Oleh: Syarief FPP
Aku heran melihatnya. Akhir-akhir ini dia menjadi pendiam. Entah apa yang membuatnya menjadi seperti itu. Ada keinginan untuk menanyakan langsung kepadanya. Namun, langsung kuurungkan niatku itu karena aku takut mengganggunya.
Ia sedih! Ya, bisa kupastikan itu karena aku melihatnya menangis di sudut kamar. Apa yang ia tangisi? Entahlah. Kulihat ia memegang sebuah foto. Foto ibu kami. Aku pun semakin penasaran. Kudekati dia.
“Syafiq, kamu kenapa?”
Tidak ada jawaban yang keluar dari mulutnya, yang kudengar hanya tangisan.
“Syafiq, tolong ceritakan apa yang membuatmu sedih.” Kucoba lagi membujuknya untuk bicara, tapi kali ini pertanyaanku membuat tangisannya lebih memilukan.
Aku putus asa. Kutinggalkan dia sendiri di kamarnya. Kulihat ia masih memandangi foto itu.
“Ah, biarlah ini berlalu dengan sendirinya,” batinku.
*****
Selesai makan malam aku pergi ke kamarnya. Kurasa dia sudah mau bercerita. Saat membuka pintu kamarnya, yang kurasakan hanya kesunyian yang menyelimuti. Di atas meja sana tergeletak piring yang sebelumnya kuberikan untuk makan malamnya. Piring itu kosong. Syukurlah, berarti dia sudah mau makan.
Kulihat dia tidur di atas ranjangnya sambil memegangi foto ibu. Aku terharu melihatnya. Di sampingnya tergeletak sebuah kalender. Kuamati kalender itu dalam-dalam. Ternyata ada tanggal yang dilingkari dengan spidol merah. Lima Oktober, tujuh hari yang lalu. Kucoba memutar ulang kembali ingatanku. Dan ingatanku terhenti pada hari kematian ibu tiga tahun lalu. Ya! Itu hari kematian ibu.
Aku juga teringat bahwa yang diderita saudara kembarku ini terjadi setiap tahun menjelang hari kematian ibu. Dan sekarang adalah tahun ketiga. Sampai sekarang aku masih belum tahu pasti misteri apa yang bersembunyi di balik jubah kesedihan miliknya.
*****
Pagi ini begitu sepi, sama seperti biasanya. Itu kurasakan karena yang tinggal di rumah besar ini hanya kami berdua. Tanpa pembantu, dan tanpa orangtua.
Kami adalah saudara kembar. Syafiq adalah kakakku dan aku adalah adiknya. Ayah meninggal lima belas tahun yang lalu, tepat saat umur kami lima tahun. Dan ibu menyusul dua belas tahun sesudahnya, tiga tahun yang lalu. Dulunya rumah ini dipenuhi oleh paman-pamanku. Namun, setelah mereka semua sudah berkeluarga, mereka berpencar dan memiliki rumah masing-masing. Dan setelah ibu meninggal, harta warisan seluruhnya jatuh ke tangan kami berdua. Kami pun tumbuh menjadi orang yang kaya dan mandiri.
Setamat SMA aku kuliah di fakultas ekonomi. Sedangkan Syafiq, dia lebih memilih berhenti sekolah dan memilih untuk menjadi penulis. Aku kagum dengan Syafiq, dan aku yakin suatu hari nanti Syafiq bisa menjadi penulis ternama. Keyakinanku itu menjadi lebih kuat setelah novel dan antologi puisinya beredar di pasaran. Karena di novel dan antologi puisi karangannya terpampang fotonya, banyak di antara teman-temanku mengira aku penulisnya. Bahkan ada yang sampai meminta tanda tanganku. Aku pun mengabulkannya, itu pun setelah mendapat izin dari Syafiq.
Syafiq turun dari tangga. Pakaiannya rapi. Senyumnya melebar melihatku yang memandanginya dari tadi. Aku heran dibuatnya. Pikiranku melayang mencoba menerka-nerka apa gerangan yang terjadi. Dia duduk di meja makan, tepat di sampingku. Senyumnya masih mengembang.
“Ada apa, Rafiq?” Dia membuka pembicaraan.
“Ah, nggak ada apa-apa kok,’ jawabku bohong.
“Bener? Aku lihat dari tadi kamu memandangiku terus. Apa ada yang salah?”
“Hmmm… Aku cuma heran kenapa kemaren kakak sedih,” jawabku lagi, namun kali ini aku tidak bohong.
“Ooooh, masalah kemarin ya?” Kemarin itu aku sedih karena setiap kali menjelang hari kematian ibu aku selalu teringat masa-masa ibu masih hidup. Aku treringat dengan masakan ibu, dengan cara ibu tertawa, dengan bagaimana dia menyiram mawar-mawarnya, dan…semuanya!” dia mencoba menjelaskan. Air matanya jatuh.
Aku mengangguk tanda mengerti. Tapi aku masih heran, hanya karena teringat masa-masa saat ibu masih hidup dapat membuatnya menangis tujuh hari berturut-turut tanpa henti. Ah, aku bingung.
“Aku mau jalan-jalan, mungkin saja bisa dapat inspirasi baru, ini kan hari Minggu.” Dia berdiri seraya menyapu air matanya dan bergegas menuju garasi tempat Vespanya bertengger.
Rafiq langsung tancap gas dengan Vespa kesayanganya. Ya, Vespa. Dia lebih suka Vespa bututnya ketimbang mobil yang kubelikan sebulan yang lalu. Dia selalu bilang bahwa vespa itu adalah separuh hidupnya. Ah, masa bodoh.
Suara vespanya itu mengecil dan akhirnya hilang. Hatiku tergerak untuk mencari tahu apa sebenarnya yang membuat Rafiq sedih. Kunaiki tangga yang menjadi jalan untuk menuju kamarnya. Aku berdiri di depan pintu dan kuraih gagangnya. Ah, tidak terkunci. Aku masuk perlahan. Kulempar pandanganku keseluruh isi kamarnya. Di sudutnya ada komputer yang masih hidup. Kudekati komputer itu, di depanya ada kertas kumal yang mungkin umurnya sudah belasan tahun. Ada banyak tulisan yang ditulis dengan pena yang berbeda. Tulisan pertama ditulis dengan pensil, yang kedua ditulis dengan pulpen tinta hitam dan yang terakhir ditulis dengan pulpen tinta biru. Aku berharap kertas ini ada sangkut pautnya dengan kesedihan kakakku:
Kamis, 16 Oktober 2008
Beberapa hari ini aku merasakan hal yang aneh. Mulai dari suara-suara yang menyebut-nyebut waktu kematianku sampai mimpi-mimpi yang membuat tidurku tidak nyenyak lagi. Entah itu benar atau tidak, yang penting aku sudah sholat taubat dan mengqodho sholat-sholatku yang bolong. Seandainya itu terjadi juga, aku siap. Dan kamu tahu? Hari yang disebut-sebut sebagai hari kematianku adalah hari ini.
Hari Kamis tanggal 16 Oktober 2008. Aku juga mendapat firasat bahwa orang pertama yang membaca tulisan ini akan meninggal tanggal 5 Oktober 2020. Ha ha haha!!!
–Abd. Karim-
Glek. Aku meneguk liurku. Abd.Karim adalah ayahku. Berarti yang menulis tulisan pertama adalah ayahku. Kulanjutkan membaca kertas itu:
Senin, 5 Oktober 2020
Beberapa hari lalu kau menemukan kertas ini diberkas-berkas lama milik suamiku. Awalya aku tidak percaya sama sekali, tapi lama-lama aku mulai percaya karena aku merasa hal yang sama dengan suamiku. Yah, seandainya hari ini memang hari kematianku, aku rela saja. O ya, aku juga mendapat pertanda bahwa orang pertama yang membaca tulisanku ini akan meninggal tanggal 12 Oktober 2023.
–Nurul Huda-
Astaghfirullah, aku mulai takut, Nurul Huda adalah ibuku. Aku tersentak. 12 Oktober 2023 itu hari ini. Kuberanikan membaca tulisan berikutnya.
*****
12 Oktober 2023 Kamis pagi
Ah, aku yakin yang pertama membaca tulisan ini adalaha adikku, Rafiq. Iya kan? Ha ha ha
Fiq, mungkin sekarang kamu mencari-cari apa penyebab kesedihanku. Kamu sekarang sudah mendapatkannya. Mungkin kertas ini bisa menjelaskan semuanya. Asal kamu tahu saja, semenjak kematian ibu, aku merasakan apa yang dirasakan oleh ayah dan ibu. Sungguh, sangat tidak enak!!!
Bayangkan, kemanapun aku pergi aku selalu melihat angka dua belas. Baru keluar rumah, sudah kulihat nomor rumah kita yang angkanya dua belas. Ketika ingin pergi dari rumah kusempatkan menghitung mawar-mawar milik ibu yang jumlahnya dua belas. Bahkan, nomor polisi Vespaku pun ada angka dua belas: B 1223 N Hahaha….
Apa kamu percaya bahwa manusia bisa mengetahui hari kematiannya? Mungkinkah ini yang namanya pertanda? Selamat, Rafiq !!! Kamu mendapatkan semuanya….
*****
Hah? Aku tersentak. Kepalaku terasa berat. Kusandarkan badanku di dinding kamar. Hp-ku berdering. Ada telepon masuk. Kakakku. Dia menelponku.
“Halo,” suara di seberang sana menyapa.
“Iya, ada apa, Kak?”
“Kamu masih di rumah?”
“Iya, memangnya kenapa?”
“Tolong antarkan flash disk-ku yang ada di kamar ke….,”
Teeeeeeeeeet!!! Suaranya terhenti, ada bunyi klakson panjang terdengar.
“Bruak!!!”
“Kakaaaak??!! Ada apa?!”
“Tuuut,” teleponnya putus, jantungku berdegup kencang tak karuan. Kepalaku kembali terasa berat.[]
0 komentar: