Kelabu di Matanya Episode 1
21.46 | Author: Forum Pena Pesantren

Oleh : Kamal FPP

Di tengah malam sunyi, seorang pemuda tengah sibuk mengutak-atik sebuah senjata api di kamarnya. Tampaknya itu bukan senjata legal yang resmi diizinkan. Sang ayah mendengarkan di balik pintu kamarnya, ia merasakan hal yang berbeda akhir-akhir ini pada sikap anaknya itu. Apa gerangan penyebab perubahannya, kini ia sangat brutal dan pendiam. Lama ia mematung mendengarkan kejadian di dalam kamar anaknya, tapi yang ia dengar cuma bunyi besi yang dipasang dan saling bergesekan. Ia kembali ke kamarnya dengan wajah murung, ke kamar sekaligus laboratorium untuk seorang profesor sepertinya.
“Bagaimana Raf, apa yang ia lakukan?” tanya istrinya, seorang ilmuwan perempuan peneliti angkasa luar.
“Sepertinya sedang merakit sesuatu,” jawabnya dengan lemas.
“Itulah salahmu! Itu karena kamu terlalu berlebihan mengajarkannya temuan-temuan gilamu. Lebih-lebih, kau tak menuruti kata Ibu. Coba kalau kita turuti, kita masukkan ia ke pesantren seperti kakaknya, tentu ia tak akan melakukan hal-hal yang brutal seperti sekarang. Ia takkan bisa merakit sebuah bom yang ia ancamkan untuk menghanguskan rumah kita.”
“Sudah! Cukup! Kamu juga menginginkannya jadi ilmuwan seperti kita juga kan? Tak perlu ada yang disalahkan, aku mau tidur!”
*****




Profesor Asraf dan istrinya, DR. Musyarrafah menuju kantor Intelejen Negara. Di dalam mobil istrinya menyalakan TV, di sana tampak presiden Hakim Abdah menyampaikan rencananya membangun tempat wisata berkelas internasional di Pantai Malkan, sembilan puluh kilometer dari Kusyaifah, tempat tinggal Asraf. Sehingga warga asing banyak berkunjung ke negaranya dan menambah pendapatan negara. Rencana itu didukung penuh oleh pihak asing, tapi rakyat menjadi geram dengan ulahnya. Banyak demo terjadi akhir-akhir ini setelah rencana itu diumumkan.
Pemerintah tak tinggal diam menanggapi ini. Hukum baru dikeluarkan mahkamah pusat, bahwa barang siapa melakukan demo melawan pemerintah dengan tulisan, himbauan, atau senjata baik dengan batu, bom, atau senjata api lainnya maka akan dihukum mati.
Sudah banyak para pemuda dan aktivis yang tertangkap, mereka tinggal menunggu waktu diakhiri hidup mereka di hadapan sang penjagal.
Keputusan presiden tentang dilarangnya bahasa Arab di kalangan umum dan diganti bahasa Inggris, serta mahasiswa yang ingin kuliah ke luar negri hanya boleh ke Eropa dan bidang studinya ekonomi dan sains saja, tak kalah hebat mendapatkan perlawanan dari masyarakat.
Tak lama berselang, mereka sudah sampai di kantor intelejen. Mereka menuju ke ruangan Jendral Qosim setelah sebelumnya mengadakan janji pertemuan. Jendral Qosim tampak sedang memperhatikan beberapa foto buronan.
“Selamat pagi Jendral,” Asraf memulai pembicaraan.
“Selamat pagi juga.”
“Kami berdua setuju dengan tawaran Anda untuk mengirimkan seseorang dari anak buah anda untuk mengawasi Karim anak kami,” Asraf menambahkan.
“Sudah terlambat, Raf, lihatlah layar TV itu!”
Jendral Qosim mengambil remot yang ada di hadapannya, dan langsung memencet salah satu tombolnya. Layar menayangkan rekaman sebuah demo di halaman istana Presiden. Kamera memperlihatkan gambar beberapa demonstran anarkis yang dipukuli anggota polisi, sedangkan yang lain mencoba maju menerobos masuk ke dalam istana kepresidenan.
Bak…
Seorang polisi memukul seorang demonstran yang membantu temannya yang sedang dipukuli polisi lain. Sungguh pemandangan yang mengerikan.
Dar… Akh…!
Polisi itu ambruk tersungkur bersimbah darah di hadapan demonstran yang ia pukuli. Kamera sekarang tertuju pada seorang pemuda yang mukanya berlilit sorban sambil memegang senjata api. Kamera memperdekat gambarnya.
“Karim!” Profesor Asraf tersentak kaget setelah kamera memperdekat gambarnya, ia mengenalinya.
“Ya, itu memang Karim anakmu. Sekarang ia telah menjadi buronan kelas atas intelejen Negara. Mungkin dari pagi tadi kau tak melihatnya ada di rumahmu lagi bukan?”
“Ya, kau memang benar Jendral. Andai saja sudah sejak dulu tawaranmu kusetujui, mungkin ini takkan terjadi,” sahut Profesor Asraf sedih.
Nyonya Musyarrafah menangis melihat apa yang telah terjadi. Karim, anak kesayangannya yang ia harapkan menggantikannya di Lembaga Antariksa Negara nantinya, telah tiada. Entah pergi ke mana. Kalau mengharapkan Kiram, kakaknya Karim, rasanya tak mungkin untuk bisa menggantikan seorang antariksawan seperti dirinya. Kiram memang ia harapkan menjadi seorang ulama dan Karim seorang ilmuwan, sehingga Kiram ia masukkan ke pesantren dan Karim ke sekolah umum, atas saran suaminya.
*****
Profesor Asraf dan istrinya sudah kembali ke rumah. Tuan Asraf cuma rebahan saja dari tadi di kamar, mengamati foto kedua putranya. Sedangkan nyonya Musarrafah duduk di kursi goyang mengingat masa lalu. Tentang karim kecil yang imut, saat mereka piknik ke pantai, dan lain-lain. Rumah ini sekarang sunyi senyap, tak ada keceriaan lagi di dalamnya.
*****
Di beranda asramanya, Kiram duduk santai sambil membaca sebuah koran edisi kemarin. Memang sudah menjadi kebiasaannya apabila setelah shalat zuhur duduk di beranda asrama jika musim panas tiba. Daripada di dalam asrama, tentunya lebih baik di luar asrama karena angin musim panas mengalir deras mendinginkan badan.
Tujuh tahun yang lalu ia memasuki pesantren ini dengan dihiasi tangisannya, tangisan yang terjadi akibat perpisahan dengan keluarganya. Ia ingat wajah Karim, di saat ikut mengantarnya, wajah yang bingung melihat kakaknya yang lebih tua darinya menangis. Ia pun tertawa beberapa saat kemudian. Karim adiknya yang sangat ia sayangi itu, kini telah menjadi pemuda yang gagah dan tampan.
Di koran edisi kemarin itu banyak sekali para demonstran yang menginginkan Presiden Hakim Abdah turun jabatan. Mereka sangat kontra dengan keputusan-keputusannya yang dinilai melanggar hak asasi. Namun juru bicara kepresidenan, Muslih Addarki mengklaim kebijakan-kebijakan Hakim itu tidak melanggar hak asasi, bahkan membawa sebuah kemajuan negara. Pernyataan itu mendapat reaksi besar dari Pemuda Mujahidin (PM), sebuah organisasi pemberontakan yang beranggotakan para pemuda yang tidak tega melihat sahabatnya, keluarganya, dan rakyat jelata lainya yang hak-hak mereka dilecehkan. PM terus menerus melancarkan serangan, sehingga apabila mereka tertangkap langsung dihukum mati.
Naiknya Hakim Abdah menjadi presiden menyebabkan banyak terjadinya perubahan pada keamanan negara. Pada masa presiden sebelumnya, Laqitullah Asrar, tak ada yang namanya demo, pemberontakan, dan lain sebgainya. Dia mengatur negara, membuat peraturan, dan membuat kebijakan benar-benar menurut peraturan Negara Islam. Sehingga masyarakat yang semuanya beragama Islam, sangat menghormatinya. Berbeda dengan Hakim, ia ingin mengubah negara menjadi negara moderen berkelas internasional. Sedikit demi sedikit ia mulai mencabut nilai-nilai keislaman, padahal negara ini didirikan menurut ketatanegaraan Islam.
“Kiram, lihat ini!” kata Yunus, teman sekampung Kiram padanya dengan nada cemas sambil menyerahkan koran edisi hari ini.
Kiram memalingkan wajah dan mengepalkan tangannya setelah melihat koran halaman depan. Foto Karim terpampang jelas di sana, dan diberitakan telah menjadi buronan utama pemerintah di antara anggota PM.
“Yunus, aku mau pulang. Mungkin Ibu dan Bapak sangat terpukul dengan kejadian ini. Aku ingin menenangkan mereka terlebih dahulu.”
*****
Sebuah taksi membawa Kiram menuju rumahnya di Kusyaifah. Ia memandangi langit biru yang menyaksikan kisah hidup keluarganya sekarang, yang dahulunya ceria penuh kebahagiaan namun kini seolah lenyap terselubung kabut hitam.
Dari kejauhan sebuah hotel berbintang lima kelas internasional berdiri megah di tengah-tengah kota, sebuah hotel yang sering dikunjungi turis-turis asing. Laksana sebuah kerajaan yang sangat megah, mobil-mobil mewah berjajar rapi di tempat parkirnya. Taman-taman tertata dengan indah, dan bule-bule keluar masuk dengan pakaian yang membukakan auratnya,. Di lantai 12, terpampang sebuah nama “KABSYIR be HOTEL”, hotel termegah di kota Kabsyir. Taksi perlahan mendekatinya, karena jalan menuju Kusyaifah melewati bagian depannya.
Lampu merah menyala, menghentikan taksi yang ditumpangi Kiram.
DAAAR…
Sebuah ledakan hebat terjadi di lantai dasar hotel, sehingga para pengunjung hotel yang di bawah dan di atas kalang kabut. Semua mobil terhenti, terpana melihat apa yang terjadi. Beberapa pemuda yang wajahnya berlilit sorban berlari keluar dari pintu hotel dengan membawa senjata. Dua bola mata yang Kiram kenal ada di antara mereka. Kiram langsung lari mengejar mereka.
“Karim….!” Kiram berteriak keras.
Pemuda tadi pun terkejut melihat Kiram . Ia langsung lari berpisah dari teman-temannya, dan Kiram berlari mengejarnya. Mereka berdua berlari saling kejar-mengejar. Mereka berlari menyeberang jalan, berlari di gang-gang sempit, hingga sampai ke hutan belakang perumahan warga. Kiram kehilangan jejaknya, ia menangis tersedu.
“Karim…!” teriaknya kembali.
Karim yang ada di balik lilitan sorban itu, menangis meneteskan air matanya mendenganr teriakan Kiram di pohon besar yang ada di dekat kiram.
“Maafkan aku Kak,” ucapnya lirih.



Bersambung….



This entry was posted on 21.46 and is filed under , , . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, or trackback from your own site.

0 komentar: