Malam yang Muram (Episode 2)
20.47 | Author: Forum Pena Pesantren


Oleh: Kamal FPP
Martabak Foderasi Internity cabang Banjarmasin:
Gasar terlihat sibuk menjumlah-jumlah pemasukan dan pengeluaran. Sedang pengunjung rumah makan martabak sore ini ramai seperti biasa. Ada macam-macam menu, martabak sniper climb, martabak eggs biger, martabak flying ball, martabak heppi dance. Menu-menu yang sulit diingat. Foto Gasar dengan rambut cepak tentara yang ia pertahankan selama ini, berkolaborasi jas abu-abu yang terbuka memperlihatkan bangun ruang perutnya yang menyembul keluar, terpampang di dinding samping-samping pintu kantornya, menghadap para pengunjung. Bersanding dengan foto Gusur di bingkai sebelahnya. Cuma beda warna jas, yang lain sulit dibedakan.
Tuut….
Telepon memanggil-manggil minta diangkat, Gasar pun menghentikan laju pulpennya.



“Hallo, siapa ya?
Oh, oke oke. Jam berapa dan kamar nomor berapa?
Oke, aku pulang. Nomor 34,* jam 10, malam ini.
Sampai ketemu!”
*****
Pantai Batakan Sabtu sore:
Sore yang cerah, waktu yang tepat untuk bersantai, menunggu sunset di ufuk barat. Gelombang semakin meninggi, menderu-dera merayap menaiki pasir pantai. Kadang menyentuh hunjuran kaki Gusur yang sedang menyeruput softdrink. Berakhir pekan di pantai bukan pilihan salah, buktinya di ujung-ujung sana banyak muda-mudi sedang berasyik masyuk berkasih sayang tanpa menghiraukan Gusur yang sedang sendiri menghilangkan kepenatannya mengurusi rumah makan martabak Foderasi Internity.
Meski sudah tak punya ayah dan ibu lagi dan pernah menjadi penghuni panti asuhan, tak menghentikan Gasar dan Gusur berkarya, mengubah garis takdir pahit yang kerap menerkam mereka jika hanya berpangku tangan mengharap belas kasih orang lain.
Gusur meneguk kembali softdrinknya, satu teguk, dua teguk, tiga teguk. Masih setengah kaleng.
“Sendiri aja nih?” sapa seorang cewek yang menghampirinya lalu duduk di samping Gusur.
“Mau nemenin?” Gusur memberi tantangan.
“Oke oke aja. Asal, mau nemenin aku malam ini.”
“Di mana?”
“Di rumahku.”
“Di rumahmu ada siapa aja?”
“Sendiri.”
“Oke. Setuju.”
“Abang ini tinggal di mana?”
“Di Banjarmasin, dekat Pasar Hanyar.”
“Jauh dong dari sini.”
“He eh, kalo di akhir pekan bisaanya aku emang refreshing.”
“Duh, lupa. Namanya siapa?”
“Gusur.”
“Gusur? Aku kira Gusdur.”
“He…he… kalo situ?

“Siapa yang muji kamu gitu?”
“Debur ombak laut, matahari yang sunset, bintang yang mulai gemerlapan.”
“Apa mereka bisa bicara?”
“Seperti yang tertulis di Al-Qur’an.”
“Apa ayatnya?”
“Biar kubacakan artinya: Selalu bertasbih kepada Allah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi.”
“Mengapa kamu tidak berprofesi sebagai ustadzah saja?”
“Profesi abang apa?”
“Jawab dulu.”
“Saya bisa tahu dan ingat sebagian ayat Al-Qur’an, karena sering diajak almarhum Ayah ceramah kesana kemari.”
“Jadi kamu anak seorang ustadz?
“Ya, begitulah. Ayah dan Ibu meninggal enam tahun yang lalu dalam kecelakaan mobil saat berhaji.”
“Kamu masih untung bisa melihat wajah orangtuamu. Sampai sekarang aku belum tahu di mana Ayah Ibuku.”
Matahari semakin tenggelam bersama gulungan ombak, menghempas batu karang, merayapi pasir pantai. Burung-burung walet terbang menuju darat, berkicau membahana menyelimuti langit senja. Matahari sekarang benar-benar tenggelam dan hanya menyisakan siluet merah. Adzan magrib mendayu telah berkumandang. Arloji di tangan Gusur sudah menunjukkan pukul 06.30.
“Bang, sudah magrib nih. Pulang yuk!”
“Oke. Kamu ke sini pake apa? Mobil? Motor?
“Mobil silver di bawah cemara itu tuh!”
“Aku juga pake mobil. Jadi pulangnya pake mobil masing-masing dong!”
“Nggak apa-apa, yang penting mau nemenin malam ini.”
Deru dua mobil menyatu bersama debur ombak. Memecah kesunyian senja. Mobil Gusur mengikuti mobil Murawati menuju rumah gadis itu. Entah di mana. Untuk menemaninya yang sedang kesepian.
*****
Salon Hafsa, Martapura City:
Semakin malam, semakin banyak yang datang. Kalau malam, yang datang biasanya ingin potong rambut. Untuk pagi, pengunjung yang ingin kerimbat, reabonding, atau sekadar perawatan wajah, menjadi prioritas pesanan. Hafsa cuma duduk di kamarnya sambil membaca-baca antologi puisinya Afan yang baru terbit. Dan tergeletak di atas kasurnya novel pertama yang juga dikaryakan Afan berjudul “Sepiring Tujuh Tangan”, novel yang menguraikan pertemanan REGENERASI yang erat, walau berbeda-beda tetap satu, Bhineka Tunggal Eka.
Tok… tok… tok…
“Mbak Hafsa, ada Pazer di luar,” karyawatinya memberitahu.
“Iya, iya. Suruh tunggu di ruang tamu. Aku siap-siap dulu.”
‘Pasti ada sesuatu,’ kata Hafsa dalam hati. Sebetulnya malas sekali jika berurusan dengan Pazer. Diajak bicara, paling cuma senyum, mengangguk, berkata ya atau tidak.
Ganti baju, semprot sana-sini, sedikit bercermin, dan selesai. Hafsa pun keluar menemui Pazer yang sedang duduk memandangi pemuda-pemuda yang mengarahkan karyawati yang memotong rambut mereka. Kalau salah kehendak, pasti mereka tak mau lagi ke salon ini.
“Hai Zer, tumben ke sini. Ada apa?”
“Kau lupa ya, malam ini jam 08.30 di Hotel D’Caprio!”
“Oh, iya.. iya.. Aku baru ingat.”
“Sudah kau buka kotak itu?”
“Kau memang sangat perhatian dengan orang lain, Zer. Aku juga lupa tentang itu.”
“Sebentar lagi jam 08.00!”
“Oke, oke. Kutinggal sebentar.”
Hafsa memasuki kamarnya, menuju kotak yang terletak di atas lemari. Ia membukanya, lalu tersenyum.
“Keila memang pintar.”
Hafsa keluar dari salon yang merangkap rumahnya, diiringi Pazer dengan wajah dingin.
“Siap dan pasang sabuk pengaman.” Pazer mulai menyalakan mesin mobil, memutarnya ke jalan raya.
Bem…
Begitu cepat roda mobil itu berputar.
*****
Jalan A. Yani Km. 16:
Afan duduk santai menikmati malam yang mulai rintik-rintik, menetes di setiap kedipan mata. Jalan punya nuansa tersendiri bagi para pengimajinasi. Seperti Afan. Mungkin agak aneh bagi orang kebanyakan, duduk di tepi jalan di malam

“Murawati Sukardi Putri.”
“Mirip nama ular ya, Mura¹.”
“Nggak apa-apa deh. Yang penting cantik, seksi dan ceria.”
yang gerimis. Sepertinya Afan sangat menikmati malam minggu ini dengan sendiri, menyepi dalam temaramnya lampu bulan. Pena berliku, mengikuti jari yang memegangnya. Menguntai bait demi bait puisi.
Apakah di negri ini masih banyak penikmat sastra, yang tak menganggap puisi suara yang masuk lalu keluar begitu saja dari gendang telinga. Ya, hanya mengisi waktu luang, saat pekerjaan kantor sudah selesai. Mungkin lebih lagi petani jika ditanya ‘Pak, jenis puisi apa yang Anda suka? Puisi lama atau puisi baru?’

Sungai memanjang di awan
Melintas debu beterbangan
Tetesan demi tetesan
Berserikat mengarus deras
Membasahi pejam mataku
Meluntur pahatan tinta
Merasuk di helaian kertas
Walau ku tak melihatmu
Kedamaian dapat kupegang
Kala dirimu hinggap di tubuhku
Kau belai lembut jariku
Yang menari memuja elokmu
Kau senang
Walau pekat malam
Memeluk kita berdua


Sorot lampu mobil dari kejauhan semakin mendekat, menembus tirai gerimis dengan cepat. Afan tersenyum sambil memandang lampu itu. Ia berjalan ke tengah jalan, menghadap mobil, dan merentangkan tangan, menengadahkan wajah ke langit.
Citt…
Ban mobil Pazer berhenti mendadak. Afan menurunkan wajahnya dan tersenyum pada Pazer dan Hafsa yang ada di mobil. Afan segera masuk ke mobil setelah Hafsa mempersilahkannya. Mobil Pazer melanjutkan perjalanannya kembali, membawa tiga jasad yang berteman akrab menuju Hotel D’Caprio.
*****
Kamar No. 34, Hotel D’Caprio
Keila, Jassar, dan Gasar duduk santai di ruang tamu, minum kopi diiringi obrolan ringan.
“Bagaimana Gas, sudah jadi bisnis sama Hafsa?” tanya Keila.
“Belum, belum dipikir matang-matang.”
“Sematang apa?”
“Sematang buah cempedak.”
“Lama sekali.”
Obrolan terus berlangsung antara Keila dan Gasar. Sementara Jassar sedang asyik memandangi layar laptopnya. Jam sudah menunjukkan pukul 08.20 malam. Tinggal 20 menit lagi, mereka akan menjamu klien mereka.
Klek, pintu kamar terbuka dan memang sengaja tidak dikunci.
“Hallo, assalamu ‘alaikum…,” Hafsa masuk ngelonyor begitu saja, langsung mengambil tempat duduk di samping Jassar.
Pazer dan Afan menyusul di belakangnya.
“Tinggal satu orang lagi Gas,” kata Keila.
“Tadi dia sudah kuhubungi, tapi hapenya tidak aktif.”
“Coba hubungi lagi!”
Gasar pun mengambil HP-nya, mencoba menghubungi Gusur.
Tut… tut… tut….
Lama sekali tak ada sahutan. Lalu suara operator yang kedengaran, memberitahu bahwa nomor yang dituju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan, cobalah beberapa saat lagi.
HP itu kembali dimasukkan Gasar ke saku celananya. Gusur tetap tak bisa dihubungi. Keila pun terlihat panik.
“Jas, tolong lacak di mana Gusur sekarang!”
“Oke Bos!”
Jassar dengan cepat bekerja. Jendela demi jendela silih berganti di layar laptopnya. Tiba-tiba muncul sebuah rekaman video.
“Kalian sudah berkumpul kan, ini aku, klien yang minta tolong dengan kalian. Tapi maaf, Gusur kalian sedang bersama kami. Lihat dia!”
Tiba-tiba tayangan berpindah menampilkan wajah Gusur dengan tubuh dan tangan terikat, mulut dilakban, dan moncong pistol di kepala. Kemudian tayangan berubah kembali pada laki-laki yang bicara tadi.
“Ha… ha… ha… Tenang saja, ia takkan kami apa-apakan. Asalkan kalian mau menyerahkan kode rahasia kasus berdarah di tambang batu bara Pegunungan Meratus. Kalau ingin dia ini selamat, jangan pernah melawan.”

Bersambung…


This entry was posted on 20.47 and is filed under , , . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, or trackback from your own site.

0 komentar: