Malam yang Muram (Episode 1)
02.05 | Author: Forum Pena Pesantren


Oleh: Kamal FPP

Dua sahabat muda itu terus berjalan menyusuri trotoar yang memanjang ke bundaran Adipura Banjarbaru, meski mereka tak sejenis kelamin. Malam sudah berselimut dingin, jam sudah menunjukkan angka 12.40. Jalanan pun sudah lengang, bahkan tak satu pun yang melewati Keila dan Jassar, baik dari roda dua atau empat.
"Kei, apakah jika kau berpikir dewasa, rokok itu haram?"
"Aku ikutan fatwa MUI. Apapun hukumnya, yang kuharap bau tembakau itu tak tercium lagi saat kau bicara di hadapanku."
Hening sesaat.

"Jadi?" Keila menambahkan.
"Entahlah, aku belum merasakan akibat yang selalu ditulis di kemasan rokok selama ini."
"Berarti, hukum ada bagimu setelah kau merasakan akibatnya?"
"Maksudmu?"
"Andai hukum ada sebelum kamu merasakan sakit akibat rokok, tentu kau telah melanggar hukum jika kau sakit diakibatkan rokok."
"Bagaimana kalau hukumnya makruh?"
"Entahlah, kau bisa memikirkan kata-kataku tadi."
Mereka terus berjalan sambil menenteng ransel yang kelihatannya sangat berat.
*****
Malam Jum'at bukan malam favorit untuk beberapa remaja berkumpul. Tapi nyatanya sekarang, empat remaja sedang mengobrol, duduk mengitari tugu Adipura yang menjulang.
"Gimana bisnis martabak lo berdua?" Tanya Hafsa pada si kembar Gasar dan Gusur.
"Seperti pengunjung salonmu, Sa," jawab Gasar simpel.
"Apa bagusnya kita kolaborasi?" Tanya Gusur ke Hafsa.
"Hah? Maksud lo mencukur rambut gaya martabak?"
"Mungkin yang potong rambut sehari dua kali di salon lu dapat empat potong martabak, maksud Gusur," Afan mencoba menjelaskan.
"Bukan. Maksud gue , gimana kalo kami buka cabang di salonmu. Kadang kan pengunjung harus menunggu giliran kalo banyak orang. Daripada mereka nyelonong ke salon lain karena bosan menunggu kelamaan, kan lebih baik makan martabak kami."
"Artinya?"
"Calon pasienmu nggak pergi dan martabak kami laku."
"Kolaborasi yang tak wajar dan perlu dimasak matang-matang."
"Seperti martabak?"
"Mungkin."
Afan menaiki bagian bawah tugu dan mulai berpuisi. Tentang malam.
Malam…
Peluklah tubuh ini dengan hangat bintang
Alirilah dahaga ini dengan embun pagi
Tidakkah kau melihatku
Berdiri menatap wajahmu
Berharap pagi
Masih lama menjelang
Dan kita…
Kan tetap bersama

Dari kejauhan, Keila dan Jassar sedang melangkah menuju Afan, Hafsa, Gasar dan Gusur, membawa tas ransel yang kelihatannya berat. Mungkin berkilo-kilo garam. Hafsa masih terpaku menempelkan punggungnya di tugu Adipura tengah bundaran, menghitung-hitung untung dan rugi berbisnis dengan si kembar. Sedang Gasar dan Gusur duduk menghadap Afan yang tampak memeluk malam, yang seolah ia peluk dalam dekapan.
"Hmm… raja dan ratu sudah datang bergabung, tinggal satu orang lagi," Hafsa mulai bicara.
"Kata siapa? Kau belum menyadarinya!" sanggah Afan sambil menunjuk puncak tugu yang tingginya 45 meter.
Wajah bulan purnama tampak terhalang sesosok lelaki yang duduk memandang bebas ke gedung-gedung yang menjulang di hadapannya dengan tatapan kosong.
"Pazer!! Semua sudah datang!" Afan coba memanggil.
Pazer memandang sekilas ke bawah dan langsung terjun dari puncak tempatnya bertengger. Afan tersentak dan langsung turun ke samping Gusur sambil memegang dada. Deg.. deg.. , semua gugup, tapi ada 50% kepercayaan Pazer akan selamat. Ia terjun tanpa teriak dan suara. Cuma tatapan dingin bagai mata elang yang tajam. Dingin. Krettt…! Badan Pazer yang hampir menyentuh tanah tertarik ke atas, panjang tali karet yang elastis sesuai ukuran. Pazer mendarat dengan selamat..
“Kau semakin lincah, manuver elang menukik," puji Keila.
"Hmm… thanks." Sedikit senyum menyungging.
"Apa kau lihat tikus yang mencurigakan dari atas?" Hafsa bertanya pada anggota Blody yang paling pendiam, Pazer, sang atlet panjat tebing. Dan ia menjawab dengan sedikit gelengan kepala.
Semua duduk melingkar saling hadap mengitari ransel yang terlihat padat itu. Dan sebagai ketua, Keila mulai angkat bicara.
"Ok, barang yang kita pesan sudah ada. Tujuh paket, masing-masing dapat satu."
"Berarti semua bekerja?" Hafsa merasa kurang paham.
"Sesuai bidang masing-masing."
"Satu paket beda dengan paket lainnya," Jassar menambahkan .
"Sepertinya, kamu akan mendapat kacamata pelacak, Zer," Afan coba menebak.
"Apa barang kita sama, Gus? Kita kan kembar!"
Keila mulai membongkar isi ransel, yang lain pun diam. Dan satu persatu menyambut paketnya masing-masing. Keila meneruskan bicara.
"Dan ada klien yang mengajukan masalahnya pada kita. Ia ingin ketemuan sama kita di hotel D'Caprio lusa."
"Bawa barang ini?"
"Untuk apa kita beli kalau hanya untuk disimpan saat macan berlari menuju kita dan mencakar?"

Bersambung…

This entry was posted on 02.05 and is filed under , , . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, or trackback from your own site.

0 komentar: