. Kusapu mukaku dengan handuk kecil di leherku untuk menetralisir semua lamunan yang telah menggelayutiku. Sementara hujan masih berupa gerimis, sehingga tak begitu berarti bagi para pengguna jalan - termasuk aku - yang belum memiliki alasan untuk mencari tempat berteduh.
Kakiku masih setia melayaniku dengan ayunannya. Malam terus merangkak bersama dayu angin yang sejuk, terlalu sejuk tepatnya.
“Mas,” ucap Lisa padaku suatu saat yang aku telah lupa kapan itu, “nanti kalau ada rejeki lebih beliin aku baju baru ya, Mas”
Ya Tuhan, aku baru ingat akan permintaan Lisa itu sekarang. Seketika aku merasa amat berdosa. Aku berhenti sesaat. Kurogoh saku celanaku. Di sana kutemukan lembar-lembar rupiah yang kurasa dan semoga cukup untuk mewujudkan permintaan Lisa. Kulanjutkan langkahku, mencari toko yang menjual pakaian.
Dan kutemukan toko itu. Aku pun masuk, masih bersama handuk kecil di leherku, setelah memarkir gerobak ‘Martabak Lisa’-ku.
Tak terlalu betah aku berada di dalam toko ini, para pengunjungnya yang kulihat adalah orang-orang berdompet tebal semua. Sedangkan aku? Seketika perasaanku tak enak setelah menyadari hal itu. Bukan karena malu atas kekontrasan antara aku dan pengunjung toko lainnya yang terlalu nyata. Melainkan bahwa semua pengunjung toko ini adalah orang-orang berduit, membuatku yakin bahwa barang-barang yang dijual di sini begitu tidak bersahabat dengan isi kantongku.
Ah, sebaiknya aku keluar saja. Di luar, tepat di samping toko besar yang tadi kumasuki, kulihat seorang lelaki paruh baya bersama sehampar pakaian dagangannya yang sepi pengunjung. Jika dilihat dari depan, tampaklah dua objek pandang yang saling berantonim. Senyumku melebar seketika melihat pemandangan di samping bangunan toko itu. Rupanya di sinilah isi kantongku akan menemukan jodohnya.
***
Hujan turun amat derasnya, dipadu dengan desau angin yang terlalu dingin, dihiasi cipratan-cipratan kilat, dan diberi sentuhan gelegar petir yang dikolaborasikan dengan sepinya suasana. Lengkap sudah alasan semua orang untuk masuk ke dalam rumah, menutup pintu rapat-rapat dan meyedekapkan diri di balik kehangatan selimut tebal.
Namun ternyata aku tidak seberuntung mereka malam ini. Rupanya selimut pemilik bangunan ruko - tempatku berteduh dari serangan hujan - ini terlalu hangat. Sehinga membuatnya tak sempat menengok barangkali ada seseorang yang perlu dia persilakan masuk.
Astaghfirullaah. Aku telah lupa bersyukur. Bahwa dengan sekarang Tuhan memberiku perlindungan dari siraman dinginnya air hujan, bukankah itu adalah nikmat-Nya yang terlalu pantas untuk disyukuri? Tak patutlah kiranya aku mempersalahkan pemilik ruko ini atas garis takdir Tuhan yang tengah kujalani.
Aku duduk berpangku lutut, berusaha meredam hawa dingin yang terus menggelayuti sekujur tubuhku. Baju baru untuk Lisa masih aman terbungkus koran dalam dekapanku saat kupandang sekali lagi. Sederhana baju itu, terlalu sederhana tepatnya. Sesaat aku berpikir, apa Lisa senang kubelikan baju yang serba sederhana ini; sederhana modelnya, sederhana harganya, sederhana tempatku membelinya. Ah, Lisa, tak peduli kau senang atau tidak, hanya inilah hasil kerjaku bersama Martabak Lisa kita. Kuharap kau sadar, bahwa kita memang ditakdirkan menjadi orang yag sederhana, tak lebih, walau sedikit.
Lama sudah aku menggigil di sini. Lama sudah kutunggu air hujan berhenti namun tak urung jua. Hujan seakan berkata padaku, “Pulanglah! Atau menunggu semalaman....”
Ah, aku harus pulang. Aku akan berikan baju baru untuk Lisa ini malam ini juga. Aku terlanjur merasa bersalah atas kelalaianku terhadap permintaan Lisa itu, Lisa yang kucintai. Di rumah, Lisa pasti sudah menyiapkan air hangat untuk suaminya ini. Dan aku akan melihat senyum di bibir Lisa saat nanti kutunjukkan baju baru untuknya. Aku harus pulang!
Kudorong gerobak martabakku, setengah berlari. Tak butuh waktu lama bagi serdadu tetes air hujan untuk membasahi sekujur tubuhku yang tampak tulang di mana-mana ini. Aku benar-benar kedinginan. Bahkan tak sempat kugunakan kata-kata indah untuk mendeskripsikan rasa dingin yang terlalu dingin ini. Tapi tenanglah, air hangat bersama sebaris senyum - yang lebih dari cukup untuk menetralisir rasa dingin ini - menantiku di rumah.
Lisa, tak usah kau usik dirimu dengan kecemasan atas diriku, suamimu baik-baik saja, aku membathin.
***
Masih hujan....
Aku telah sampai di depan gang menuju rumahku. Kubelokkan gerobak martabakku memasuki gang itu, ‘Gang Sederhana’, namanya, nama yang indah. Tak jauh dan tak lama, aku telah sampai di depan rumahku, gubuk tepatnya. Kulihat di depan gubukku terparkir sebuah sepeda motor. Entah apa merknya. Dan entah siapa pemiliknya. Ah, sebaiknya aku masuk saja dulu.
Kuparkir gerobak martabakku di samping sepeda motor itu. Kuambil baju baru untuk Lisa dari dalam gerobak martabak - yang tadi kuamankan di sana. Sekilas aku tersenyum pada baju baru yang masih rapi terbungkus kertas koran bekas itu.
Kini aku sampai di depan pintu. Tertutup rapat pintu itu. Ingin kuketuk. Tapi tanganku terhenti saat pendengaranku menangkap sebuah percakapan. Samar-samar, namun cukup bagiku untuk mendengar.
“Ngomong-ngomong, suamimu mana, Lis?”
“Paling kehujanan di jalan, tenang saja lah, Mas....”
“Tapi kalau dia tahu aku di sini bagaimana?”
Duarr! Darr! Gdublarrr...! Petir menyambar. Menghalangi pendengaranku pada percakapan di dalam. Sekaligus menyadarkanku bahwa napasku kini kian berat, sesak.
“Lisa, aku pulang aja deh ya. Sepertinya hujan tidak akan berhenti.”
“Yaah, pulang deh. Tapi makasih lo Mas, baju barunya. Pasti mahal nih. Habis bagus banget! Suamiku mana mungkin bisa beliin yang beginian. Maklumlah, cuma penjual martabak.”
Duarrrrr! Petir menyambar lagi. Napasku semakin memburu.
“Iya, sama-sama. Aku pulang ya....”
“Iya, jangan lupa pakai jas hujan ya. Mmmuah!”
“Iya, mmuahh...!”
Terdengar suara langkah kaki. Semakin dekat. Hingga aku yakin hanya pintu di depanku ini yang menghalangi kami.
Klek! Gagang pintu di tarik ke bawah. Pintu di depanku perlahan terbuka, dibuka dari dalam tepatnya. Seiring detak jantungku yang sesaat terhenti. Aku tak tahu harus berbuat apa.[ ]
Marabahan, Senin, 20 September 2010
00:01 WITA
__________________________________________________________________
1 komentar:
Why gamblers love video poker and why people like it
Many gamblers enjoy casino games when they 밀양 출장샵 play video 구미 출장안마 poker. But, 수원 출장샵 why do people like playing video poker online? 충청북도 출장마사지 A look at their 문경 출장마사지 experiences and