Oleh: M. Nuril Azmi Badali
“Martapura, Martapura!!!”
Jalanan memanas. Debu beterbangan di sana-sini. Sopir angkot hijau terus saja mencari penumpang, mencari nafkah guna memenuhi kebutuhan keluarga. Di atas sana, matahari seolah menjilat-jilat.
Bapakku juga seorang sopir angkot. Itulah pekerjaan yang dilakoninya setiap hari demi menghidupi keluarga, termasuk membiayai aku yang tengah kuliah. Ia rela menarik angkot jurusan Banjarbaru-Martapura mulai pagi menyingsing hingga sore menjemput. Bapak memang tidak pernah sekolah ke jenjang lebih tinggi. Katanya, Nenek dan Kakek tak ada biaya menyekolahkannya saat itu. Tapi Bapak tidak ingin kalau aku nanti seperti dia. Makanya ia mati-matian membanting tulang.
Usai shalat isya berjamaah, kami sekeluarga makan malam. Aku mempunyai satu orang adik bernama Leni.
“Benar sebentar lagi kamu wisuda, Fan?” tanya Ayah.
“Benar, Pak,” jawabku.
“Apa masih ada yang harus dibayar? Kalau ada bilang saja, Bapak akan mengusahakannya,” tekad Bapak agar aku bisa jadi sarjana sudah sangat kuat. Semua itu tak lain karena semua harapannya ada padaku. Ia ingin agar aku nantinya mendapat pekerjaan yang layak. Ibu memandangiku sambil melahap nasinya.
“Tidak ada Pak. Kalaupun ada, Irfan pasti akan bilang,” jawabku pasti.
***
Senja menghambur di kota Banjarbaru. Bisingnya kendaraan di jalan raya tak henti-hentinya melantunkan suara khas mereka. Lampu-lampu yang bersusun di trotoar mulai dinyalakan. Tapi dengan cuaca yang sedikit mendung, senja yang sekarang sedikit murung dari senja kemarin.
Aku masih menghayal tak pasti. Sesekali aku memikirkan perkataan Bapak semalam yang membahas soal sarjana. Ingat itu, aku semakin tidak sabar lekas wisuda. Kutatap kalender yang terpasang di samping pintu kamarku. Kuingat-ingat tanggal yang sengaja kuberi tanda lingkaran dengan spidol. Astagfirullah, itu hari ulang tahun Ibu. Aku baru mengingatnya sekarang. Tapi tetap saja aku tidak dapat memberinya hadiah apapun karena aku memang tidak memiliki uang. Namun setidaknya aku akan mengucapkan selamat ulang tahun padanya.
“Bu,” ucapku pada ibu yang sepertinya lagi sibuk membereskan dapur. Ia segera menghentikan aktifitasnya.
“Iya, Fan. Ada apa?”
“Emm, Irfan cuma…Irfan cuma ingin mengucapkan selamat ulang tahun buat Ibu. Tapi, Irfan tidak bisa mem..”
“Sudah, jangan diteruskan. Lagian Ibu sudah tua. Tapi Ibu bahagia hari ini.”
“Bu…”
Belum lagi aku selesai bicara, Ibu segera momotongnya.
“Kamu tahu kenapa Ibu bahagia?”
“Kenapa?”
“Karena bapakmu tadi pagi memberikan Ibu hadiah ulang tahun yang sangat spesial…” Wah, tidak biasanya Bapak memberi Ibu hadiah secara sembunyi-sembunyi tanpa memberitahukan aku dan Leni.
Ibu lalu mengeluarkan kado pemberian Bapak. Sebuah kotak merah kecil berhiaskan kancing emas yang unik. Kemudain Ibu membukanya dan menunjukkannya padaku.
“Ge.. gelang, Bu?” ucapku sedikit kagum.
Berapa lama Bapak mengumpulkan uang agar dapat membelikan Ibu gelang itu, sebuah gelang emas yang di setiap sisinya dipasangi intan-intan kecil dan memiliki bandolan permata di tengahnya. Pastilah benda itu sangat mahal. Ternyata Bapak tak hanya mengumpulkan uang untukku saja, tapi juga menyisihkannya untuk Ibu. Tak lama Bapak pulang membawa kue gorengan dan beberapa buku bacaan buat Leni.
***
Kemilau jingga sudah mulai mengintip di ufuk timur. Tak terasa, waktu berjalan begitu cepat. Hari yang ditunggu-tunggu sudah tiba.
Pagi-pagi sekali aku sudah bersiap-siap. Ibu dan bapak juga tampak semangat hari ini, tentu saja. Kutatap wajah ibu, di balik semangatnya itu juga tersimpan sesuatu yang sangat ia tutupi. Sedang Bapak, ia tampak sangat ceria. Ia pasti sangat bangga karena telah mampu membiayaiku hingga selesai kuliah, apalagi jika mengingat pekerjaannya yang hanya sopir angkot.
Aku kembali memandangi Ibu. Ah, ada apa dengannya? Mungkinkah Ibu sedang sakit?
Gedung Universitas Lambung Mangkurat Banjarbaru telah berdiri di hadapan kami. Leni tak ikut hadir di acara wisudaku ini. Dia harus tetap sekolah karena hari ini sekolahnya tidak libur. Sebenarnya ia mau minta izin libur pada pihak sekolah, tapi aku melarangnya.
Aku sudah siap dengan toga yang kukenakan untuk berkumpul dengan wisudawan lainnya. Sebelumnya kutuntun kedua orangtuaku menuju kursi para undangan.
Acara berlangsung. Bisa kulihat wajah semua orang yang tampak senang. Kulihat Bapak mengusap kedua matanya yang berair. Ibu juga tak henti-hentinya tersenyum, namun tetap saja pucat di wajahnya tak bisa disembunyikan. Sepertinya Ibu memang benar-benar sakit.
“Tolong! Tolong! Tolong…!” teriak salah seorang hadirin, setelah acara wisuda selesai.
Semua hadirin tampak mencari asal suara. Aku jadi sulit melihat apa yang terjadi.
“Katanya ada orangtua mahasiswa pingsan ya di sana?” Samar kudengar percakapan seseorang di belakangku. Tapi aku tak peduli. Aku sibuk mencari-cari keberadaan orangtuaku.
Karena acara sudah selesai, para undangan banyak sudah pulang. Aku masih tidak menemukan Bapak dan Ibu. Ah, mungkinkah yang pingsan tadi Ibu?
Aku mulai panik dan langsung berlari ke ruang kesehatan kampus untuk memastikannya. Setelah sampai, kudapati beberapa petugas kesehatan di sana.
“Eh, kamu yang bernama Irfan Kurniawan?” tanya salah seorang dari mereka.
“Iya, benar.”
“Begini, tadi ibumu pingsan, terus dibawa ke sini. Setelah kami periksa, sepertinya kondisinya buruk. Mungkin ibumu mengidap penyakit lemah jantung. Jadi pihak kami melarikannya ke rumah sakit. Ayahmu juga ikut ke sana menemani ibumu.
“Le… lemah jantung?” Aku benar-benar kaget. “Ke rumah sakit mana?”
“Kalau tidak salah di rumah sakit Ratu Zalekha.”
Aku bergegas pergi ke sana dengan menaiki sebuah ojek. Tak berapa lama aku sampai di halaman rumah sakit. Aku langsung masuk ke dalam.
“Mbak, apa tadi barusan ada pasien yang bernama Ibu Yasmin?”
“Iya, tadi memang ada. Tapi tak berapa lama dia sudah siuman dan minta dipulangkan. Kami memang sempat melarangnya, tapi dia bersikeras mau dirawat di rumah saja.”
Ya Allah, kenapa ibu menolak dirawat di rumah sakit. Apa dia memikirkan biayanya yang mahal? Aku pun segera pulang ke rumah.
“Ibu?” ucapku seraya bergegas memasuki kamar Ibu.
Kulihat Ibu sedang berbaring di kasur, mungkin sedang tidur. Leni memijat-mijat tangan Ibu.
“Len, Bapak mana?”
“Katanya ada keperluan sebentar.”
“Ibu tidak apa-apa kan?”
“Alhamdulillah Ibu sudah tidak apa-apa sekarang.”
***
Sudah satu tahun berlalu sejak acara wisuda waktu itu, namun aku belum juga mendapat pekerjaan. Aku jadi merasa sangat malu, terutama pada Bapak.
“Fan,” Ibu memanggilku di kamar.
“Ada apa, Bu?”
“Fan, kamu kan sudah menjadi seorang sarjana, tapi kenapa tampaknya kamu sulit mendapatkan pekerjaan?”
Ya Allah, ini pertanyaan yang benar-benar tak ingin aku bahas. “Irfan sudah berusaha sekuat tenaga mencari pekerjaan yang sesuai dengan bidang yang Irfan miliki, tapi belum juga ketemu.”
“Fan, apakah kamu merasa kasihan dengan Bapak? Bapak sekarang sudah tua untuk tetap bekerja demi kita. Ibu hanya tidak ingin kalau seumur hidupnya dia habiskan hanya untuk bekerja seperti itu.”
Mataku tak kuasa menahan air mata. Aku merasakan penyesalan yang sangat dalam.
“Bu, kasih Irfan waktu sedikit lagi. Irfan benar-benar tidak mampu sekarang,” ir mataku kembali menetes.
Aku tahu, kondisi Bapak akhir-akhir ini sering sakit-sakitan. Dia sering batuk. Keadaanku menjadi serba sulit.
Mulai hari ini, aku memutuskan untuk tidak tinggal di rumah beberapa hari. Aku harus menginap di kos-kosan temanku sampai aku mendapat pekerjaan. Aku tak ingin selalu terbebani oleh keluargaku.
Lima hari sudah aku tidak berada di rumah, selama itu pula aku terus mencari pekerjaan dari satu tempat ke tempat lain. Tapi selalu saja lamaranku tidak membuahkan hasil.
Ibu sempat mengabariku kalau Bapak di rumah sedang terbaring sakit. Kata Ibu, Bapak tidak dapat menarik angkot lagi untuk sementara. Tapi kalau aku pulang, justru akan menambah beban. Jadi lebih baik aku fokus untuk memperoleh pekerjaan saja.
Temanku dimana sekarang aku menetap di tempatnya, merasa tak nyaman denganku. Ia menawarkan kepadaku pekerjaan, yaitu membantu bapaknya berdagang berbagai macam alat sekolah. memang ini bukan pekerjaan yang kucari, tapi ini satu-satunya jalan untuk membantu keluargaku.
Akhirnya aku mulai bekerja di tempat bapaknya hingga satu bulan. Dan aku sudah menerima gaji pertamaku.
Aku lantas berpikir untuk pulang ke rumah. Kuhubungi Leni lewat handphone, tapi handphonenya malah tidak aktif. Terpaksa aku pulang tanpa memberitahukannya sebelumnya.
Ibu, Bapak, Leni, kalian pasti bahagia melihatku sudah bisa mencari uang sendiri. Rasa senang terus bergejolak dalam diriku.
Angkot yang kunaiki pun akhirnya sampai di depan rumah. Aku melihat banyak orang-orang berkumpul di sana. Ada apa ini? Apa bapak mengadakan selamatan atas kedatanganku? Ah, tidak mungkin, karena aku belum memberitahu kalau mau datang.
“A.. apa?!”
Aku terkejut luar biasa saat melihat bendera hijau berkibar di depan rumahku. Innalillah… Siapa yang meninggal? Ya Allah…
“Permisi…” ucapku sambil bergegas masuk ke dalam rumah.
Apa? Ibu? Ibu yang terbaring dan diselimuti kain kafan diseluruh tubuhnya?
“Len, apa yang terjadi? Kenapa jadi begini?”
“Kak, semenjak kakak pergi, bapak sering sakit-sakitan. Kenapa kakak mematikan ponsel kakak saat itu? Semua kabar tentang keluarga tak dapat Leni sampaikan. Terus kondisi bapak kian hari kian memburuk...” Mata Leni tampak berkaca-kaca.
Pikiranku sekarang semakin kacau. Lalu Leni melanjutkan ceritanya.
“Hingga empat hari lalu, bapak dijemput oleh Allah. Leni ingin menghubungi, tapi HP kakak tidak aktif.”
“Ja… jadi bapak…” Aku semakin kalut.
“Setelah bapak meninggal, Iibu nekat ingin mencari kakak sampai ke Banjarmasin. Leni melarangnya. Setelah itu ibu sering berdiam diri. Ibusering tidak mau makan dan meminum obat. Jantungnya semakin melemah, hingga hari ini… ibu juga menyusul bapak… hiks…” Leni menangis, tak kuasa membendung air matanya.
Aku merasa menjadi orang yang paling bersalah. Ya Allah, kenapa Kau cabut ruh kedua orangtuaku tanpa sepengetahuanku? Aku belum sempat meminta maaf pada mereka.
Air mataku mengucur deras saat ini, mungkin tidak ada artinya sama sekali. Semuanya telah terjadi.[ ]
_________________________________________________________________________
0 komentar: