(Cerpen ini pernah dimuat di harian Banjarmasin Post dengan judul “Aku Bukan Gay”)
Oleh : Ithay FPP
Di pojok sana, tepatnya bangku di bawah pohon beringin halaman sekolah, masih kulihat kau sedang bercanda dengan anak lainnya. Ah..., naluriku turut senang jika melihat senyum itu mengembang di bibirmu. Andai saja senyum itu untukku. Andaikan kau tahu, bahwa aku merindukan saat-saat seperti itu. Saat kita masih akrab sebagai sahabat. Bagaikan bulan dan bintang yang bercanda di tirai langit malam, tapi sudah musnah diterpa sinar sang surya cakrawala.
Tak bisa kupungkiri, aku masih memaku memerhatikanmu dari jauh. Kubiarkan saja bulir-bulir bening berjatuhan dari mataku, ah...
****
“Maaf, Kevin... aku tak bisa lagi berteman denganmu,” kau berkata gugup sambil menunduk kaku.
“Kenapa, Yan? Apa aku ada berbuat salah denganmu?”
“Bu... bukan begitu... Aku cuma tak ingin jadi bahan olokan teman-teman saja. Aku tak ingin di permalukan...”
Aku tersentak. Ingin menangis rasanya, jika aku tidak keburu sadar bahwa aku ini laki-laki.
“Tapi aku tak seperti yang mereka katakan, Yan. Mereka pembohong. Semuanya fitnah!” elakku sambil menahan air mata yang berebut ingin keluar menelusuri pipi.
“Mungkin mereka mau menghancurkan persahabatan kita, Yan. Asal kau tahu saja, aku ini normal!”
Mataku makin memerah. Kubiarkan air mataku mengalir perlahan. Kulihat sosok di depanku terpaku menunduk. Ya, ia satu-satunya orang yang mengerti akan keadaanku selama ini. Satu-satunya orang yang bisa menganggapku sebagai teman. Tapi sekarang...
“Maaf...” Akhirnya terlontar juga suara dari mulutnya.
“A...aku tak bermaksud menyakiti hatimu, Vin.”
“Lalu mengapa kau selalu menjauh dariku akhir-akhir ini dariku, Yan? Apa kau tak ingin bersahabat lagi denganku? Jangan sampai persahabatan kita pecah. Aku mohon... Jawab yan!?”
Suaraku makin meninggi. Air mataku makin menjadi. Aku tak tahu lagi, masih bisakah persahabat ini terselamatkan.
“Kevin, aku tahu bahwa yang dikatakan teman-teman tentangmu itu tidak benar. Tapi yang jelas, aku tak ingin dipermalukan! Ma’afkan jika selama kita berteman aku banyak berbuat salah. Selamat tinggal....”
Lirih kau berucap. Seakan menggores luka di hatiku. Perih. Beginikah keputusan yang telah kau ambil, Yan? Sungguh, terlalu sakit bagiku.
Sekarang sosok itu melangkah menjauh meninggalkanku yang berdiri sendiri. Terpaku tanpa suara. Air mataku masih saja mengalir, bahkan semakin deras. Kuseka air mataku dengan sapu tangan yang selalu tersedia di saku celanaku.
Ini semua pasti ada sangkut pautnya dengan si Dihar, gumamku. Dihar bangsat! Isakku tak bisa ditahan. Tangisku kembali pecah.
****
Entah kenapa aku dilahirkan dengan fisik yang tak sama dengan laki-laki pada umumnya. Sikap serta perilakuku cenderung kewanitaan dan tubuhku gemulai. Kulitku putih, bahkan bisa dibilang sangat putih. Begiu pula dengan wajahku. Saking mulusnya sampai-sampai satu jerawat pun enggan menodai. Dilengkapi dengan sepasang mata yang bening dan sipit seperti orang China, karena memang ibuku mempunyai silsilah dari negri tirai bambu itu.
Aku sangat sering ditaksir cewek-cewek di sekolah. Bahkan sebagian berani menembak aku secara terang-terangan. Ironisnya tak ada satu cewek pun yang aku terima. Semuanya kutolak secara halus dengan alasan aku belum siap pacaran. Padahal bukannya aku tidak siap pacaran, melainkan karena ada pesan dari ibuku yang tak pernah kulupa. Katanya, sebagai orang yang taat beragama tidak boleh pacaran. Sebaiknya menikah dulu baru pacaran.
Tapi semua kelebihan yang kumiliki sangat menyiksa. Aku dibilang orang mirip cewek. Bahkan yang lebih parahnya lagi aku dibilang tidak normal! Perihal ini dikuatkan karena persahabatanku dengan Ryan. Mungkin mereka bertanya-tanya kenapa aku cuma mau berteman dengan Ryan saja? Kuyakini, karena cuma dialah satu-satunya murid di SMA ini yang mengerti akan keadaanku. Satu-satunya orang yang bisa menerimaku sebagai teman.
Tapi kenyataannya... Aku sangat tertekan. Tersiksa malah. Andai orangtuaku tahu bagaimana menderitanya nasib anak semata wayangnya ini. Tidak! Aku tidak akan pernah mengadu pada mereka sekali pun. Aku tidak mau dicap sebagai anak yang cengeng, yang hidupnya selalu bergantung pada orang tua.
Namun, pantaskah aku menyalahkan Sang Pencipta karena telah memberikan karunia-Nya untukku meskipun dipandang miring oleh orang banyak? Padahal aku cuma mau meyakinkan pada mereka, bahwa aku anak yang normal. Ya Allah... Tolong katakan pada mereka, aku laki-laki yang normal. AKU BUKAN GAY!!!
****
Di kelas aku duduk di pojok paling belakang. Sendiri. Semuanya menjauh dariku. Tak seperti dulu, ada Ryan menemani di sampingku. Kini ia pindah ke bangku lain. Sekarang tak ada lagi yang mau menyapa maupun bicara denganku. Bahkan untuk sekadar menanyakan pelajaran pun. Sumpah, kelas ini bagai neraka bagiku. Terasa jenuh dan membosankan!
Aku tertekan, tersiksa. Bahkan yang lebih parahnya lagi aku di kucilkan!
Sering ketika aku sedang lewat di hadapan teman-teman, mereka berbisik tidak karuan, setelah itu mereka tertawa cekikikan sambil sesekali menoleh kepadaku dengan pandangan yang aneh. Tentu saja aku lewat dengan tergesa-gesa sambil menunduk malu. Puas kalian mempermalukanku?
****
“Ryan Effendi”
Kau naik ke panggung saat namamu dipanggil Pak Kepsek di acara kenaikan kelas. Ya, tahun ini kau kembali meraih prestasi juara kelas. Sungguh, aku sangat beruntung bisa berteman dengan orangsehebat kamu, Yan. Semua mata di auditorium ini tertuju padamu, tak terkecuali aku.
Saat kau menerima penghargaan yang diserahkan oleh Bu Ima, kau sekilas menoleh kepadaku yang duduk di bangku pojok. Ah, aku jadi salah tingkah. Entah kenapa, hatiku berbunga-bunga. Kucoba untuk tersenyum manis kepadamu. Tapi... kau tidak membalas senyumku. Sama sekali tak menggubris, malah langsung membuang muka. Aku kecewa, sangat kecewa.
Itu kejadian satu jam lalu. Sekarang kulihat kau sedang santai di kantin bersama Dihar dan kawan-kawannya. Kalian sesekali tertawa, entah apa yang kau bicarakan dengan mereka. Namun, tampak jelas dari wajahmu menyiratkan kau sangat senang hari ini. Tentu saja, kau barusan meraih prestasi juara kelas berturut-turut.
Kuberanikan diri untuk menyapamu. Aku hanya ingin mengucapkan selamat kepadamu atas prestasi yang baru kau raih, itu saja. Serta mengobati kerinduan karena sudah tiga hari ini kita tak bertegur sapa.
Aku melangkah perlahan menuju tempat duduk kalian. Tentu saja dengan senyum manis yang selalu menjadi khasku.
"Ryan..."
Sesaat kau menoleh kepadaku. Begitu juga Dihar dan ketiga temannya. Tampak di wajahmu ada goresan tak bersahabat.
"Selamat ya..."
Kata itu terlontar dari mulutku dengan perlahan. Aku segera menjauh dari tempat duduk kalian. Biarlah kau tak menjawab atas sapaanku tadi, yang penting aku sudah menyampaikan kata "selamat" padamu. Tapi hanya beberapa langkah aku menjauh, terdengar Dihar mengoceh.
"Eh, Yan! Lu masih aja ya berteman dengan orang yang nggak normal itu?!"
Aku segera berpaling. Kulihat ketiga temannya tertawa cekikikan. Sedangkan kau cuma diam saja. Tanpa ekspresi.
"Ingat Yan, dia itu nggak normal. Dia itu gay!"
Telingaku panas mendengar ocehan Dihar barusan. Bergegas aku menuju ke arah kalian. Aku selalu tak tahan bila difitnah dan diperolok berlebihan. Mataku mulai memerah.
"Dihar!”
Tanganku menghantam meja tepat di hadapan Dihar. Ia sedikit kaget, tapi dengan cepat menyembunyikan rasa kagetnya, berusaha untuk menguasai keadaan.
"Heh, berani juga nih cewek!" Dihar meledekku.
"Camkan baik-baik, Har.Aku ini tak seperti yang kau katakan. Aku laki-laki. Aku bukan gay!"
"Apa? Lu yakin?! Buktinya lu selalu nolak bila ditembak cewek. Apa itu bisa dikatakan normal?!"
"Bukannya aku nolak. Tapi aku cuma ingat pesan ibuku, kalau aku tak boleh pacaran..."
"Alaah... Dasar anak mami! Bilang aja lu sukanya cuma ame cowok. Ryan aja loer taksir! Apa nggak aneh, tuh?!"
"Kamu berengsek Dihar. Gara-gara kau Ryan tak mau lagi berteman denganku. Dasar bajingan!"
Jika saja tak ada Tuhan, hendak kubunuh saja Dihar berengsek ini. Kuseka air mataku yang sudah bercucuran dari tadi.
"Hey, lihat! Si bencong nangis. Emangnya lu kira ini tempat apa, hah?! Udah, sana...sana... Muak gue ngeliat muka lu!"
"Bangsat..."
"Heh, lu punya telinga nggak? Gue bilang pergi, ya pergi! Lu budeg ya?!"
Brugh...
Satu tamparan tepat sasaran mengenai pipi kananku. Aku terpelanting sejauh dua meter dari tempat duduk mereka. Agh...sumpah! Sakit sekali rasanya.
Aku masih duduk tersungkur sambil memegang pipi kananku yang lebam. Tentu saja sambil meringis kesakitan.
Dihar masih berdiri memamerkan tangannya yang kekar sambil dikepal. Dia tersenyum sinis dengan ujung bibir yang mencuat ke atas.
Kulihat ketiga temannya semakin tertawa keras. Sedangkan kau, Yan, kenapa kau tak membelaku? Kenapa?
Semua mata di kantin kini cuma tertuju padaku. Tak ada perlawanan. Pada dasarnya aku memang takut berkelahi. Apalagi bila berhadapan dengan si Dihar, preman sekolah ini. Suasana hening sesaat.
"Ngapain lu tetap di sini, hah?! Gue hitung sampe tiga, kalo elu tetap di sini, jangan salahkan gue bila muka lu yang mulus itu hancur!!!"
Semua orang di kantin kini menertawakanku. Kenapa aku selemah ini, padahal aku laki-laki!
Aku berjalan gontai meninggalkan kantin sambil memegang pipi kananku yang masih berdenyut.Kusempatkan menoleh padamu. Kau hanya memandang nanar kepadaku. Tidak lebih.
****
Langit sore ini begitu gelap. Masih menyisakan gerimis di luar sana yang enggan untuk berhenti membasahi bumi. Kau letakkan seikat bunga kenanga di batu nisan yang berdiri kokoh di atas tempat terakhirku.
Ya, sejak kejadian di kantin tempo lalu, aku absen di kelas. Bukan tanpa alasan aku tak hadir, melainkan penyakit actasisce yang kuidap sejak lahir kambuh lagi. Sudah stadium tiga. Sungguh hal yang sangat mengejutkan bagi orang tuaku, terutama ibuku. Aku masih ingat di kala ibuku tiap malam menangis tersedu-sedu, memikirkan nasib putra semata wayangnya nyaris di ujung tanduk. Beliau berusaha keras memperjuangkan nyawa anaknya agar bisa terselamatkan. Perih sekali.
Dua minggu lamanya aku sekarat tak sadarkan diri. Begitu pula lamanya aku tidak masuk sekolah. Satu sekolah geger. Ryan, kaulah yang paling panik dan gelisah atas peristiwa yang menimpaku ini. Tapi herannya kenapa kau tak kunjung menjengukku, Yan? Kenapa? Padahal aku begitu mengharapkan kedatanganmu. Uh, walaupun kau akhirnya datang, tapi sudah kunyatakan terlambat! Dunia kita sudah berbeda. Kau masih mempunyai masa depan, impian dan segenap cita. Sedangkan aku... Tuhan telah membuat keputusan untukku.
Kau masih berdiri di hadapan makamku dengan pandangan yang sulit untuk diungkapkan. Tiba-tiba satu bulir bening menetes tepat mengenai gundukan merah di atas pusaraku. Matamu berkaca-kaca, namun secepatnya kau menyekanya. Tapi aku dapat merasakan air mata penyesalan itu.
"Maaf..."
Kau berkata lirih sambil sesenggukan. Cuma itu sajakah kata yang dapat kau lontarkan kepadaku, Yan? Ah, aku tak mengerti maksud dari isi hatimu.
Cukup sudah semua penderitaan yang kualami. Tapi aku tak tahu bagaimana dengan perasaanmu saat ini. Apakah penyesalan terus menikammu yang dirundung perasaan berdosa? Cuma kau yang bisa merenungkannya. Bagiku, sungguh penyesalan yang tiada berarti.
Gerimis di luar sana berubah jadi hujan yang sangat lebat. Mungkin dapat menjadi saksi bisu atas penyesalanmu saat ini, Yan.
Penjara Suci, 11 Juni 2009
0 komentar: