Oleh: Kamal FPP
Kedatangan Karim disambut dengan suka cita oleh para anggota Pemuda Mujahid (PM). Mereka menyangkanya telah tertangkap oleh pemerintah. Karim menyunggingkan senyumnya yang berhiaskan rona terpaksa. Senyum itu mendapat tempat khusus di perasaan Jahir Khalid, sang panglima PM. Ia membaca senyum itu, senyum yang menampakkan suatu kegalauan hati di relung-relung jiwa Karim. Ia tahu, ancaman pemerintah takkan menggalaukan hatinya. Hanya rindulah yang membuat air matanya menetes.
“Ada apa Karim? Ceritakan saja padaku!”
“Sudah, tak ada apa-apa.”
*****
Kiram datang ke rumahnya. Tak ada sambutan, sunyi senyap tak ada bunyi gerakan. Ia mulai membuka pintu, terlihat di hadapannya ibunya yang sedang duduk seperti tak merasakan kehadirannya. Beliau cuma mengarahkan sorot matanya ke foto yang dipegangnya.
“Bu, ini Kiram,” kata Kiram memulai percakapan.
Ibunya terkejut ketika baru menyadari bahwa Kiram ada di hadapannya. Ia rangkul anak lelakinya itu dengan erat sambil menangis berirama hati yang menduka. Prof. Asraf keluar kamar dan ikut berpelukan dengan mereka. Prof. Asraf dan DR. Musyarrafah menampakkan ketidakberdayaannya di hadapan Kiram, mereka memandangnya dengan tatapan yang mengisyaratkan kamulah harapan kami.
“Aku akan berusaha mencarinya, tenang saja,” kata Kiram meyakinkan keduanya.
*****
Seperti biasa, setelah mengajar fiqih di halaqah yang ada di rumahnya, Kiram bertasbih memuja Rabbnya, Tuhannya yang tak pernah bosan menemaninya di kala ia menjalani pahit dan getir lika-liku jalan hidupnya. Sama seperti Kiram, Prof. Asraf dan DR. Musyarrafah sedang bermunajat, mengeluh pada Allah tentang Karim yang tak ada lagi kabar keberadaannya. Mereka tak berputus asa, walau tetangga dan sahabat mereka telah menasehati.
“Sudahlah, relakan saja ia untuk Allah...”
Nama Hakim Abdah semakin memburuk saja di kalangan warga negaranya sendiri, tapi semakin terangkat di luar negri. Pembangunan fasilitas di Pantai Malkan hampir selesai, dan turis-turis asing mulai menjadikan tempat-tempat wisata di sekitarnya sebagai tujuan utama untuk berpesta ria, karena natal akan tiba beberapa hari lagi.
Dua tahun sudah Kiram tak melihat Karim di matanya, semenjak kejadian di Kabsyir be Hotel. Selama itulah ia terus mencari informasi tentangnya, baik dari Jendral Qosim, Yunus, sampai dari anggota PM yang tertangkap. Semuanya nihil, tak ada yang bisa menyalakan secercah harapn yang menggembirakan dari mulut mereka. Dan selama dua tahun itulah, Kiram telah membangun rumah tangga yang dilengkapi seorang anak laki-laki.
Harapan Nyonya Musyarrafah pada Kiram tampaknya membuahkan hasil. Rumahnya sekarang tiap pagi selalu diisi penuh oleh murid-murid Kiram. Tapi ada satu yang disayangkan Kiram darinya, ia takkan mau untuk melepaskan pakaian hitamnya sampai Kiram kembali lagi padanya. Beberapa psikiater telah banyak melakukan penyembuhan, mereka tahu obatnya dan memberitahukannya pada Kiram, tapi obatnya terlalu sulit.
“Obatnya cuma satu Pak, datangkan adik Bapak, Karim,” kata psikiater tersebut.
“Itu sangat sulit, adakah cara yang lain?”
“Cuma itu, tak ada yang lain.”
*****
Musim panas telah berlalu, namun hati Kiram tidak berubah. Hati yang selalu menyimpan setumpuk rintihan, lalu memendamnya dengan sejuta harapan. Harapan yang memantul dari dawai hatinya menuju pendengaran Tuhan, satu-satunya yang selalu ada untuknya. Jiwanya bergelora nista penuh asa akan kehadiran seseorang yang ia harapkan selalu batang tubuhnya, canda tawanya, hingga senyum manis di pipinya.
Ia duduk di pelataran rumahnya, rumah yang merekam betapa indahnya masa kecil bersama Karim.
Dari kejauhan, terlihat Yunus datang menujunya dengan tergesak-gesak. Jika Yunus mendatangi rumahnya, Kiram merasakan sesuatu yang berbeda, hati yang ingin berburu membawa matanya untuk mencari Karim, karena Yunus selalu memberi kabar apabila ada berita atau informasi tentang Karim. Yunus memarkir sandalnya dan mulai berkata.
“Lihat ini,” Yunus menyerahkan selembar foto.
“Di mana tempat ini?”
“Bagian utara Kota Kabsyir.”
*****
Dengan kecepatan tinggi, Kiram mulai memacu mobilnya. Utara kota Kabsyir tidaklah dekat, tapi akan terasa dekat jika dibandingkan nanti ia akan bertemu saudaranya tercinta. Di foto yang diperlihatkan Yunus tadi tampak sebuah gubuk dikelilingi beberapa pria berlilitkan sorban di wajah, dan di antaranya terdapat pemilik mata adiknya, Karim. Sepertinya itu markas anggota PM.
Lukisan-lukisan alam silih berganti dengan cepat di luar kaca mobil Kiram. 100 kilometer perjam sudah hal biasa bagi Kiram dalam menggelindingkan roda mobilnya. Melewati pepohonan yang rindang, sedikit menenangkan hati Kiram yang sedang gelisah bermandikan rindu yang mendalam. Rindu akan sebuah obat yang sangat dinanti ibunya untuk menghilangkan sakitnya selama ini. Dan rindu akan sebuah magnet yang akan mengembalikan keceriaan rumahnya yang telah hilang.
Jalan semakin sepi, hanya mobil Kiram yang sedang memutar roda. Kecepatan pun semakin meniggi, 150 Km/jam.
“Tut... tut...” HP-nya menerima panggilan, rupanya sang ibu sudah tak sabar menerima kabar darinya.
“Bagaimana, apakah kau sudah menemui adikmu?”
“Belum, Bu. Sabar dan berdoalah!” Brakk...
“Allah.............”
“Kiram....!? Ada apa?”
HP itu melayang ke udara ketika mobil Kiram menabrak truk yang sedang berhenti. Kepala Kiram mulai meneteskan darah dan ia pun tak sadar lagi. Anggota PM yang ada di markas yang cuma berjarak 50 meter dari mobil Kiram langsung menuju asal suara tabrakan itu. Ternyata truk mereka ditabrak sebuah mobil. Beberapa di antara mereka langsung mengevakuasi pengendara mobil itu.
“Allahu akbar.”
Sebuah teriakan keluar dari mulut Karim setelah melihat pengendara itu ternyata kakaknya dan kini sedang bermandikan darah.
Bersambung...
0 komentar: