Lelaki Itu di Suatu Malam
19.56 | Author: Forum Pena Pesantren

Oleh: Zian FPP
Matahari di sore itu, 20 Agustus 2007, sudah mulai tenggelam. Senja itu tak merah, biasa saja. Hanya terangnya yang awet tersisa sebelum gelap benar-benar menjelma, layaknya musim kemarau yang sudah-sudah. Lelaki itu melewati hari pun sebagaimana yang sudah-sudah.

Suara adzan dari sebuah mushalla yang menjadi pusat birokrasi pesantrennya menjadi penanda pasti, bahwa malam tiba. Menggantikan siang yang tak pernah ia pikirkan lagi. Dan waktu terus berlalu.

*****


Lelaki itu baru saja selesai makan di ruang makan dengan beberapa kawan akrabnya. Sebentar lagi pukul 9 malam, lelaki itu memastikan melalui jam dinding bulat dengan pinggiran hijau dan berlatar putih yang terletak di atas pintu asramanya. Lelaki itu beranjak pergi meninggalkan asrama. Ada satu hal yang harus ia mulai malam ini, sebuah kenyataan rencananya bersama kawan bernama M. Noor.

Malam itu, pada sebuah kelas dengan penerangan seadanya, ia memandang ke seluruh penjuru ruangan. Baru beberapa orang yang hadir. Sementara coretan-coretan tak jelas di bukunya yang sengaja ia siapkan untuk hal ini menunjukkan jumlah 19.

Suara dengan nada gembira dari bibir Ithay menyapa telinganya. Ia melihat semangat yang luar biasa di sana, semangat yang juga mampu membangunkan semangatnya, meskipun tanpa itu pun ia telah mesra dengan kata semangat sejak awal rencana. M. Noor pun terlihat sudah matang dengan isi pidatonya malam ini.

*****
Lelaki itu menatap datar layar monitor di depannya yang sudah berumur tua, pada suatu malam di 20 Agustus 2009. Kini ia berada di rumahnya dalam rangka libur Ramadhan. ‘Literasi’ menjadi kata yang mengisi seluruh rongga otaknya. Sepertinya kata itu akan terus bersarang di kepalanya, walaupun ia sudah bukan santri Al Falah lagi.

Bayangan teman-teman yang telah sangat membantunya hadir di pelupuk mata. Lelaki itu sungguh begitu bangga menemukan orang-orang seperti Kamal, Anshar, Farid, Syarief, Nuril, Imam, Ilham, Aziz, Ithay, Rijani, Yasfa dan yang lainnya.

Namun meski sudah seperti ini, ia masih saja merasa belum puas dengan semua ini. Ia ingin memberikan yang lebih banyak. Bukan demi egonya, atau sekadar moralitas yang menghimpitnya, sebab kata itu sudah lama sekali ia kubur dari kamus pribadinya. Banyak hal yang ia rasa belum juga terwujud, padahal regenerasi harus segera dilakukan. Karena ia sadar, semua orang ada zamannya, setiap jabatan ada masanya.

*****
Malam kian larut dengan irama jangkrik dari semak belukar di belakang rumahnya. Lelaki itu masih setia menatap layar komputernya, walaupun ia tak berminat lagi melakukan apa-apa dengan benda butut itu. Hanya screen saver yang menari-nari di sana.

Ia masih ingat dengan apa yang terjadi dua tahun yang lalu, tak akan hilang di benaknya sampai kapan pun. Apalagi hanya beberapa SMS yang pagi tadi singgah di HP-nya, sekadar mengucapkan selamat. Meski ia tak berminat membalasnya, ia sangat yakin bahwa hal kecil itu adalah hal yang begitu besar, sebab itu menyangkut kesetiaan dan kepedulian.

Kini lelaki itu telah mampu tersenyum, senyum dari hasil jerih payahnya dengan berbagai cacian dari santri lain yang belum mampu memahami sudut pikirannya, meskipun sampai malam ini ia masih tak juga menyadari, bahwa yang dilakukannya dua tahun silam itu adalah tindakan terbodoh sepanjang hidupnya yang paling ia nikmati.[]


This entry was posted on 19.56 and is filed under , . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, or trackback from your own site.

0 komentar: