Lihatlah sungai ini, yang membentang melingkari tanah kita. Impian-impian kita di bawahnya hanyut bersama. Aku tak tahu lagi bagaimana mengayuh jukungku, tanganku tak sekuat dulu, sewaktu aku muda. Saat daun-daun terasa lebih hijau, dan akar pohon berjalin mengikat tanah dan air di bawah kakiku. Aku hanya tak ingin mengulang keluh yang sama: angin besar menggerus ladang-ladang kami! (kutipan cerpen Angin besar Menggerus Ladang-Ladang Kami)
Angin besar Menggerus Ladang-Ladang Kami, begitu judul antologi cerpen karya-karya Hajriansyah, sastrawan Kal-Sel yang kini aktif dalam Komunitas Sastra Indonesia (KSI) Banjarmasin sebagai ketua. Buku kumpulan cerpen terbitan Frame Publishing dengan 171 halamannya ini berkandungkan 14 buah cerpen: Monologila, Suatu Hari Menari, Seseorang Pergi Jauh, Lukisan Surga, Suara yang Datang Kemudian, Panggung Terakhir Seniman Tua, Laki-Laki Pemburu Petir, Kau Tak Peduli Lagi, Sungai-Sungai yang Membeku di Kepalaku, Ada Buaya di Keluasan Sana!, Suatu Hari di Kotamu, Angin besar Menggerus Ladang-Ladang Kami, Ia Rebah Memegang Lambungnya dan Pelukis-Pelukis Kesepian.
Lewat cerpen-cerpennya, Hajriansyah seakan berusaha menguraikan segala bentuk keprihatinannya atas budaya 'banua kita'. Itu terbukti dari kebanyakan sudut pandang latar ceritanya yang terkesan mengkritik. Juga terlihat dari cara pendeskripsiannya yang akan membuat pembaca merenung. Keluar dari keprihatinannya pada banua, cerpen Hajriansyah juga bersifat memperkenalkan banua dengan segala macam kalebihannya, serta memberi semangat dan menjadi sumber inspirasi bagi tunas-tunas muda untuk terus berkarya. Di sebagian cerpennya yang lain, kembali Hajriansyah berhasil mencampur aduk suasana harmoni alam yang khas dengan sosilokui (percakapan batin) yang berbau filosofis, kegelisahan personel tokoh-tokohnya, serta pergulatan eksistensial. Kiranya antara kearifan kolektif dan pencarian personel, Hajriansyah telah menemukan momentum kreatifnya.[]Farid
0 komentar: