Oleh : Kamal FPP
Saat Kiram membuka mata, cahaya matahari menyeruak memasuki kornea matanya. Ia ingin sekali bergerak, tapi sakit langsung menghinggapi badan dan saraf otaknya. Ia pun kembali memasuki dunia gelap yang menidurkan kesadarannya.
Sekarang tubuh Kiram dirawat di rumah sakit As-Syifa, 20 Km dari rumahnya. Karimlah yang membawanya, setelah sebelumnya terjadi percekcokan mulut, antara ia dengan beberapa anggota PM untuk membawa Kiram yang masih dirawat di markas PM ke rumah sakit. Karena mereka tahu, bahwa Kiram punya hubungan dekat dengan Jendral Qosim, seorang yang selama ini selalu mencari informasi tentang PM. Mereka juga mengkhawatirkan keamanan Karim ketika jauh dari anggota-anggota PM.
Tapi Karim tetap bersikeras pada pendiriannya untuk membawa Kiram ke rumah sakit, supaya Kiram lebih baik daripada sekarang, yang dirawat dengan segala kemampuan yang dimiliki PM. Dan akhirnya setelah Karim memberikan argumen yang benar-benar keluar dari lembah hatinya yang begitu sayang pada sang kakanda, Panglima PM, Jahir Khalid mengizinkannya untuk membawa Kiram ke rumah sakit. Jahir mengerti dengan perasaan Karim.
Dari dalam mobil PM, Karim mengirim SMS pada keluarganya dengan HP milik Kiram. Ia memberitahu bahwa Kiram sekarang ada di rumah sakit As-Syifa. Namun ia tak memberi kabar tentang dirinya.
Lima belas menit kemudian Ayah, Ibu, Yunus, dan seorang perempuan yang menggendong bayi datang dengan sebuah mobil. Ingin sekali tangannya sekarang memeluk mereka, melepas rindu yang selalu menggundahkan hatinya. Namun apa mau dikata, ia telah menyetujui perjanjian dengan Jahir Khalid bahwa ia tak boleh diketahui oleh siapa pun, apalagi dari keluarga. Dan sekarang 5 anggota PM senantiasa menjaga apa saja yang ia perbuat. Setelah itu ia pergi dengan membawa kerinduan yang semakin menjadi.
*****
Dokter yang menangani Kiram keluar dari kamar Kiram.
“Bagaimana, Dok?” DR. Musyarrafah langsung bertanya.
“Kiram telah mengalami benturan keras di kepalanya, sehingga sebagian sarafnya tak bisa berfungsi. Tapi kami akan berusaha sebisa kami,” jawab dokter itu singkat, kemudian berlalu meniggalkan keluarga Kiram yang menggenggam berjuta harapan.
“Ini semua salahku! Akulah penyebab semua ini! Kau tak adil Tuhan....! Kau ambil semuanya....!” DR. Musyarrafah berteriak-teriak sambil berlari di koridor rumah sakit.
Yunus dan Prof. Asyraf segera mengejarnya. Ia semakin berteriak, “Tuhan tak adil!”
Ia berlari dengan cepat dan keluar dari bangunan rumah sakit. Prof. Asyraf dan Yunus juga semakin cepat mengejarnya. Mereka sangat takut jika ia sampai ke jalan raya. Sambil mengayuh kakinya, Prof. Asyraf menelpon satpam yang menjaga pintu masuk rumah sakit.
“Pak, tolong tangkap seorang perempuan yang berlari sambil berteriak-teriak.”
“Baik, kami akan menjaga di pintu rumah sakit.”
“Tolong langsung siapkan ambulan untuk membawanya ke rumah sakit jiwa!”
“Baik, kami siapkan secepatnya.”
*****
Setelah sampai di markas PM, Karim duduk di depan markas, memandang bintang-bintang yang selalu tersenyum, tak punya banyak masalah seperti dirinya. Mereka cuma berdiam diri, tapi dapat memberikan sesuatu yang berharga bagi para nelayan, yaitu menuntun meeka kembali pulang ke rumah. Memberitahu para petani tentang waktu bercocok tanam yang baik dan lain-lain.
Andai aku adalah salah satu dari mereka, tentu Ayah, Ibu dan Kakak bangga melihatku yang sangat berguna, Karim membatin.
Jahir keluar markas dan kemudian duduk di sebelah Karim yang sedang melamun.
“Kau tahu Karim, sebentar lagi natal tiba, sekaligus pembukaan Pantai Malkan?”
“Ya, aku tahu itu. Lalu apa yang kau rencanakan?”
“Kau tahu, untuk apa PM didirikan?” tanya Jahir kembali.
“Untuk menggulingkan pemerintahan Hakim Abdah.”
“Hakim Abdah yang akan membuka Pantai Malkan pada 25 Desember nanti. Hari itulah semua anggota kita berbaur di antara hadirin, dan saat itulah kita harus menghabisi nyawanya. Untuk hal itu kuserahkan padamu Karim!”
“Kau saja. Kau kan panglima?!”
“Bukan masalah panglima atau anak buah. Yang saya pikirkan kejituan tembakanmu. Tembak bagian jantungnya. Setelah itu semua anggota mengiringi tembakanmu dengan tembakan membabi buta pada seluruh hadirin. Lalu kita melarikan diri masing-masing, dan berkumpul kembali di sini.”
“Baik, kuterima usulmu.”
*****
Setelah menyelesaikan administrasinya, Prof. Asyraf menengok kembali istrinya yang sedang berada di sebuah kamar berterali besi. Sungguh sedih hatinya melihat sang istri meracau tak karuan. Kadang teriak-teriak, kadang menangis. Malam itu juga ia pergi, kembali ke rumah sakit di mana Kiram dirawat sekarang, karena ia tak mungkin membagi tubuhnya untuk dua orang yang berlainan dan berjauhan tempat.
Ia berjalan menapaki jalan malam hari ini menuju rumah sakit As-Syifa. Malam yang sangat berbekas di hati, malam yang telah meruntuhkan benteng hatinya. Benteng yang selama ini telah banyak menahan cobaan yang datang bertubi-tubi, membabi buta, hingga akhirnya merobohkannya dengan paksa. Bahkan menjadi pasir yang beterbangan dilanda angin kemarau.
Angin malam sedikit mendinginkan suasana hatinya. Menjalani takdir Ilahi dengan tawakkal dan sabar. Takdir tak hanya untuk direnungi, tapi untuk diubah kepada keadaan yang lebih baik. Itulah yang diinginkan Prof. Asyraf sekarang, menyelesaikan segala masalah yang sedang ia hadapi.
Ia dilahirkan dalam keadaan yatim di dusun terpencil utara Kota Kabsyir. Ia tidak dibesarkan di antara orang-orang terpelajar, melainkan orang-orang desa yang hanya mempelajari agama dan bekerja menyambung hidup dalam rangka ibadah. Tapi cuma ia yang berkeinginan keras mencari pendidikan yang lebih tinggi. Sampai akhirnya ia memperoleh gelar doktor di Kabsyir University bidang teknologi, gelar yang ia dapatkan dengan susah payahnya menjadi kuli bangunan.
Seminggu setelah gelar doktor terpajang di depan namanya, Perusahaan Transfortasi Negara (PTN) memintanya bekerja. Dalam jeda waktu yang tak begitu lama, Kabsyir University memintanya menjadi dosen di sana karena ilmu yang ia miliki. Dua jabatan telah ia dapatkan, tapi rasanya ada satu yang kurang, keluarga!
Suatu ketika diadakanlah rapat antara para Peneliti Luar Angkasa Negara dengan PTN. Peneliti-peneliti itu meinta PTN membuatkan pesawat luar angkasa yang akan membawa mereka menjelajahi tata surya. Tentu saja petinggi-petinggi PTN banyak yang angkat tangan, mengingat pengetahuan anggota-anggota PTN tentang produksi pesawat luar angkasa sangat minim. Namun DR. Asyraf menyatakan kesanggupannya, asalkan pegawai PTN yang lain membantunya dalam bekerja.
DR. Musyarrafah yang tergabung dalam Peneliti Luar Angkasa Negara pun kagum memandangnya, pandangan kagum sekaligus cinta.
Dan akhirnya setelah empat tahun berselang, pesawat luar angkasa yang sangat dinanti-nanti semua orang di negri ini, apalagi para astronot, telah siap digunakan. Semua rakyat gembira, karena negri mereka tidak kalah dengan negara-negara lain.
Presiden Laqitullah Asrar memberikan gelar profesor pada DR. Asyraf. Namanya pun seketika mencuat di media-media massa.
Para astronot pun tak sabar lagi menaiki pesawat yang sangat mereka dambakan itu. Presiden akhirnya menyetujui acara penerbangan pertama pesawat tersebut, sehari setelah pesawat rangkum.
Sejak penerbangan para astronot pertama kali dengan pesawat hasil Prof. Asyraf, Prof. Asyraf semakin dekat dengan DR. Musyarrafah. Hingga pada akhirnya lamaran pada DR. Musyarrafah dikeluarkan mulut Prof. Asyraf pada kedua orang tua DR. Musyarrafah.
Gayung bersambut, pinangan itu diterima tanpa ada kendala. Kebahagiaan demi kebahagiaan mereka rangkul bersama.
Namun semua itu hanyalah slide masa lalu. Sekarang yang ada hanyalah keadaan-keadaan pahit yang meruntuhkan semua kebahagiaan yang ia dapatkan.
*****
Dini hari 25 Desember. Adzan subuh belum terdengar, kokok ayam baru satu dua yang terdengar membahana memecah kesunyian. Bintang-bintang pun masih memancarkan sinarnya. Melum terlihat aktivitas manusia, kecuali anggota PM. Mereka sibuk menyiapkan senjata api, peluru, bom, granat, dan lain-lain.
Bersambung...
0 komentar: