“Kamu tidak usah jadi pedagang, pegawai negeri, camat, bupati, dokter, atau apapun! Ayah hanya ingin satu dari kamu, jadilah manusia yang alim dan mengamalkan ilmunya!” ucap Ayah, membuat seluruh isi dadaku bagai disetrum.
“Kalau kamu jadi orang alim, dunia akan datang sendiri, Dam!” Ibu juga ikut menambahkan.
“Tapi, SMP… “ belum selesai mengucapkan Ayah langsung memotong kalimatku.
“Tidak ada SMP!” tolak Ayah mentah-mentah. “Pesantren jauh lebih baik dari SMP kampung kita ini!”
Jelas sudah aku kalah.
“Mau, kan?” tanya Ibu sedikit memaksa.
Aku terpaksa mengangguk. Beberapa hari kemudian aku mendapati diriku berdiri menatap sebuah tugu biru putih yang sudah tua. Mengingat begitu banyak tempat ini mengambil dariku. Kebebasan, teman-teman, keluarga, semuanya kian jauh meninggalkan aku sendiri di dunia yang tak peduli. Dunia membosankan tanpa HP, TV, PS, game online! Dunia menyebalkan dengan segala aturan yang terus mengekangku. Aku merasa bagai orang asing di tengah tawa banyak orang. Namun keadaan yang memaksa membuatku tak bisa menolak untuk terus menjalaninya.
Perlahan aku mendapatkan pengganti teman-temanku yang hilang. Dan aku pun mulai menyebut pesantren ini sebagai penjara kalbu. Penjara yang mengurung hatiku dalam berbagai keadaan.
***
“Hidup di pesantren bagaikan berenang di laut luas, menyelami ilmu dan mendapati damainya jiwa. Yang menyimpang akan membusuk, terkapar menjadi bangkai!” Demikian kiranya kalimat dari sebuah novel yang pernah aku baca iseng-iseng. Namun sekarang kata-kata itu lengket di otakku, membuat aku termenung.
Apa yang sudah kudapat di pesantren ini? Apa hasil dari harapan Ibu dan Ayah yang terus mendukungku? Seberapa banyak ilmu yang sudah kudapat dan mampu kuamalkan? Aku benar-benar termenung, dan jawaban yang kudapat hanyalah tidak tahu! Dan yang kutahu hanya satu: aku menyimpang dan sering melanggar aturan di pondok tempatku belajar. Pernah suatu kali aku berusaha kabur dari pondok hanya untuk alasan sederhana, pergi ke warnet. Ya, internet kini telah menjadi hiburan yang memberikan kesenangan tersendiri bagiku dan Alwi. Rencana kabur itu berakhir buruk. Rencana kami justru digagalkan warga sekitar. Mereka terus mengejar kami dengan buas. Cahaya dari senter mereka terus menyorot seolah kami tawanan yang lari dari penjara.
“Terus lari Al…!” teriakku pada Alwi.
“Capek banget nih, Dam,” Alwi menyahut dengan napas payah.
“Lari! Kalau berhenti, habis kita!” kataku tak membiarkan Alwi beristirahat. Kami terus memasuki hutan, suara mereka semakin dekat. Rasa khawatir merayapi sekujur tubuh.
Bruk!
“Aww…” Alwi terjatuh dan mengerang kesakitan.
“Ayo Al, bangun!” Kubantu ia berdiri. Kami pun berlari lagi.
“Kayaknya aku tidak bisa lari lagi, Dam. kamu duluan saja.” Alwi putus asa.
“Bodoh! Bisa-bisa kamu mati dihajar mereka!”
“Biar saja! Daripada kita berdua sama-sama mati…”
“Banyak omong! Sini naik, biar kugendong.”
Aku pun kembali berlari sambil menggendong Alwi. Sialnya aku tak bisa cepat karena tubuh Alwi yang berat. Sedangkan mereka semakin dekat dan dekat.
“Berhenti!!!” Teriak sosok yang tanpa kusadari sudah menendangku. Aku terjatuh dan Alwi tergulung ke sampingku. Kami pun hanya bisa pasrah. Pukulan demi pukulan bersarang di tubuhku dan Alwi.
Bukk!
Sebuah pukulan kembali mendarat di pipiku. Darah keluar dari bibirku.
Brengsek, makiku dalam hati.
“Cukup! Cukup!’ teriak sosok yang paling besar. Tujuh sosok lainnya pun menghentikan kebrutalan mereka.
“Kelas berapa kalian?” tanya seseorang yang membawa senter sambil mengarahkan cahaya senternya ke wajah kami.
“Tiga tsanawiyah…” jawabku lirih menahan perih di bibir.
“Ooh…” sosok pembawa senter mengangguk-angguk.
“Jadi bagaimana, apa kita laporkan saja mereka ke pesantren?” tanya salah seorang dari mereka kepada sosok yang paling besar.
“Tidak perlu. Mereka pasti sudah jera.”
Mereka pun pergi. Dalam hati aku sangat bersyukur. Aku pun terkekeh.
“Bagaimana, Al?” tanyaku pada Alwi yang tersandar di sisiku.
“Mantab sekali, bro!!” jawabnya menahan tawa.
Malam itu kami babak belur gara-gara kabur dari pondok. Ah, sungguh sial! Entah kenapa masyarakat sekitar pesantren ini sangat suka mengejar santri nakal seperti kami, padahal menurutku kami tidak sedikit pun merugikan mereka. Pasti ada alasan di balik semua itu, tapi aku tak tertarik mengetahuinya.
Sambil termenung kupandangi Alwi yang sedang merokok. Entah apa yang sedang menyusup dalam pikiranku. Tapi yang jelas aku mulai tidak suka melihat Alwi merokok. Itu sudah melanggar aturan pondok. Aku bergegas mendatangi Alwi. Asap rokok mengepul dari mulutnya. Langsung kuambil rokok itu lalu menginjaknya.
“Hei… Apa-apaan ini?!” Alwi mendorong tubuhku.
“Ada masalah?” jawabku ketus. Kalau yang melakukan tadi bukan aku pasti tinjunya sudah melayang. “Saatnya kita insyaf, kawan!”
Alwi melotot dan mulai terkekeh. Sesuatu yang aneh baginya mendengar aku menyebutkan kata-kata itu. Tapi aku tidak peduli dan meninggalkannya pergi ke kamar untuk tidur. Akhir-akhir ini aku pun mulai sering memimpikan Huda, gadis pujaan hati yang tak tahu bagaimana keadaannya sekarang. Aku sungguh menikmati saat-sat bersama Huda walau hanya lewat mimpi. Setiap kali tidur, diam-diam aku berdoa agar mimpi itu selalu berulang. Seperti kemarin malam, Huda kembali hadir dalam mimpiku.
“Lihat itu!” Aku menunjuk kembang api yang meluncur seperti air mancur. Kembang api lainnya pun tak kalah indah menghiasi langit malam. Kulihat matanya bercahaya memandang pesta kembang api yang berlangsung di depan mata kami.
“Indah bukan?” tanyaku padanya. Ia menatapku dan tersenyum.
“Iya, indah sekali… Dan menyaksikannya bersamamu membuat semuanya sempurna,” ungkapnya membuat senyumku merekah. Seketika suara hilang. Malam terasa hanya dipersembahkan untuk kami berdua.
“Apakah kita bisa begini selamanya?” tanyanya seolah tak mau berpisah denganku. Hatiku berdetak, ragu.
“Mungkin,” jawabku tidak memberikan janji. Ia menatapku tajam, pandangan curiga. Aku menahan tawa. “Semoga saja, sayang…” lanjutku akhirnya. Dari wajahnya, aku tahu Huda tak puas dengan jawabanku tadi.
Entah sudah berapa lama aku tidur. Aku memicingkan mata mencari tahu siapa yang sedang membangunkanku. Padahal aku baru saja memimpikan Huda kembali. Mimpi yang tak kalah indah dengan malam-malam sebelumnya.
“Dam, Dam, bangun! Gantian dong kamu lagi yang kerja!” Samar kudengar suara Alwi membangunkanku. Perlahan aku duduk. Kulihat jam menunjukkan pukul 02.03 dini hari. Ngantuk sekali.
“Hooi… Dam, semangat dong!” Alwi menggoncang-goncang tubuhku.
“Iya, iya…” Huh, tengah malam begini harus mendekor tempat acara, menyusahkan sekali. Tapi mengingat ini semua buat acara perpisahan, aku semangat lagi.
Aku segera ke tempat wudhu untuk membasuh muka. Segar rasanya. Setelah itu barulah berjalan menuju masjid yang besok akan menjadi tempat acara perpisahan kami. Namun tiba-tiba aku melihat sosok mencurigakan di samping sumur dekat gedung olahraga. Entah kenapa, aku jadi penasaran dan segera mengikuti langkah sosok itu. Tangannya menenteng benda misterius.
“Dam, ngapain kamu??” Hah, jantungku hampir saja copot saking terkejutnya.
Ternyata Yamin yang mengagetkanku. Dia hanya nyengir melihat aku kelabakan.
“Ssstt… Lihat itu!” Telunjukku mengarah pada orang mencurigakan tadi.
“Siapa itu?”
“Tidak tahu, lihat saja…”
“Daud! Iya, itu satpam Daud. Ngapain ya dia di situ?”
Sosok yang ternyata satpam Daud itu berjalan ke tempat pembuangan sampah terakhir. Kami mengikutinya dengan sembunyi-sembunyi. Bau busuk dari tumpukan sampah itu menyengat hidungku. Dia menuju kolam ikan mas yang terletak di samping tempat pembuangan sampah terakhir. Seseorang rupanya telah menunggunya di sana.
Kami mengamati dari jauh. Meskipun cahaya lampu membantuku melihat orang itu dengan jelas, tapi aku tetap tidak mengenalinya. Sepertinya bukan santri ataupun karyawan pesantren ini. Ustadz juga jelas bukan. Lalu siapa?
“Yamin…”
“Ya?”
“Cepat panggil teman-teman yang lain ke sini. Sepertinya Daud sedang melakukan transaksi HP!”
“Kamu?”
“Aku menunggu di sini saja. Cepatlah!”
Yamin pun berggegas ke masjid guna memanggil yang lain. Aku masih memperhatikan Daud dan orang asing itu. Kulihat Daud menyerahkan plastik yang dibawanya tadi. Orang asing itu pun menerimanya sambil tertawa dan membuka isinya.
Benar dugaanku, isinya HP. Jumlahnya tak terhitung banyaknya. HP-HP itu ialah HP sitaan Daud dari para santri yang kedapatannya membawa HP, karena barang itu terlarang bagi kami. Seharusnya, Hp sitaan itu diserahkan pada pihak keamanan pesantren, tapi dia malah menjualnya! Kalau ustadz tahu perbuatan kejinya itu, pasti ia akan diberhentikan dari pekerjaannya sebagai seorang satpam.
Orang asing itu kemudian menyerahkan segepok uang kepada Daud. Kulihat mereka saling berbicara, lalu tersenyum.
Syukurlah, Yamin dan teman-teman segera datang. Mereka membawa Ustadz Syamsuddin.
“Apa yang mereka lakukan?” tanya beliau padaku.
“Sepertinya menjual handphone sitaannya!”
“Berani sekali satpam itu…” Ustadz Syamsuddin tampak marah. baru kali ini aku melihat beliau semarah itu. “Baiklah, kalian berpencar. Kita kepung ia!”
Kami pun segera bergerak. Aku tak sabar melihat wajah Daud bila tertangkap nanti.
Daud yang menyadari kedatangan kami tampak terkejut dan ingin lari. Tapi dia sudah terkepung. Di depannya hanya ada tembok.
“Ngapain kamu di sini?” Suara Ustadz Syamsuddin melengking nyaring. Satpam Daud berusaha berkilah ini-itu.
“Dusta! Kamu menjual HP kan pada orang ini?!” bantah Ustadz Syamsuddin sambil menunjuk orang asing yang juga tak bisa lari itu.
Plak! Tamparan Ustadz Syamsuddin melayang saat Daud mencoba membantah. Wajahnya meringis kesakitan.
***
Aku menerima map berisi ijazah itu dengan senyum mengembang. Ijazah tanda aku telah lulus dari perjuanganku selama tujuh tahun ini, waktu yang cukup lama untuk menyita masa remajaku. Tak bisa kulukiskan bagaimana bahagianya aku saat ini. Apalagi melihat kedua orangtuaku yang dengan bangganya melihatku dari kursi tamu. Kusalami seluruh Ustadz yang hadir dalam acara pengukuhan dan perpisahan ini.
Setelah itu kudatangi Ayah dan Ibu, kupeluk mereka berdua. Air mata kebahagiaan tak bisa kutahan lagi. Tapi ada yang aneh, di samping mereka ada seseorang yang setiap malam selalu hadir dalam mimpiku: Huda! Ia tersenyum melihatku. Ah, senyum itu, tak kusangka senyum yang beberapa tahun ini membayangiku kini hadir di depan mataku. Terakhir kali aku melihat senyum itu sebelum kami memutuskan untuk berpisah.
“Ayah bangga padamu, Nak!”
“Ibu juga…”
“Terimakasih. Ayah, Ibu…”
“Selamat ya, Kak…” Huda ikut memberikan ucapan selamat. “Awas!” Huda tiba-tiba berteriak dan menarik tubuhku hingga jatuh.
Cras! Darah menetes di lantai masjid. Darah Huda! Pisau Daud mengenai perut Huda. Daud pun segera mencabut pisau itu lalu menyerangku. Aku sigap menangkap tangannya dari samping. Kemudian kulayangkan tangan kananku ke hidungnya. Seisi masjid jadi kacau. Orang-orang di dekat kami segera menangkap tubuh Daud. Aku langsung mengamankan pisau di tangannya. Alwi, Yamin, dan teman-temanku yang lain segera mengeroyok Daud. Huda tampak tak sadarkan diri.
“Ayah, cepat kita bawa Huda ke rumah sakit!”
Ayah bergegas berlari menuju tempat parkir untuk mengambil mobil. Aku mengangkat tubuh Huda, gadis cantik yang menjadi korban kejahatan Daud. Darah terus mengucur dari perutnya. Berjuta perasaan sakit menyengat tubuhku. Tangisku berganti jadi tangis kesedihan. Sepertinya kejadian barusan akan menjadi kesedihan panjang jika Huda tak terselamatkan. [ ]
Asrama Pintu I, 10 Desember 2010, 17.13
__________________________________________________________________
0 komentar: