“Hari ini adalah puncak tujuan kita. Hari ini kita pertaruhkan hidup dan nyawa, harta dan kehormatan yang kita pertahankan selama ini,” Jahir Khalid men-support anak buahnya.
“Kemenangan ada di tangan yang benar!” teriak Karim.
“Allahu akbar... Allahu akbar... Allahu akbar...!” Takbir menggema, membakar semangat yang telah menyala.
“Karim, setelah kamu tembak Hakim Abdah, kamu langsung lari. Dan semuanya, setelah itu kalian lempar semua granat yang kalian bawa ke segala arah kecuali ke belakang. Paham?!” Jahir Khalid mengatur rencana dengan matang.
*****
Aroma khas obat menyengat penciuman. Para perawat dan pengunjung rumah sakit hilir mudik di hadapan Prof. Asyraf yang sedang duduk terpaku, menundukkan wajahnya ke lantai yang terbuat dari marmer putih. Warna yang sesuai dengan warna dinding dan tiang-tiangnya. Ia tidak membayangkan bagaimana cara membuat marmer itu, atau bagaimana tukang-tukang menempelkannya di sepanjang koridor ini, atau sebanyak apa uang yang dikeluarkan pemerintah untuk membeli semua marmer-marmer itu, tapi ia sedang gelisah menunggu operasi terhadap putera sulungnya.
Kadang air matanya menganak sungai di pipi tuanya. Air yang berasal dari sukma hatinya, entah mengapa kalbunya kini selalu sedih. Mungkin ia sangat kasih pada keluarganya yang sedang merajut asa, akan sebuah kesembuhan raga dan jiwa.
“Yunus, bagaimana hal istriku?” tanyanya pada Yunus yang baru datang dari rumah sakit jiwa.
“Tak da perubahan, seperti kemarin Pak.”
Setelah beberapa kali diperiksa, sebuah kesimpulan akhirnya bisa ditemukan para dokter pada kepala Kiram. Dalam kepalanya terjadi pendarahan hebat, tetapi tidak keluar dan akhirnya membeku. Karena itulah ia cuma bisa sadar sekitar enam detik perhari. Atas segala pertimbangan, dilakukanlah operasi yang sudah disetujui Prof. Asyraf yang akan dilaksanakan pada 25 Desember pagi.
“Allah, kuserahkan semua masalahku ini pada-Mu,” rintih hati kecil Prof. Asyraf.
*****
Semua yang ada terlihat gembira, tamu dan undangan yang datang banyak sekali. Sebuah gapura yang masih disegel dengan rantai bunga, berdiri megah menyandang tulisan ‘Malkan Beach’.
Karim membaur di antara tamu yang datang, bersama seluruh teman-temannya untuk menjalankan misi yang mereka pikul.
Hakim Abdah tampak duduk santai berbincang dikawal oleh empat orang pengawal khusus. Acara baru saja dimulai. Pembukaan Pantai Malkan sangat meriah. Turis-turis asing menjadi mayoritas di antara para tamu, sedang penduduk asli menjadi minoritas yang terbatas di antara para pejabat dan petinggi, para pengusaha, dan para pemimpin beberapa agama.
Senjata telah Karim siapkan di balik jasnya. Hidup dan kematiannya sangat ditentukan oleh takdir yang digariskan Allah. Musim flu yang mewabah membantunya, karena banyak para hadirin yang memakai masker. Ia pun memakai masker, menutupi mukanya yang sudha diketahui badan intelijen.
“Untuk acara selanjutnya, sambutan-sambutan. Untuk sambutan pertama, akan disampaikan oleh Presiden Hakim Abdah. Waktu dan tempat kami persilakan.”
Tepuk tangan hadirin mengawali berdirinya Hakim Abdah menuju podium. Karim siap mengeluarkan pistol dari balik jasnya.
“Selamat pagi para hadirin,” Hakim Abdah memulai sambutannya.
“Dor... Dor...”
“Akh...:”
Belum sempat Karim menarik pelatuk pistolnya, dua peluru panas telah lebih dulu bersarang di dadanya. Presiden Hakim Abdah segera turun menuju mobil.
Peluru yang ada di dadanya itu berasal dari pistol yang ditembakkan Jendral Qosim yang sedari tadi mengawasinya. Ia tidak sendiri. Seluruh Intelijen negara mengepung tempat itu. PM terjebak. Jahir Khalid dan seluruh anggota PM juga tertembak bersamaan tembakan Jendral Qosim. Semua hadirin yang ternyata seluruhnya adalah intelijen negara asinglah yang membasmi mereka.
Tipuan Jendral Qosim yang sudah lama ia siapkan membuahkan sesuatu yang ia kejar selama ini: hancurnya PM.
Pembukaan Pantai Malkan yang sebenarnya adalah hari tahun baru, tanggal satu Januari nanti. PM tertipu!
“Asyhadu alla.... ila... ha illallah...” Syahadat mengalir lembut dari mulut Karim, bersamaan dengan syahadat yang dibaca seluruh angota PM. Pemuda-pemuda itu tersenyum.
*****
Orang-orang telah pulang. Tinggal Prof. Asyraf yang sedang memangku cucunya di depan dua makam, makam Karim dan Kiram.
Dokter rumah sakit As-Syifa tak berhasil melakukan yang diharapkannya. Kini tinggal ia, menantu dan cucunya. Sedangkan istrinya masih berjeruji besi di rumah sakit jiwa.
“Aku takkan mau kau menjadi ilmuwan,” katanya pad sang cucu.
Warna hitam di matanya seketika menjadi abu-abu.
TAMAT
Pon Pes Al Falah Putera, 12 Agustus 2009
0 komentar: