Oleh: Kamal FPP
Kutapaki pasir-pasir putih, sambil menatap ke lautan biru, berharap melihat kapal ayahku datang. Sudah dua tahun ia tak pulang, tanpa kabar, tanpa kutahu di mana ia sekarang.
“Sup!” teriak Abi padaku.
“Ayo cepat bantu aku!” teriaknya kembali sambil memotong tangkai-tangkai kelapa di atas pohon.
Hidup sebatang kara di perkam-pungan miskin memaksaku bekerja untuk menyambung hidup. Kuli kopra menjadi pilihanku. Pekerjaan ini biasa dilakukan anak-anak yang sebaya denganku.
Ibu telah meninggal saat umurku 3 tahun. Perlu waktu lama untuk membuka rahasia ini padaku. Setelah umurku lima tahun, rahasia baru dibuka. Per-tanyaan – pertanyaan tentang ibu telah terjawab. Memang pahit rasanya, namun takdir tak bisa kutolak.
Dua tahun berselang, ayah yang biasanya pergi melaut tak pulang kembali. Para warga telah berusaha menemukan-nya. Namun Allah berkehendak lain. Sam-pai sekarang Ayah tak kembali.
Cobaan-cobaan yang lain, mung-kin bisa kujalani tanpa tetesan air mata. Tapi kehilangan kedua orang tua, mampu mengucurkan air mataku yang sering kuta-han. Cita-cita tinggiku, menyemangati-ku agar tetap bertahan sekolah. Sampai sekarang, aku telah berada di kelas tigamadrasah aliyah. Hasil yang memuaskan dalam setiap ulangan, semakin menggairahkanku dalam belajar.
“Sup! Kamu ini mau jadi apa sih? Kok repot-repot sekolah,” tanya Abi yang lebih tua dariku setahun.
“Tunggu saja 15 tahun lagi, Bi!” jawabku dengan pasti sambil mengupas kulit-kulit kelapa.
Abi sahabat sejatiku sejak kecil. Rumahnya dekat dengan rumahku. Keluarganyalah yang merawatku ketika ayah tak pulang lagi dari laut. Memang Abi tak sekolah, tapi kejujurannya sulit didapatkan dalam hati para pejabat negara yang berpendidikan tinggi.
Esok hari, sekolah kami dikunjungi Gubernur dan rombongan. Beliau mengatakan, setiap anak bangsa berhak mendapatkan pendidikan. Bukan sekadar perkataan, tapi beliau langsung buktikan dengan memberikan beasiswa untuk melanjutkan sekolah sampai perguruan tinggi, bagi siswa kelas 3 madrasah aliyah yang nilai ujiannya paling tinggi.
Kesempatan ini takkan kusia-siakan. Pendidikan selalu nomor satu di hatiku. Semangat belajarku semakin berkobar-kobar.
*****
Tiga bulan berselang, ujian telah dimulai. Jantungku semakin cepat memompa darahku. Aku berhenti bekerja sementara. Doa-doa tak pernah kulupakan setiap sujud terakhir dalam sholatku. Dengan harapan yang besar, agar aku mendapatkan juara satu.
Delapan hari telah berlalu. Hari yang kutunggu akhirnya datang juga. Pengumuman hasil ujian akan dibacakan.
“Juara tiga jatuh pada saudara Mahmud!” kata Pak Kepala Sekolah disambut sorak-sorai para siswa dan orang tua siswa.
“Juara dua jatuh kepada Yusup!” Semua siswa apalagi aku merasa sangat terkejut mendengarnya. Ingin rasanya kualirkan air mata ini. Tapi rasa malu akan menyambangiku jika air mata ini sampai menetes.
“Juara satu jatuh pada Erwin!” Para siswa dan orang tua mulai saling pandang dan berbisik. Ayahnya seorang tengkulak kopra paling kaya di kampung kami.
Pupuslah sudah harapanku. Aku tak bersemangat lagi melanjutkan sekolah, karena di pikiranku pendidikan hanya milik orang berduit. 20 tahun yang akan datang mungkin hanyalah sebuah khayalan yang tak nyata.
“Maafkan aku Ayah! Karena anakmu ini tak bisa melaksanakan perintahmu lagi. Aku tak percaya lagi pendidikan sekarang!”
Sambil menangis di malam yang sepi ini, aku berbaring memeluk erat foto ibu bapakku, dengan penuh rasa kekecewaan.[]
0 komentar: