Oleh: Zian FPP
(Cerpen ini pernah dimuat di harian Banjarmasin Post edisi Minggu, 29 Oktober 2009 dengan judul yang sama)
“Percayalah Har, dengan uang milyaran itu kamu bisa mewujudkan mimpimu yang mana saja!”
Aku hanya diam. Bukan karena mempertimbangkan, apalagi tergiur, tapi aku sudah bosan. Sejak siang tadi Surya terus membual soal bisnis aneh yang kalau tak salah namanya BBS. Sejak siang tadi pula aku muak melihat wajahnya.
“Rumahmu ini, sekejap akan berubah seperti hotel Har! Hotel!!!”
Malam kian menanjak, merangkul dingin yang menembus tulang hingga ke sum-sum. Tidak terhitung lagi berapa kali sudah aku menguap. Kembali kulirik jam dinding berlatar putih dan berbingkai hitam yang detak jarumnya kini terdengar lebih nyaring. Sudah pukul sebelas lewat. Sementara Surya, dia masih saja semangat membujukku agar mau berbisnis dengannya.
“Jadi bagaimana Har?” tanya Surya yang kuharap merupakan akhir dari penjelasan panjangnya. Penjelasan panjang lebar yang tak kumengerti sama sekali.
“Baiklah Sur, aku akan mempertimbangkannya nanti dengan istriku, tapi setelah kau mengganti Honda Supramu itu dengan Honda Jazz!”
*****
Hidupku berlangsung normal. Hari-hariku dimulai layaknya hari-hari sebelumnya. Jam tujuh pagi, usai sarapan, aku membuka kios. Kios itu bangunannya menyatu dengan rumah. Jam-jam begini biasanya anak-anak SD singgah untuk membeli cemilan.
Anak-anakku berpamitan sebelum berangkat ke sekolah. Mereka tiga orang. Dua masih SD, sedang yang satunya sudah SMP.
Sedangkan istriku, sepagi ini biasanya ia sibuk membersihkan rumah, merapikan apa saja yang menurutnya berantakan. Setelah itu, kesibukannya akan terpusat pada tumpukan piring kotor bekas sarapan tadi. Jika semuanya dirasa beres, maka ia akan kesini membantuku menjaga kios.
Penghasilanku pun mengalir normal. Kendati tak bisa dibilang kaya, setidaknya kami mampu menyisihkan uang setiap hari. Rencananya, aku dan istriku akan pergi haji dengan uang tabungan itu. Cita-cita kami, juga cita-cita semua orang di desa ini. Bila tak memungkinkan, maka kami akan umroh saja.
Kios itulah satu-satunya tonggak hidup keluargaku. Kata orang, syarat utama supaya kios laku ialah lengkapnya barang yang dijual, walaupun setiap jenis barang cuma ada satu, walaupun barang itu jarang sekali dicari orang. Yang penting lengkap. Dengan begitu, orang akan suka berbelanja ke sana, karena tak perlu lagi ke kios lain. Tentu repot bila berbelanja harus ke beberapa kios. Selain itu, barang dagangan yang lengkap juga akan membuka niat pembeli untuk membeli barang-barang lain yang sebenarnya tidak direncanakan.
Karena itulah, aku melengkapi barang-barang jualan, walaupun tiap jenis barang cuma ada satu. Mulai dari makanan-makanan ringan, perlengkapan sekolah, bumbu-bumbu dapur, bensin, minyak tanah, minyak goreng, alat-alat listrik, perabot rumah tangga, sandal jepit, bola badminton, gir, rantai, oli, paku, bahkan pulsa. Pokoknya, hampir semua kebutuhan dijual di kiosku. Barang-barang itu berjejalan tidak teratur di kiosku yang sempit ini.
Baru-baru ini aku juga membeli kulkas, supaya orang yang ingin es batu juga bisa membelinya di kiosku. Bulan puasa, es batu pasti laku keras di desa yang masih jarang penduduknya punya kulkas ini.
Aku kebiasaan pergi berbelanja ke kota satu minggu sekali, setiap hari Minggu. Tapi rencananya aku ke kota hari ini saja, hari Sabtu. Besok ada tetangga yang akan mengadakan acara perkawinan anak mereka.
Nah, istriku sudah kemari. Tampaknya pekerjaannya telah selesai.
“Kapan berangkat, Pak?” dari teras dia berteriak sambil berjalan ke kios.
“Sebentar lagi Bu.”
O ya, satu hal yang membuat kiosku selalu laku. Dari ujung desa sampai ke ujung desa, kios yang ada hanya milik kami. Mungkin yang lain juga ingin mendirikan kios, tapi tak enak dengan kami. Tenggang rasa di kampung ini sangat tinggi, meskipun banyak dari mereka yang tidak mengenal pelajaran PPKn.
Aku lantas memanaskan mesin motor. Gasnya kuputar berkali-kali. Kemudian menyiapkan keranjang yang akan digantung di jok belakang layaknya timbangan. Sudah dari dulu sebenarnya aku ingin beli mobil pick up. Dua keranjang yang dipasang bersebelahan itu sudah terlalu kecil, jika melihat pengunjung kios yang terus meningkat. Namun istriku selalu saja bilang, “Habis naik haji saja. Kalau sudah naik haji, baru kita kumpulkan lagi uang buat beli pick up.” Begitulah. Asalkan kios kami masih laku dan keluargaku tetap harmonis, semua tak akan jadi masalah.
*****
Sibuk mengemas barang-barang belanjaan, istriku mendadak menelpon.
“Pak, cepat pulang Pak! Cepat!!!”
“Tenang Bu, tenang! Ada Apa?”
“Rumah kita dirampok! Uang tabungan kita semuanya dicuri!”
Aku tak bisa lagi berpikir apa-apa. Langsung kumasukkan semua barang ke keranjang sekenanya, tanpa peduli ada yang berhamburan keluar. Segera kuhidupkan motor dan kupacu sekencang-kencangnya menuju rumah.
Sepanjang jalan aku coba memikirkan semua kemungkinan. Siapa saja yang bisa tahu letak tabungan kami disimpan. Sementara aku mengutuk diriku yang terlalu kampungan untuk sekadar menyimpannya di bank. Tiga puluh juta bukanlah jumlah yang sedikit.
*****
Kehidupanku rasanya kembali seperti saat pertama aku menikah, miskin. Bedanya, kali ini aku punya tanggungan tiga orang anak yang harus diisi perutnya dan harus disekolahkan. Polisi belum juga berhasil menemukan siapa pelakunya.
Sudah ada lima orang pintar di Kalimantan Selatan ini yang kudatangi. Semuanya hanya membuahkan hasil nihil dengan jawaban sok tahu.
“Saya bisa melihat wajahnya, namun saya tidak kenal. Badannya sedang, tidak kurus dan tidak gemuk. Rambutnya pendek. Kulitnya agak hitam....” Demikian kata salah seorang orang pintar yang aku temui sambil memandangi piring putih yang diisi air. Di sisi piring itu dia (atau sebaiknya kusebut beliau) tuliskan huruf-huruf Arab yang tak bisa aku membacanya, padahal aku pernah sekolah di sebuah pesantren, walaupun tidak sampai tamat.
Aku membuka kios pagi-pagi sekali. Impian tentang tanah suci masih setia menari-nari di alam pikiran kami. Aku harus memulainya dari awal lagi, mencari modal kesana-kemari demi melengkapi barang dagangan. Yang penting lengkap!
Namun untuk bisa selaris dulu, tampaknya lebih sulit. Di dekat perbatasan desa sana ada kios yang baru saja dibuka. Selain lengkap, dagangan di sana juga banyak. Bangunannya empat kali lipat kiosku. Pemilik kios itu ialah warga pendatang dari kota yang baru satu bulan berdiam di kampung ini. Sialnya lagi, rumah-rumah di sekitar perbatasan desa itu lebih rapat dan lebih banyak daripada di sekitar sini. Aku kalah telak!
Matahari telah di puncak. Istriku sudah sekitar satu jam yang lalu beranjak ke dapur guna menyiapkan makan siang. Bosan sekali rasanya menunggu pembeli. Dari pagi tadi cuma ada tiga pembeli yang mampir. Pertama Imah, putri Pak Anang yang juga teman anakku Ratna. Dia membeli dua bungkus kerupuk sebelum berangkat sekolah tadi. Dua sisanya adalah pengguna jalan yang ingin mengisi bensin motornya.
Sebuah Honda Jazz tiba-tiba menepi dan berhenti di depan kiosku. Aku senang, karena orang kaya biasanya belanja banyak.
Tapi sontak aku kaget melihat siapa yang keluar dari mobil itu. Temanku dulu waktu di pesantren. Kurang lebih setengah tahun lalu ia juga kesini untuk menawarkan sebuah bisnis. Aku sendiri sudah tidak ingat apa nama bisnis yang ditawarkannya waktu itu.
Kupersilahkan ia masuk ke rumah. Istriku kusuruh membuatkan teh dan menggantikanku menjaga kios. Kini aku ragu apakah mobil yang dipakai Surya itu benar miliknya atau cuma sewaan.
Tanpa dipersilahkan, ia langsung duduk.
“Bisnis BBS itu sangat menjanjikan, Har! Coba kau lihat mobilku itu, kau pasti kagum! Itulah buktinya Har!”
Asrama Babussalam, 23 Oktober 2009
0 komentar: